Radeya segera melepaskan tangannya dari tangan Andri. Sungguh situasi yang tak membuat dirinya tenang saat ini.
“Kakakmu, Aira?” tanya Radeya penasaran. Sebelumnya ia tak pernah melihat Aira jalan bersama lelaki, selain dirinya. Sungguh tak mudah mendapatkan hati Aira. Bagitulah menurut Radeya.
Aira menggeleng. Ragu untuk menjawab.
“Perkenalkan, saya suami Aira.” Andri menatap Radeya, seraya menyerigai. Seolah dirinya ingin menunjukkan, dirinyalah pemilik Aira.
Aira terlihat memberi tatapan tajam kepada suaminya. Seolah masih enggan mengakui statusnya saat ini.
Hancur.
Begitulah perasaan Radeya saat ini. Entah dirinya masih tidak percaya dengan ucapan pria yang mengaku sebagai suami Aira.
Radeya menaikkan sebelah alisnya seraya berkata, “benarkah?”
Aira meneguk ludah, berusaha menahan kegugupannya. “i-iya Kak,” sahut Aira terbata.
“Ayo kita pulang! Urusan kita sudah selesai.” Andri segera menarik tangan Aira menjauh dari Radeya. Seolah tak ingin istrinya diganggu oleh lelaki lain.
“Aira, aku belum mendengar penjelasanmu!” tariak Radeya dari kejauhan.
Namun tarikan tangan Andri tak bisa menghentikan langkah Aira.
“Lepas! Apaan sih, kekanak-kanakan banget!” kata Aira berusaha melepas cekalan tangan Andri.
Andri membuka pintu mobil lalu segera mendorong Aira masuk ke dalam, dan segera menutup pintu.
Mimik wajah Andri terlihat sekali jika dirinya tak sedang baik-baik saja.
Andri memutari mobil lalu segera menyalakan mesin mobilnya meninggalkan parkiran pasar.
“Aira, tunggu!” teriak Radeya yang tak sempat mengejar Aira. Karena mobilnya sudah menjauh.
“Shiit!” umpat Radeya. Karena tak mendapat apa yang dia harapkan. Penjelasan. Itulah yabg dia inginkan.
“Haruskah, aku menikung istri orang?” ujar Radeya menyerigai, “akan kutunggu jandamu!”
.
Sesampainya di apartemen, Aira segera meninggalkan Andri, ingin memasuki kamar.
“Siapa lelaki tadi?” tanya Andri mencekal lengan Aira sebelah kiri Aira, hingga dia tersentak ke dalam pelukan Andri.
Aira mendorong tubuh Andri menjauh. “Apaan sih? Gaje banget!”
“Jelaskan, siapa lelaki tadi?”
“Teman, kenapa kamu cemburu?” sindir Aira.
Andri segera meninggalkan Aira yang masih berdiri sambil melipat kedua tangannya. “cih, dasar aneh.” Aira lalu memasuki kamarnya.
Andri segera menaiki mobilnya meninggalkan Aira sendiri di rumah sendirian. Malam ini dirinya memilih tinggal di rumahnya, yang tak jauh dari apartemen miliknya.
Andri memukul-mukul setir mobilnya karena kesal. “Kenapa sih aku? Bukankah aku tak menyukai pernikahan ini?” gumam Andri yang terus saja berpikir tidak jelas.
.
Di tempat Lain, Radeya sedang berdiri di depan kamar kost Jodie. Sudah sepuluh kali dia mengetuk pintu, namun entah apa yang dikerjakan oleh Jodie di dalam dia bahkan tak membukakan pintu untuk Radeya.
“Jod, buka pintunya! Gue tau lo ada di dalam!” teriak Radeya. Perbuatannya berhasil membuat penghuni kost yang lain keluar. Yah mungkin, yang lain mengira bahwa Jodie sedang di tagih boleh depkolektor panci atau sejenisnya, eh.
“Maaf,” kata Radeya, ketika melihat beberapa penghuni kamar mengintip keberadaannya. Kosan Jodie memang bukan kost khusus putri. Lebih tepatnya adalah kost untuk umum. Yang isinya bermacam-macam manusia. Mulai dari Mas-Mas maupun Mbak-Mbak, bahkan sampe yang sudah berkeluarga maupun jomlo fisabililah seperti Jodie semuanya berkumpul menjadi satu kesatuan. Menyatu di dalam kost ‘Keramat’. Kamar Jodie kebetulan berada di lantai dua. Yang memang isinya kebanyakan anak masih muda. Alias sebagian para jomlo yang kesepian.
Jodie yang dari tadi berusaha menikmati hari libur, dengan bermasker ria sembari menonton drama Korea. Mau tidak mau harus beranjak dengan malas menuju pintu. Apalagi setelah mendengar gwdoran pintu yang begitu menganggu telinganya. Padahal sudah tempel bel untuk dipencet, tapi entah mengapa tamunya kali ini lebih Oon darinya.
“Hais, apaan sih. Berisik banget!” teriak Jodie tepat di depan Radeya. Bahkan air liurnya sampai muncrat ke mana-mana. Posisinya saat ini sedang berdiri sembari membenarkan maskernya yang baru saja dia pasang.
“His, jorok banget lu Jod jadi perempuan. Sini dulu, gue mau curhat!” kata Radeya menarik tangan Jodie, menuju tempat jemuran di bagian belakang kost. Di sana memang ada beberapa bangku untuk nongkrong, di kala sedih maupun suntuk. Terlebih jika sedang kere atau meratapi nasib tentunya.
“Apaan-apa? Tentang Aira? Kak Radeya patah hati? Cemburu? Atau saat ini mau bunuh diri di pohon kecubung atau pohon toge?” tanya Jodie sambil menposisikan pantatnya duduk di bangku paling ujung.
“Nah sebagian bener, tapi gue nggak bakal bunuh diri. Yah rugi aja, muka ganteng gini nanti gentayangan kan jatuhnya jadi hantu yang nggak estetik banget. Kalo elu yg jadi hantu mungkin bakal sangat menjiwai, ya secara ya kan.” Radeya melirik ke arah Jodie. “muka lu udah kayak mbak kun,” lanjut Andri yang disertai oleh kekehannya.
“Hais, garing banget Kak Deya,” ujar Jodie.
“Stop! Jangan panggil gue dengan nama itu!” peringat Radeya, ia merasa jika nama itu sebutan untuk perempuan. Kebalikan dengan Jodie.
“Kenapa? Impas kan, kakak tuh sebelas dua belas deh sama Aira.”
“Nah kembali ke topik, emang bener ya. Aira sudah Kawin?”
“Setauku, kalo kawin belom sih. Tapi kalo nikah. Udah,” sahut Jodie.
“Nah iya, itu maksudnya.” Sebenarnya, ada rasa senang di dalam hati Radeya, mendengar Aira masih belum rukun dengan suaminya. Seolah ada harapan untuk Radeya, melangkah mendekati Aira.
“Kenapa, Kak, patah hati ya?”
“Masih belum, tapi gue nggak percaya kalo dia udah nikah. Secara ya kan, emang kamu ada buktinya?”
“Bukti sih enggak ada, lah aku aja nggak diundang. Tapi emang mereka udah nikah kok. Pernikahan Aira emang pernikahan kejutan, yah karna semuanya dadakan. Termasuk dia juga nggak tahu kalo dirinya yang jadi pengantin,” jelas Jodie.
Radeya hanya mengangguk, mendengarkan penjelasan Jodie.
“Makanya Kak, kalo suka sama orang itu jangan dipendem. Kan jadinya di srobot sama orang. Perempuan itu butuh kepastian, bukan cuma janji-janji. Dah lah, aku mau masuk dulu. Gara-gara Kak Deya aku ketinggalan drakorku, kan dia jadi nonton dinding,” Jodie meninggalkan Radeya sendiri.
“Ya udah, selagi masih ada kesempatan gue bakal kejar dia,” ujar Radeya.
Seketika itu juga, Jodie menghentikan langkah kakinya.
“Berhenti mengacau urusan orang Kak. Lagian macam nggak laku aja, Kak Deya mah. Noh banyak perempuan di luaran yang masih single. Sini sama aku aja,” kata Jodie menawarkan.
“Isih, ogah. Najis. Gue balik!” Radeya menuuruni tangga meninggalkan Jodie.
“Dasar aneh,” gumam Jodie segera menutup pintu kamarnya.
.
Aira masih menunggu kepulangan Andri yang pergi entah ke mana dari sore.
Bel di pintu apartemennya berbunyi. Aira bergegas membuka pintu. Ia begitu mennatikan Andri untuk hadir di tengah-tengahnya saat ini. Yah, karna apalagi jika bukan karna kelaparan. Dan dirinya tak bisa masak. Terlebih uangnya juga limit, karena belum sempet mengambil di ATM.
“Kenapa lama banget sih?” kata Aira kesal.
“Siapa yang lama?”