Aira tersentak, ketika sebuah tangan menariknya ke arah belakang. Sudah bisa dipastikan, jika pelakunya adalah Andri. Bahkan dirinya sampai terbentur di tubuh Andri. Semua mata mengarah ke pada Aira dan Andri saat itu juga. Dalah hitungan detik, keduanya bahkan sudah mencuri perhatian banyak orang. Termasuk Jodie dan Radeya.
“Woy, apa-apaan lo!” teriak Radeya kesal. Apalagi melihat perlakuan Andri yang sedikit kasar. Bukankah, jika dia seorang suami, harus memperlakukan istri selayaknya ratu. Begitulah kira-kira pemikiran Radeya saat ini.
“Diam, ini bukan urusan kalian!” sahut Andri. Geram dan malu. Bahkan Andri sudah memendam rasa itu, semenjak dirinya keluar dari bioskop. Dirinya yang mengejar-ngejar Aira seperti orang yang telah ditolak oleh kekasihnya. Miris bukan?
Jika itu lelaki lain yang suka bermain tangan, pasti Aura sudah diseret dan dihajar. Namun sayangnya Andri tak seburuk itu. Dia bahkan takut akan kehilangan Aira.
Untuk perlakuan yang sedikit kasar, itu karena. Dia melihat Aira yang begitu mesra duduk dan bercengkerama dengan Radeya.
Mungkin itu bisa di sebut dengan, cemburu. Namun sepertinya Andri tidak menyadari akan hal itu. Karena perasaannya terhadap Aira, juga masih abu-abu.
“Aaa!” teriak Aira terkesiap.
Andri, segera menggendong Aira, selayaknya memanggul karung beras, menjauh dari keramaian.
“Turunin Kak, aku malu!” jarit Aira. Hal itu mampu mengundang puluhan pasang mata, memandang aksi Andri yang terbilang nekat.
Ketika Radeya hendak mengejar Aira. Jono datang untuk menghentikan Radeya.
“Mending, kamu enggak usah ikut campur urusan rumah tangga orang deh, Bro!” tutur Jono. Tangannya kini menepuk pundak Radeya. Jono berusaha menghadang Radeya, agar tak ikut campur ke dalamnya. Mungkin saja, Radeya bisa memperkeruh suasana nantinya.
“Apa peduli lu!” bentak Radeya.
Melihat Jono di bentak-bentak oleh Radeya, Jodie tidak terima. Dan dia langsung berdiri di depan Radeya. Seolah menantang Radeya.
“Berani lo sakiti dia, gue enggak bakal maafin lo!” kata Jodie menatap Radeya tajam. Ya kali kan, gebetan yang dia jaga. Disakiti oleh orang lain. Siapa yabg rela. Maklum, Jodie memang menunggu Jono untuk mengutarakan perasaannya.
“Apaan sih kalian. Dah lah, gue mau kejar Aira,” kata Radeya, berlalu melewati Jodie.
“Kamu, nggak perlu pasang badan buat aku Jod,” kata Jono lalu pergi berlalu meninggalkan Jodie.
Deg.
Seolah dunia Jodie runtuh tak tersisa.
Ada rasa kesal di dalam hati Jodie, mendapatkan jawaban yang tak sesuai ekspetasi.
“Kesel deh, emang dasar ya ini hati. Sudah tau yang di kejar bakal enggak peka. Maksa banget lagi buat deket. Udah tau yang di kejar, cuma ngasih harapan palsu. Masih aja berharap lebih. Kemarin ngasih harapan, sekarang acuh, besok palingan juga di ghosting,” gumam Jodie menatap kepergian Jono.
“Tapi, kenapa wajah suami Aira tadi, seperti tidak asing ya. Aku pernah bertemu di mana sih. Kenapa aku mendadak menjadi amnesia seperti ini. Tapi dia sepertinya termasuk orang penting di kehidupanku deh. Tapi, siapa ya?” lagi-lagi Jodie bergumam sendirian. Jika tidak salah ingat, dia pernah bertemu dengan suami Aira.
Jono berjalan melewati tengah lapangan. Bahkan dia tak menghiraukan teriakan orang untuk minggir dari tengah lapangan.
“Ya kali, masak tiap kabur. Aku yg apes jadi kang ojol Aira,” gumam Jono.
Sementara itu, Radeya masih mengejar mobil yang membawa Aira. Berharap bisa menolong Aira, meskipun kemungkinan hanya sepersekian persen saja. Bagi Radeya mencoba tak akan pernah ada salahnya. Karna kesempatan bisa datang kapan saja dan di mana saja. Tidak ada yang tidak mungkin, jika mau berusaha. Apalagi menikung istri orang. Karena istri orang memang lebih menggoda. Itulah prinsip Radeya, semenjak gebetannya menikah. Bukannya mundur teratur, dia malah maju tak gentar.
“Hotel?” gumam Radeya. Setelah melihat Aira di gendong memasuki hotel oleh suaminya. Radeya masih belum putus asa. Dan bahkan dia juga mengikuti Aira dari kejauhan memasuki hotel. Hingga kedua pasangan suami istri itu memasuki kamarnya.
‘Kretak!’
Begitulah jika hati Radeya bisa terdengar bunyinya. Bagaikan di hancurkan menggunakan palu. Saat ini hatinya begitu remuk.
Rasa sakit menyelimuti, meskipun tak dapat terlihat oleh mata.
“Mungkinkah ini yang dinamakan sakit, tapi tidak berdarah,” gumam Radeya. Dia segera memutar langkahnya meninggalkan hotel.
.
.
Aira hanya mampu diam menatap lurus ke depan. Di hadapan Andri dirinya kini tak mampu mengatakan apa pun. Seolah dia telah menyadari jika, perbuatan yang dilakukan memanglah salah. Terlebih meninggalkan suami, dan pergi dengan lelaki lain. Bukankah itu termasuk perbuatan konyol.
Andri menatap Aira dengan intens. Tatapannya berubah menjadi mengintimidasi. Seolah dirinya hendak menerkam Aira saat ini juga.
“Kenapa kamu membawaku ke hotel, bukannya pulang?” pertanyaan itu yang pertama kali dilontarkan oleh Aira.
“Karena aku hendak menghukum mu.”
Andri menatap Aira sembari menghilangkan kedua tangannya
“Katakanlah! Siapa lelaki tadi, apa hubungan kalian sebelumnya?” tanya Andri. Dia bahkan sangat penasaran saat ini.
“Aku tidak memiliki hubungan apa pun,” jelas Aira.
Aira berdiri hendak pergi. Namun dengan cepat, Andri berjalan mendekati Aira.
Aira memundurkan langkah kakinya seirama dengan kaki Andri yang melangkah maju.
Tatapan mengintimidasi membuat leher Aira seolah tercekat karenanya. Andri menyeringai seraya menatap manik milik Aira dalam. Seolah dirinya meminta penjelasan lebih kepada istri kecilnya itu.
“Hem, Katakanlah! Siapa dia? Ataukah dia kekasihmu?” cecar Andri.
Aira nampak memerah, seolah dirinya telah tertangkap basah sedang melakukan hal buruk. Aira hanya menggeleng, menolak untuk mengatakan apa pun.
“Dia bukan kekasihku, atau orang special bagiku. Ingat ya, perlu ku tekankan sekali lagi. Seumur-umur aku tak pernah kenal dengan yang namanya pacaran. Jangankan pacaran, menikmati masa muda hanya sebatas angan-angan.”
Kini Aira berbalik menatap Andri tajam. Langkahnya yang tadi mundur, kini berputar haluan maju. Begitu pun langkah Andri. Pria itu tampak memundurkan langkahnya.
“Sekarang giliran ku. Apakah kamu yakin, dengan pernikahan ini. Pernahkah kamu memikirkan bagaimana perasaan ku pada saat itu. Dinikahkan paksa tanpa tau siapa calonnya?”
Meskipun Aira kesal, namun dia tetap bertahan dengan pernikahan kejutannya. Semua dia lakukan tak lain karena mengingat itu, bagian dari wasiat sang kakek. Dan itu juga merupakan bagian dari caranya berbakti untuk terakhir kalinya kepada almarhum kakek.
“Kamu jangan risau sayang, aku bahkan sudah menyiapkan semua mentalku untuk menikahimu. Asalkan kamu tahu, ketika aku menerima keputusan untuk melangkah maju menikahi mu. Maka aku juga siap dengan konsekuensi yang harus aku terima. Termasuk sifat dan sikap buruk mu. Begitupun sebaliknya kamu, juga harus menerima apapun itu.”
Andri berjalan mendekati Aira, menakutkan bibirnya kepada bibir Aira, membuat wanitanya terkesiap karena serangan mendadak yang dilakukan olehnya. Hal itu membuat kedua mata Aira, membola dengan sempurna.
Andri melumat bibir Aira untuk beberapa saat, namun Aira masih tak memberikan respon. Bibirnya masih saja mengatur dengan sempurna. Tak kehilangan akalnya, Andri mengangkat tubuh istrinya ke atas kasur berukuran king yang berada di hadapannya, tanpa melepaskan pangutannya. Aira semakin terkejut dengan sikap Andri, hatinya berkata ia harus berhenti, namun tubuhnya merespon lain.
Andri meletakkan tubuh Aira di bawah kungkungannya. “Apakah kamu siap? Aku tahu ini kali pertama bagimu. Tapi aku akan berusaha melakukan dengan perlahan. Percayalah, itu tidak akan sesakit yang kamu pikirkan,” bisik Andri.