Tidak akan Membiarkanmu Membenciku!

923 Kata
Perkataan Michael membuat hati Vania terasa semakin sakit. Ia tidak tahu alasan sebenarnya di balik perbuatan Michael. Kedua tangan Vania saling meremas, gelisah bukan main. Walau sekali saja, Vania takut menatap atau melirik Michael saat ini. Dengan balutan gaun pengantin yang masih melekat pada tubuhnya, Vania merasa seperti boneka yang dipermainkan. Setibanya di rumah megah milik Michael, para pelayan dan pengurus rumah menyambut mereka. "Tidak aku izinkan kau keluar masuk rumahku seenaknya sendiri, Vania. Paham kau?!" sentak Michael, suaranya penuh otoritas. Vania mengangguk pelan. "Aku ... aku masih ikut kursus dan ...." Michael memotong ucapannya dengan nada berapi-api. "Aku akan menyuruh orang untuk terus mengikutimu. Jangan pernah mencoba kabur dariku sebelum kau melahirkan bayi untukku!" seru Michael, matanya penuh dengan api kemarahan. Michael pergi meninggalkan Vania bersama para pelayan yang nampak sangat takut padanya. Saat itu juga, Vania terjatuh dan terduduk di atas lantai, menundukkan kepalanya dan menangis. "Aku salah apa padamu, kenapa harus aku," isak Vania, memejamkan kedua matanya pelan. Seorang pelayan, wanita dewasa dan berperawakan tinggi, mendekati Vania dengan penuh perhatian. "Nona, mari saya antar ke kamar Nona. Setelah ini Nona bisa istirahat ya," bujuk wanita itu dengan lembut. Vania mengangguk pasrah, menerima bantuan wanita itu untuk bangkit dari duduknya. Mereka berjalan pelan menuju lantai dua, langkah Vania terasa berat, namun ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjuangan panjang yang harus dihadapinya. Dari lantai tiga, Michael menatap ke arah Vania yang kini terlihat sangat takut saat ia mendongak menatapnya. Pintu kayu cokelat terbuka, memperlihatkan kamar bernuansa abu-abu dan sedikit gelap. Vania menatap ke arah pelayan yang membantunya duduk di tepi ranjang dan mengambilkan baju ganti untuknya. "Emm ... namamu siapa?" tanya Vania dengan suara lirih pada wanita itu. Pelayan itu menoleh dan tersenyum. "Panggil saja saya Maria, Nona," jawabnya dengan ramah. "Ma ... Maria," cicit Vania sebelum ia mengangkat perlahan gaun pengantinnya yang berat. Maria mengambilkan gaun tidur berwarna kuning untuk Vania. "Iya Nona, kalau Nona ingin sesuatu tinggal panggil saya saja, apa pun itu." "Kau … kau bisa menjadi temanku selama aku di sini, kan? Kau mau mendengarkan kalau aku ingin bercerita denganmu, kan, Maria?" pinta Vania, suaranya penuh harap. Maria mengangguk pelan. "Tentu saja, Nona Vania." Beberapa menit berlalu, Maria usai menanggalkan gaun putih yang sangat merepotkan bagi Vania. Kini gadis itu hanya berbalut gaun tidur sebawah lutut berwarna kuning berlengan panjang. Maria juga menghapus make-up yang tadi menempel di wajah Vania, membuat gadis itu terlihat lebih alami dan polos. Vania duduk sendirian di dalam kamarnya, memejamkan kedua matanya pelan dengan kaki yang kini tertutup selimut. "Ma ... aku sudah menjadi seorang istri, aku berharap Mama tenang di sana dan ... tunggu Vania di surga ya," ucap Vania, air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Tanpa Vania sadari, pintu kamarnya terbuka dan Michael berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Surga?" gumam Michael lirih, semakin penasaran. Langkah kaki Michael mendekati Vania tanpa suara hingga laki-laki itu berdiri di sampingnya dan berdehem, mengejutkan Vania. Kedua mata Vania terbuka lebar, ia menatap Michael yang entah sejak kapan sudah berada di sampingnya. "Michael, kau ...." "Apa? Kau berani melarangku masuk ke kamar ini? Ingat kalau kamar ini masih milikku, rumahku, dan kau hanya istri, ingat ... hanya istri," seru Michael dengan nada remeh. Helaan napas berat terdengar dari Vania saat ini. Ia enggan menatap Michael dan memilih menarik selimut yang ia pakai, menutupi kakinya. Michael berjalan ke arah pintu dan menguncinya sebelum ia membalikkan badannya dan berjalan lagi ke arah Vania, menatapnya tajam. "Michael, kau ... kau mau apa?" tanya Vania perlahan, mundur saat Michael melemparkan mantel hitam dan kemeja yang ia pakai saat ini. "Tentu saja merayakan malam pertama dan aku ingin kau segera hamil. Bukannya lebih cepat lebih baik?" seru Michael, menyunggingkan senyum tipis di salah satu sudut bibirnya. "Tapi aku tidak bisa ... tidak, tidak, tidak, jangan sekarang," Vania mundur perlahan-lahan, menjauh dari Michael yang terus mendekat. "Ingat kalau kau di sini istriku dan istri patuh pada suami, kau juga harus ...." "Aku tidak mau! Yang kemarin masih sakit, aku tidak mau!" seru Vania, menggeleng-gelengkan kepalanya dan menutupi kedua telinganya dengan telapak tangannya. Michael terdiam sejenak sebelum ia menarik satu lengan Vania hingga gadis itu tersentak mendekat ke arahnya. Tatapannya keras dan penuh determinasi. Michael tersenyum tipis, senyum yang penuh kekejaman dan determinasi. "Baiklah kalau itu yang kau mau, tapi hanya kali ini saja. Besok aku pasti akan mengulangi malam kemarin, camkan itu," desis Michael, menyentak lengan Vania dan mendorongnya ke atas ranjang. Vania memejamkan kedua matanya, menangis meski Michael masih ada di sana, memancarkan ketegasan yang tidak bisa digoyahkan. "Aku benci padamu, Michael! Kau bukan manusia, kau tidak lebih dari laki-laki yang tidak punya hati!" pekik Vania, kemarahannya meluap seperti gelombang pasang. Michael terdiam, menatapnya dingin. Tangisan gadis di hadapannya itu mengingatkannya pada tangisan seorang anak kecil, begitu tak berdaya dan menyedihkan. Dia mengangkat kedua sudut bibirnya, membungkukkan badannya sebelum menarik tengkuk Vania dan mengecup bibir gadis itu. Vania memukul pundaknya berulang-ulang hingga akhirnya tubuhnya terasa lemas saat Michael melepaskan kecupan itu. "Kau milikku, hanya untukku, meskipun sampai kapan pun aku tidak akan pernah ada rasa cinta untukmu, Vania," desis Michael dengan mudahnya. Kata-kata itu menggema dalam kesunyian kamar, membuat Vania gemetar menatap manik mata hitam Michael dengan bibirnya yang masih sedikit terbuka. "Aku benci padamu," ucap Vania, suaranya bergetar tapi penuh keberanian. Michael melingkarkan lengannya merangkul Vania, kembali mengecup bibir gadis itu dengan penuh hasrat. Vania memukulinya berkali-kali, mencoba melawan, namun Michael tidak goyah. "Aku tidak akan membiarkanmu membenciku karena aku suamimu. Aku tidak akan pernah menceraikanmu. Aku hanya ingin kau menjadi penghangat ranjangku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN