Jangan Melawan Michael

1093 Kata
Tubuh Vania tak lagi terasa sesakit hari kemarin. Pagi itu, ia terbangun lebih awal, merasakan sedikit kelegaan di tengah kegelisahan yang terus menghantuinya. Cermin di sudut kamarnya memantulkan sosok Vania yang telah rapi dalam balutan dress cokelat yang elegan, dengan rambut hitam panjangnya tergerai hingga hampir menyentuh pinggang. Meski wajahnya tampak tenang, di dalam hatinya, badai belum benar-benar reda. Perlahan, ia membuka pintu kamarnya. Tak ada suara, tak ada tanda-tanda kehidupan di rumah yang besar dan megah itu. Suasana yang terlalu sepi, terlalu asing, seakan seluruh dunia telah pergi meninggalkannya. "Sepi," gumam Vania, melangkahkan kakinya dengan hati-hati menuju tangga yang menghubungkan lantai dua dengan lantai satu. Setiap langkahnya terdengar jelas di lorong yang sunyi, seolah menambah perasaan terasingnya. Sesampainya di lantai satu, matanya tertuju pada pintu utama. Pintu itu tampak begitu menggoda, seolah memanggilnya untuk segera keluar dari tempat yang membuatnya merasa terperangkap. "Rumah ini ... besar sekali. Apa ini benar-benar milik Michael?" bisiknya dengan ragu, mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Ia tahu ia ingin pergi, pulang ke rumah, ke pelukan hangat sang Mama yang kini terasa sangat jauh. "Aku ... aku ingin pergi dari sini. Pernikahan macam apa ini?" lirih Vania, kesedihan dan kebingungan bercampur dalam suaranya. Tak ingin berlama-lama, ia berjalan ke arah pintu utama. Tangan mungilnya meraih gagang pintu, dan ketika ia menariknya, pintu itu terbuka dengan mudah. Tidak terkunci. Gadis itu terkejut bukan main. Langkahnya baru saja menjejakkan kaki di luar, ketika ia mendengar suara langkah berat mendekat. Seketika ia tersentak, mendapati sosok Michael yang baru saja menaiki tangga teras. Mata tajamnya menatap Vania dengan pandangan yang mengerikan, seolah menusuk langsung ke dalam jiwanya. "Kau ingin pergi? Atau kau punya niat kabur?" suara Michael terdengar rendah namun penuh ancaman. "Aku mau pulang," jawab Vania dengan suara yang bergetar namun tegas, seolah menemukan keberanian yang ia kira telah hilang. Mendengar itu, Michael tertawa kecil, tawa yang terdengar sumbang dan penuh cemoohan. "Pulang katamu?" ulang Michael, seolah mengejek, sebelum ia tertawa lagi, kali ini lebih keras. Tanpa memberi kesempatan bagi Vania untuk merespon, Michael berjalan mendekatinya dan dengan kasar menarik lengannya, memaksanya kembali masuk ke dalam rumah. Pintu pun ditutup dan dikunci rapat oleh Michael, seolah memastikan tak ada jalan keluar bagi Vania. "Jangan pergi ke mana-mana. Di luar sana masih banyak orang yang siap mencela dirimu," ucap Michael, nadanya penuh dengan rasa superioritas. Ia melepaskan mantel yang dikenakannya, sementara Vania memandangnya dengan mata yang bertanya-tanya. "Orang mencela aku? Tapi, kenapa?" tanya Vania bingung, suaranya lirih namun penuh dengan kebingungan yang tulus. "Kau merebut calon suami kakakmu. Aku," jawab Michael dengan angkuh, nada suaranya dingin. Mata Vania membulat mendengar pernyataan itu. Ia menggelengkan kepalanya dengan cepat, menolak apa yang baru saja ia dengar. "Tapi aku tidak merebutmu, dan aku juga tidak ingin menikah dengan laki-laki sepertimu, Michael!" protes Vania, suaranya meninggi, menunjukkan penolakan yang tulus. Michael terdiam sejenak, menatap Vania dengan pandangan sinis. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya, sebelum ia mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah mengakui sesuatu. "Lagi pula, aku juga tidak tertarik denganmu. Kekasihku jauh lebih cantik dan menggoda dibandingkan denganmu yang sangat menyedihkan ini," ujarnya dengan nada yang begitu sombong. Vania hanya bisa diam, tak ingin memperkeruh keadaan. Namun, hatinya bergejolak, merasa terhina oleh kata-kata Michael. Ia menundukkan kepalanya, mencoba menahan emosi yang hampir meledak. "Kau tidak membiarkan aku pergi, kau tidak ingin berpisah denganku, dan kau bersikap semena-mena padaku. Aku juga manusia biasa yang butuh kebebasan dari penjahat sepertimu," desis Vania, marah dan tak lagi bisa menahan amarahnya. Matanya menatap Michael dengan kebencian yang nyata. Senyum smirk muncul di bibir Michael. Ia mendekati Vania, mencengkeram dagunya dengan kasar. "Jangan macam-macam denganku, Vania. Kau bukan siapa-siapa!" seru Michael, menyentak dagu Vania hingga wajahnya menghadap langsung ke wajahnya yang dingin. Tiba-tiba, suara langkah lain terdengar. Maria, seorang wanita paruh baya yang bekerja di rumah itu, muncul dari arah pintu teras samping. Ia tampak cemas, matanya bergantian menatap Vania dan Michael. "Bawa masuk gadis itu dan jangan biarkan dia bersikap semena-mena, apalagi melawanku," desis Michael dengan nada yang tajam, melirik Vania dengan pandangan dingin yang membuat darah gadis itu berdesir. Maria segera mendekati Vania yang gemetar, kedua tangannya terkepal kuat, mencoba menahan rasa takut dan amarah yang bercampur aduk di dalam hatinya. "Laki-laki paranoid! Laki-laki temperamen, dasar jahat!" pekik Vania, amarahnya akhirnya meledak. Ia memaki Michael tanpa memikirkan konsekuensinya. Michael yang sudah mulai menaiki tangga menuju lantai dua, tiba-tiba berhenti. Ia berbalik, matanya menatap tajam ke arah Vania yang kini menangis tersedu-sedu, menatapnya dengan kebencian yang mendalam. Langkah Michael kembali turun, perlahan namun pasti, setiap langkahnya menambah tekanan pada suasana. Ia mendekati Vania, berdiri di hadapannya dengan tatapan yang membuat Maria menundukkan kepalanya. "Ayo, katakan sekali lagi," seru Michael, menantang Vania dengan tatapan penuh amarah. Vania, meskipun gemetar, menganggukkan kepalanya dengan tegas. "Dasar laki-laki jahat! Gila! Temperamen! Pan ...," teriakannya terhenti seketika saat Michael tiba-tiba mendekat dengan cepat dan memiringkan wajahnya. Tanpa peringatan, ia mencium bibir Vania dengan lembut namun penuh paksaan. Vania memekik tertahan, tubuhnya menegang. Ia mencoba mendorong Michael, namun kekuatannya tak sebanding. Tangannya yang lemah hanya bisa meremas pundak Michael, sementara air matanya mengalir deras. "Kau jangan melawanku. Sekali lagi kau meneriaki aku, kau akan mendapatkan yang lebih parah dari ini," bisik Michael, suaranya rendah namun penuh ancaman. Vania terdiam, air matanya mengalir tanpa henti. Michael melepaskan tangannya dari pundak Vania dan tanpa berkata apa-apa lagi, ia pergi meninggalkan Vania yang masih berdiri kaku di tempatnya, terpaku oleh peristiwa yang baru saja terjadi. "Laki-laki jahat! Aku tidak akan memaafkanmu, penjahat," lirih Vania, suaranya penuh dengan kepedihan dan kemarahan yang terpendam. Matanya berkaca-kaca, air mata mengalir perlahan di pipinya. Tubuhnya gemetar, namun bukan hanya karena ketakutan, melainkan karena perasaan tertekan yang selama ini ia pendam dalam diam. Maria, yang menyaksikan semuanya dari sudut ruangan, mendekati Vania dengan raut wajah penuh kekhawatiran. Tanpa ragu, ia merangkul Vania, memeluknya erat-erat. Pelukan itu hangat, seolah ingin melindungi Vania dari dunia yang kejam. "Nona, jangan melawan Tuan. Dia bisa marah besar. Jangan membantahnya, dan patuh saja sebelum Tuan melakukan hal yang lebih gila. Nona paham, kan?" tanya Maria dengan lembut, suaranya penuh kepedulian. Vania, yang masih terisak, hanya bisa mengangguk pelan, menyadari bahwa ia tak memiliki banyak pilihan. Maria tersenyum manis, tangannya dengan lembut mengusap pipi Vania yang basah oleh air mata. "Semuanya akan baik-baik saja," bisik Maria, meskipun dalam hatinya sendiri ia tak yakin dengan kata-katanya. Namun, ia tahu bahwa Vania butuh dukungan, butuh seseorang yang ada untuknya. "Tapi dia jahat, Maria ... Dia jahat padaku," Vania menangis semakin keras dalam pelukan Maria, seolah ingin melepaskan segala beban yang selama ini menghimpitnya. Isakannya terdengar memilukan, menggema di ruang yang sepi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN