Kau Milikku!

1250 Kata
Tatapan Maria kini tertuju pada seorang laki-laki bertubuh gempal yang berdiri di dekat pintu utama rumah. Laki-laki itu, Devion, adalah salah satu anak buah Michael yang setia, telah bekerja untuknya selama bertahun-tahun. Devion menatap Vania dengan sorot mata penuh simpati, tetapi ia tahu batasannya. "Apa Tuan Michael tidak kasihan melihat Nona Vania?" suara Maria bergetar, menggambarkan kekecewaannya terhadap Michael. Namun, sebelum Devion sempat menjawab, Michael yang sejak tadi berdiri di dekat meja, melemparkan berkas di tangannya ke arah meja dengan gerakan kasar. Michael mendengus kesal, tak suka jika ada orang yang mencoba ikut campur dalam urusannya. "Vania adalah istriku. Kau orang luar jangan ikut campur!" sinis Michael, nadanya dingin dan penuh kemarahan yang tertahan. Devion mengembuskan napas panjang, lalu mendekati Michael dengan hati-hati. "Kalau Tuan tidak bisa memberikan kebahagiaan pada Nona Vania, kenapa menikahinya? Bahkan setelah Ramon salah memesan wanita, gadis itu tidak banyak menuntut tanggung jawab pada Tuan," ujar Devion dengan nada yang tegas, meski ia tahu risikonya berbicara seperti itu pada Michael. Michael, yang tadinya berdiri dengan punggung tegap, kini bangkit dari kursinya. Ia mengepalkan tangan, menahan amarah yang memuncak. "Kalau aku tidak menikahi salah satu dari putri keluarga Steven, Kakekku akan marah. Ini semua hanya hubungan persahabatan sialan orang-orang kuno!" Michael berteriak, suaranya menggema di ruangan yang luas. Devion, yang tetap tenang meski merasakan kemarahan Michael, berbicara lagi. "Tuan bisa melawan Kakek Tuan, tapi Tuan tidak bisa menikahi kekasih Tuan, Nona Ramella. Saya yakin keluarga Alexsio tidak akan pernah mengizinkan Tuan bersamanya, karena dia hanya wanita klub malam," ujar Devion dengan berani, meskipun ia tahu kata-katanya bisa memicu amarah Michael lebih dalam. Michael mengusap wajahnya dengan frustrasi, menatap Devion dengan pandangan kesal. "Cukup! Berhenti mendebatku dan keluar dari sini!" sentaknya, suaranya penuh dengan perintah yang tak bisa dibantah. Devion mengangguk dengan patuh. Ia tahu bahwa ia tak bisa melawan kehendak Michael lebih jauh. Namun, sebelum ia sempat membuka pintu untuk pergi, suara Michael menghentikannya. "Tunggu, Dev," panggil Michael, suaranya sedikit lebih tenang namun tetap tajam. Devion menoleh, menatap Michael yang berdiri dengan raut wajah yang serius. "Apa kau tahu sesuatu tentang Vania? Apa kau tahu kalau dia benar-benar putri kandung dari Steven dan Livia?" tanya Michael, nada suaranya penuh keraguan yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Devion mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan itu. "Bukannya Nona Vania memang putri kandung mereka, Tuan?" jawab Devion, tetapi Michael menggelengkan kepalanya, tampak tak puas dengan jawaban tersebut. "Tidak, Devion. Cari tahu siapa gadis itu sebenarnya dan jangan sebarkan berita apapun terlebih dahulu," perintah Michael dengan nada tegas yang tak bisa dibantah. "Baik, Tuan. Saya akan mencaritahunya dengan cepat," jawab Devion, lalu meninggalkan ruangan dengan langkah yang cepat dan pasti. Michael berdiri sejenak, menatap pintu yang kini tertutup rapat. Pikiran-pikiran yang berkecamuk dalam benaknya membuatnya merasa semakin tak tenang. Ia kemudian berjalan keluar dari ruangannya, menuju ke arah kamar Vania. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahannya. Saat ia tiba di depan pintu kamar Vania, Michael mendengar tangisan pelan dari dalam kamar. Tangisan yang membuat hatinya terasa semakin terhimpit. Devion yang mengikutinya dari belakang, menatap Michael dengan tatapan khawatir. "Tuan ...," bisik Devion, namun Michael segera menyuruhnya pergi. "Pergilah, biar aku yang masuk ke dalam," ucap Michael dingin, mengusir Devion dengan gerakan tangan yang tak bisa dibantah. Devion hanya bisa menunduk dan pergi meninggalkan Michael yang kini berdiri sendiri di depan pintu kamar Vania. Dengan perlahan, Michael membuka pintu kamar. Tangisan Vania yang tadinya terdengar, kini terhenti seketika saat gadis itu menyadari kehadiran Michael. Kepalanya menunduk, takut dan bingung oleh tatapan Michael yang terasa begitu menekan. Michael mendekatinya perlahan, tangannya terulur untuk mengusap pucuk kepala Vania. Sentuhan itu lembut, namun terasa dingin dan membuat Vania merinding. Michael kemudian membungkukkan badannya, menatap Vania dengan tatapan yang penuh kendali. "Bagaimana, Vania? Masih tidak mau menurut denganku, hm? Menurutlah denganku. Hanya itu satu-satunya cara kau bisa hidup bahagia di dalam rumahku," bisik Michael dengan nada yang rendah namun penuh kekuasaan. ** Malam yang sunyi terasa semakin mencekam ketika Vania memutuskan untuk keluar dari kamarnya setelah berjam-jam mengurung diri. Sejak pagi tadi, ia merasa takut untuk meninggalkan ruangannya, tapi rasa lapar yang terus-menerus menghantuinya membuatnya tak punya pilihan lain. Dengan hati-hati, Vania melangkah keluar, berusaha menghindari pertemuan dengan Michael. "Masih sepi, kenapa rumah sebesar ini tidak ada orang sama sekali?" gumam Vania dengan napas yang terasa berat di dadanya. Perutnya melilit, dan ia tahu bahwa ia harus makan sesuatu sebelum tubuhnya menyerah pada kelelahan. Perlahan, ia menuju dapur di lantai satu, berharap menemukan sesuatu untuk dimakan. Saat membuka lemari es, Vania terkejut melihat isinya yang penuh dengan steak dan kentang. "Steak? Kenapa banyak sekali steak di sini? Pasti si manusia temperamen itu yang menyukainya," gumamnya dengan suara pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, suasana tenang itu segera terganggu oleh suara pintu utama yang dibanting keras, membuatnya tersentak. "Argh! Benar-benar menyebalkan! Dasar, wanita sialan!" teriak Michael dari ruang depan, suaranya terdengar penuh dengan kemarahan dan frustrasi. Kedua tangan Vania yang tengah memegang makanan gemetar hebat, dan ia menjatuhkan telur yang dipegangnya ke lantai. Hatinya berdebar kencang saat ia melihat Michael masuk, berjalan sempoyongan, jelas-jelas dalam keadaan mabuk berat. Wajahnya memerah dan ekspresi kesakitannya membuat Vania tidak bisa berpaling. "Michael ...," gumam Vania, suaranya nyaris tak terdengar. Michael, yang masih setengah mabuk, memegangi kepalanya dengan ekspresi kesakitan yang mendalam. Meskipun Vania marah padanya, melihat suaminya dalam keadaan seperti itu membuat hatinya tergerak. Ia tidak bisa membiarkannya begitu saja. "Michael!" panggil Vania saat ia berlari mendekat, mencoba membopong lengan suaminya untuk memberinya dukungan. Michael meliriknya dengan pandangan sinis, lalu mencoba mengecup pipinya, tetapi Vania dengan cepat membuang muka, menolak sentuhan itu. "Kau ... kau tidak jauh berbeda dari wanita-wanita tadi, murahan dan munafik," cemooh Michael dengan suara serak, membuat hati Vania terasa hancur. Dengan susah payah, Vania berhasil membopong Michael ke lantai dua, berjuang untuk tidak menyerah meskipun tubuhnya hampir tak mampu menahan beban. Sesampainya di kamar, ia dengan lembut merebahkan tubuh Michael di atas ranjang, berharap ia bisa beristirahat dengan tenang. Tapi tiba-tiba, Michael menarik lengan Vania dengan kasar, membuatnya terjatuh di atasnya. "Temani aku malam ini. Kau tahu kalau wanita sialan itu membohongiku. Dia berbohong padaku, ternyata dia dengan laki-laki lain di belakangku! Sialan!" teriak Michael, memeluk Vania dengan erat, hampir putus asa. Vania terdiam, hatinya berdebar kencang. Perlahan, ia mulai mengusap punggung Michael dengan lembut, berusaha menenangkan suaminya yang tengah berada dalam kesakitan emosional. "Michael, kau mabuk berat. Lebih baik kau beristirahat," ucapnya dengan suara pelan, penuh perhatian. Namun, sebelum Vania bisa menyelesaikan kalimatnya, Michael menariknya lebih dekat dan memeluknya erat-erat. Tangannya mengusap punggung Vania, lalu bibirnya dengan cepat mengecup pipi Vania berkali-kali, seolah-olah mencari kenyamanan dalam pelukan wanita yang kini menjadi istrinya. "Tidak, Michael. Jangan. Kau sedang mabuk. Ini tidak boleh terjadi," seru Vania, menggelengkan kepalanya, mencoba melepaskan diri dari pelukan suaminya. Michael terdiam sejenak, akhirnya melepas Vania yang berontak darinya. Vania mengusap dadanya, merasa bersyukur bahwa Michael akhirnya berhenti. Ia menatap suaminya dengan rasa campur aduk—antara takut, marah, dan kasihan. Namun, ketika Vania mencoba pergi, Michael menahan tangannya dan menariknya kembali ke atas ranjang. "Jangan pergi, bodoh. Aku sudah bilang padamu jangan pergi. Aku... Aku butuh kau malam ini, tetaplah di sini," bisik Michael dengan suara yang lemah namun memohon, memeluk dan mendekap Vania lebih erat lagi. Vania tidak berani bergerak, tubuhnya terasa kaku di dalam pelukan Michael. Ia bisa merasakan detak jantung Michael yang cepat, seolah-olah memancarkan rasa sakit dan keputusasaan yang mendalam. Perlahan, ia mendongak menatap suaminya, dan saat itu Michael membuka matanya, menatap Vania dengan intens. "Kau milikku," ucap Michael dengan nada yang dingin dan tegas, tanpa keraguan sedikitpun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN