Kau akan Habis di Tanganku

1022 Kata
Vania kembali menundukkan kepalanya, bingung dengan perasaannya sendiri. Perlahan, tangannya melingkar, memeluk Michael dengan erat. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, tetapi dia tahu bahwa dalam momen ini, yang bisa dia lakukan hanyalah tetap di samping suaminya. Michael semakin mempererat pelukannya, menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka berdua. Decakan pelan keluar dari bibir Michael, kepalanya terasa sangat sakit, mengingat kejadian malam sebelumnya saat dia melihat Ramella bersama pria lain. "Ck! Sial," desis Michael kesal, masih memejamkan matanya. "Awas saja kau, Mella," imbuhnya dengan suara penuh kebencian. Michael membuka matanya perlahan, menunduk cepat saat merasakan kehangatan dari pelukan Vania yang erat di sekelilingnya. Tangannya yang lembut melingkar di tubuhnya, memberikan rasa nyaman yang tak terduga. Michael menatap wajah Vania yang masih terlelap dengan raut wajah yang memerah. Ia merasa aneh melihat gadis itu begitu tenang dalam pelukannya. "Apa yang dia lakukan?" gumamnya, penuh tanda tanya. Michael melirik lagi wajah Vania yang kini semakin dekat dengan lehernya. "Istriku yang malang, padahal aku sama sekali tidak ada rasa denganmu," ucapnya dengan senyum miring yang muncul di sudut bibirnya. Ia merasa ironis bahwa gadis yang begitu tak berdaya ini adalah miliknya, meski tanpa cinta yang seharusnya menyertai ikatan pernikahan. Perlahan, Michael mengusap surai rambut Vania yang halus, membawanya semakin dekat. Tangannya menarik selimut lebih tinggi, menjaga kehangatan di antara mereka. Ia bisa merasakan betapa nyaman gadis itu dalam pelukannya, meskipun ia sendiri merasa kebingungan dengan perasaan yang tak seharusnya ia rasakan. "Sudah jam berapa ini, Ma? Aku harus ke tempat kursus," gumam Vania dengan suara lemah, setengah sadar dari tidurnya. Suaranya yang polos dan kebingungan membuat Michael terdiam sejenak, menyadari betapa rapuhnya gadis ini. "Tidak ada mamamu di sini, Vania," jawab Michael, suaranya penuh dengan kepastian yang dingin. Vania mulai tersadar, matanya perlahan membuka, dan dengan cepat menyadari posisi mereka. Wajahnya berubah, dari bingung menjadi terkejut, lalu marah saat matanya bertemu dengan Michael yang menatapnya tajam. "Michael ... kau memelukku? Kau pandai mencari kesempatan, rupanya," tuduh Vania dengan nada yang penuh kemarahan, mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Namun, secepat itu juga, Michael menariknya kembali, membuat Vania jatuh lagi dalam pelukannya. "Kau mencuri kesempatan saat aku mabuk, hm?" tanya Michael dengan nada yang penuh tuduhan. "Tidak!" sanggah Vania, berusaha keras melepaskan diri. "Kau mabuk semalam, dan aku hanya membawamu ke kamar, tapi kau malah ...." "Alasan," ucap Michael, memotong kalimatnya dengan cepat. Dengan gerakan tiba-tiba, ia membalikkan tubuh mereka, membuat Vania terkejut dan merasa semakin terjebak. "Michael, kau mau apa? Minggir dulu, aku ingin ...." "Aku ingin kau, Vania," ucap Michael, suaranya begitu tenang namun mengancam, memotong ucapan Vania. Mata Vania mengerjap, napasnya terengah-engah karena panik dan takut. Tatapan Michael begitu intens, penuh dengan keinginan yang membuatnya merasa kecil dan tak berdaya. Michael mengusap pipi Vania dengan lembut, namun sentuhan itu malah membuat Vania semakin takut. Ia merasa kulitnya merinding saat tangan Michael menyentuhnya, seolah-olah setiap gerakan Michael adalah ancaman yang nyata. "Jangan melawanku atau aku tidak akan segan menghabisimu saat ini juga, Vania," bisik Michael dengan dingin, cengkeramannya di pundak Vania semakin erat. Vania menggelengkan kepalanya, ingin sekali berteriak, marah, atau melawan, tapi ketakutan menahannya. "Michael, lepaskan... Aku ingin pergi," ucapnya dengan suara yang hampir lenyap. Namun, sebelum Vania sempat menyelesaikan kalimatnya, Michael sudah menutup mulutnya dengan kecupan yang dalam. "Kau jangan melawanku, jangan membentakku, Vania," bisik Michael tepat di depan bibirnya. "Kau adalah milikku, Vania. You’re mine!" Mata Vania berkaca-kaca, tubuhnya gemetar di bawah tekanan Michael. Belum sempat ia memberikan reaksi, bibir Michael kembali mengecup bibirnya dengan intensitas yang semakin dalam. Tiba-tiba, suara ketukan pintu membuat mereka berdua menoleh cepat. Vania mencoba mendorong Michael, tapi ia masih menahannya, tidak mau melepaskannya. "Katakan kau milikku," bisik Michael dengan nada tegas. "Apa?" Vania tergagap, tidak mengerti apa yang ia maksud. "Katakan kau milikku, atau aku menguncimu di dalam kamar ini seharian. Katakan!" tekan Michael, suaranya penuh ancaman. Dengan gemetar, Vania merasa terpojok. Ia tahu bahwa jika ia menolak, Michael akan melakukan apa yang ia ancamkan. Dengan suara yang hampir tak terdengar, Vania akhirnya berbisik, "Aku... aku milikmu, Michael." Michael tersenyum tipis, puas dengan jawaban Vania. "Bagus," ucapnya sebelum mengecup kening Vania dengan lembut, seolah menandai klaimnya. ** Wajah Vania tampak panik saat ia mencoba mencari cara untuk meminta izin keluar rumah. Dengan napas yang masih tersengal-sengal, ia bertanya pada Maria, satu-satunya pelayan yang ia temui di rumah besar itu, "Maria, apa aku boleh pergi ke tempat kursus?" Maria, yang tampak ragu dan gugup, merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Ia tahu betapa temperamentalnya Michael, dan ia takut akan kemarahan tuannya jika ia berbicara tanpa izin. "Saya ... saya tidak berani bertanya pada Tuan Michael, Nyonya," jawab Maria dengan suara gemetar. Vania tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kecemasannya. Ia meraih tangan Maria dengan lembut. "Tidak apa-apa, Maria. Biar aku saja yang meminta izin padanya," ujar Vania, berusaha menenangkan pelayan itu. "Tapi Nona Vania ...." Maria mencoba memperingatkan, namun Vania sudah memutuskan untuk tidak mendengarkan. Ia langsung melangkah menuju ruang kerja Michael, tempat suaminya biasa menghabiskan waktu berkutat dengan pekerjaannya. Begitu masuk ke dalam ruangan, Vania mendapati Michael sedang sibuk dengan laptop di mejanya. Tanpa mengangkat kepalanya, Michael langsung menyindir dengan nada dingin, "Putri bungsu keluarga Steven ternyata tidak pernah diajarkan sopan santun." Sindiran pedas itu membuat Vania menundukkan kepalanya, merasa kecil di hadapan suaminya yang begitu dominan. Michael mendongak dan menatapnya dengan tajam, "Kau datang ke sini tidak untuk berdiri di sana, kan?!" "Michael, aku ingin izin padamu kalau aku sekarang ingin pergi kursus di ...." Vania mencoba berbicara, namun segera dipotong oleh Michael yang berkata dengan nada sarkastik, "Pergilah dan jangan kembali lagi, atau pergi dan jangan pernah hidup kembali." Vania menghela napas panjang, merasa semakin terpojok. Namun, ia memberanikan diri untuk melanjutkan, "Aku hanya sebentar, kursus melukis hanya dua jam dan aku akan segera pulang. Aku mohon." Michael memanggilnya dengan nada perintah, "Cepat ke sini." Vania berjalan dengan langkah ragu ke arah suaminya. Ia berdiri di samping Michael yang kini bangkit dari duduknya, membuat gadis itu semakin gemetar. Michael meliriknya, kemudian tersenyum miring. "Pergilah," ucapnya dengan nada setengah mengejek, "tapi kau harus ingat dan tepati janjimu. Jika kau bilang kau akan pulang sore, kau harus pulang sore. Satu jam saja kau terlambat, kau habis di tanganku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN