Tidak Semudah itu

808 Kata
Mendengar ancaman itu, Vania merasa lega sekaligus takut. Dengan cepat, ia menganggukkan kepala, menandakan kesanggupannya. "Baiklah, aku akan menepati janjiku," jawab Vania dengan senyum penuh semangat, meski dalam hatinya masih tersimpan ketakutan. Namun, saat Vania hendak pergi, langkahnya terhenti ketika Michael tiba-tiba menarik lengannya dengan kuat, membuatnya hampir jatuh sebelum akhirnya ia berada dalam dekapan Michael. Matanya melebar, menatap suaminya dengan keterkejutan yang jelas. "Kau ingin pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun? Kau tidak punya rasa terima kasih sama sekali padaku, Vania," desis Michael sambil melingkarkan kedua tangannya di tubuh Vania, menahannya erat. Vania menghela napas panjang, wajahnya memerah karena malu dan marah. "Lepaskan aku dulu ...," ujarnya dengan suara pelan. "Tidak, ucapkan terima kasih dulu, baru aku lepaskan," balas Michael dengan nada yang tak bisa ditawar. Vania, dengan enggan, menundukkan kepalanya lagi. Dengan suara yang hampir tak terdengar, ia berkata, "Michael … terima kasih." "Tatap aku dan ucapkan lagi," perintah Michael, menuntut lebih. Vania terkejut, namun dengan ragu-ragu ia mendongakkan kepalanya dan menatap Michael. Senyuman puas terlihat di wajah Michael, dan dengan gerakan yang tiba-tiba, ia menundukkan kepalanya untuk menggapai bibir Vania. Namun, Vania dengan cepat menutup bibirnya, mencoba menolak. "Kau mau apa?" tanyanya panik. "Bayar di tempat, istriku," jawab Michael dengan nada menggoda, sebelum menarik tangan Vania dan mengecup bibirnya dengan cepat. Saat itu juga, suara pintu terbuka, membuat Vania segera mendorong Michael dengan keras. Namun, Michael tetap menahannya, tidak membiarkannya kabur begitu saja. Di ambang pintu, seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi ramping berdiri, menatap mereka dengan horor. Matanya membesar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. Suasana ruangan itu seketika dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Tatapan Ramella penuh kemarahan saat ia melihat Michael dan Vania. "Michael, dia—" Michael memotong cepat dengan nada dingin, "Istriku, dan tidak semurah dirimu, Mella." Ramella tertegun, jelas merasa terhina. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya. "Tapi ... bagaimana bisa kau sedekat ini dengan gadis yang jelas-jelas sangat kuno dan ... astaga!" Vania, yang sudah merasa tak nyaman, mendorong Michael pelan dan mengusap kasar bibirnya, mencoba menghapus jejak ciuman yang barusan terjadi. "Aku permisi," ucapnya pelan sebelum berlari keluar dari ruangan, meninggalkan Michael dan Ramella. Kini hanya tersisa Michael dan Ramella di dalam ruangan itu. Ramella, wanita yang selama ini menjadi kekasih Michael, marah dan kecewa. Hubungan mereka tidak mendapat restu dari orang tua Michael, membuat perasaan Ramella semakin membara. Ia melangkah maju dan membanting tas miliknya di meja kerja Michael. "Kau mencintai istrimu, Michael?" "Bukan urusanmu," balas Michael singkat, tatapannya tajam. Ramella tidak menyerah. "Tapi kau tadi memeluknya saat aku masuk! Kau juga terlihat romantis dengannya, Michael!" ucapnya dengan nada marah. Michael menghela napas panjang dan duduk kembali di kursi kerjanya. "Lalu, kenapa kau semalam bersama laki-laki lain? Apa kau pikir hanya kau yang bisa mendapatkan banyak hati? Kau pikir aku sebodoh itu, wanita sialan?" Sementara itu, Vania berjalan keluar dari gerbang rumah Michael. Hatinya terasa berat, dan ia meremas tali tasnya dengan kuat, berjalan sendirian di tepi jalan. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di sampingnya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Devion yang segera turun. "Mari, silakan masuk, Nona. Saya ditugaskan untuk mengawal Nona ke mana saja Nona pergi," ujar Devion dengan nada penuh hormat. Vania mundur perlahan, menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu berlebihan. Lagipula, aku tidak akan kabur. Aku hanya pergi ke kursus seni saja, jadi—" Devion memotongnya dengan nada tegas, "Mari ikut dan patuh sebelum saya menyeret Nona atas perintah Tuan." Pernyataan itu membuat Vania memekik kaget. Sebelum ia sempat menjawab, Devion sudah menarik kasar lengannya, memaksa Vania masuk ke dalam mobil. Di dalam, Vania mengembuskan napas kesal, dan ketika ia mendongak, ia melihat Michael berdiri di lantai tiga rumah, bersendakap dan menatapnya dari kejauhan. Dalam mobil, Vania menangis, meratapi nasibnya. "Ya Tuhan, kenapa kau jahat sekali padaku? Kenapa kau harus mempertemukan aku dengan laki-laki seperti dia? Kenapa harus menjadi suamiku!" isaknya, putus asa. Devion yang duduk di sampingnya merasa kasihan, namun tetap setia pada tugasnya. "Selama Nona patuh pada Tuan, saya rasa Tuan tidak akan mengambil tindakan kasar." Vania terisak dan menatap Devion dengan penuh kesedihan. "Bagaimana caranya aku pisah dengan dia? Aku tidak bisa hidup terus seperti ini!" Devion menggeleng pelan. "Tidak ada, Nona. Tidak ada kata pisah sebelum Tuan yang benar-benar menginginkan hal itu." Vania mengembuskan napas panjang, menundukkan kepala, merasa semakin bingung dan terperangkap dalam keadaan ini. Tangisannya semakin menjadi, merasakan betapa beratnya beban hidup yang ia pikul. "Lalu, bagaimana dengan nasibku? Aku bisa mati kalau terus hidup seperti ini dengan laki-laki seperti dia," isaknya dengan suara lirih. Devion merasa iba pada gadis muda itu. "Tujuan Tuan hanya ingin memiliki seorang anak saja, Nona. Saya rasa kalau Nona bisa hamil dan melahirkan seorang anak, maka Tuan akan membebaskan Nona." "Maksudmu ... aku bisa pergi? Lalu ... bagaimana nasibku nanti? Ya Tuhan, apa selamanya aku akan menjadi istri pemuasnya saja?" Vania bertanya dengan suara yang semakin lemah, penuh ketakutan akan masa depannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN