Part 14. Pernikahan Rekayasa

1456 Kata
Part 14. Pernikahan Rekayasa Sulit sekali bagi Rachel mempercayai dirinya sudah menikah hari ini dan statusnya pun berubah dengan cepat. Dari seorang Nona menjadi Nyonya Daniel. Sepanjang pemberkatan berlangsung, pikiran Rachel melambung tinggi. Entah apa yang dipikirkannya hingga ia tak menyadari siapa yang telah dinikahinya. “Saya bersedia menikahi Daniel Ananta Alexander dalam suka maupun duka.” Rachel merapal ucapannya dengan cepat, seolah ia sudah menghapalnya di luar kepala. Sama sekali tidak ada kendala saat ia mengukir janji setia sehidup semati disaksikan pejabat catatan sipil yang mencatat pernikahan mereka. “Kalau begitu, silakan cium mempelai Anda.” Daniel memagut dagu Rachel. Perempuan itu bergetar saat wajah mereka saling mendekat. Napasnya memburu. Matanya terpejam, bersiap menerima kecupan ringan di bibirnya. Sayangnya, Daniel hanya mendaratkan kecupan ringan di dahinya. Lelaki itu senyum lebar, menggodanya. “Di hari pertamamu menjadi istriku, kau harus mengingatku di kepalamu tentang siapa aku. Bukan di bibirmu yang penuh kepalsuan itu, Rachel.” Daniel bukan lelaki yang mudah ditebak. Rachel mendorongnya menjauh, bibirnya mencebik karena seharusnya dia yang bersikap arogan bukan lelaki yang telah sah menjadi suami kontraknya. ‘Sialan! Kenapa dadanya berdebar-debar tak menentu,’ runtuk Rachel dalam hati. “Baiklah. Sekarang kalian resmi menjadi pasangan suami istri. Ini sertifikat pernikahan kalian. Silakan ditanda tangani. Rachel menandatangani sertifikat pernikahannya tanpa membaca siapa nama pasangan yang dinikahinya itu. Daniel menuliskan nama lengkapnya sesuai identitasnya, untungnya Rachel tidak menyadari siapa dirinya. “Well, karena kita sudah menikah. Jadi setelah ini apa Nyonya Daniel?” “Wait, aku lupa satu hal. Ini cincin pernikahan kita, aku sudah membelinya kemarin. Kuharap cincin ini muat di jarimu.” Rachel melingkarkan cincin di jemari manis Daniel yang dua kali lebih besar dari ukuran jari manis miliknya. “Syukurlah, ukurannya pas,” ucapnya sambil menghela napas lega. Rachel tersenyum puas melihat cincin itu melingkar di jari lelaki yang telah resmi menjadi suaminya. Meskipun pernikahan ini hanya pura-pura, setidaknya ia sudah memberikan sebagian perhatiannya di hari pernikahannya yang sakral ini. “Kemarikan, tanganmu.” Rachel tidak mengharapkan Daniel memberikannya cincin. Setidaknya lelaki itu sudah setuju dengan tawarannya saja ia sudah beruntung. “Nggak usah memberiku cincin, Daniel!” Rachel menolaknya dengan halus. Ia tak mau memberatkan lelaki itu dengan memaksanya membelikan dirinya cincin. “Sudahlah, kemarikan tanganmu!” Daniel memaksanya. Rachel terpaksa menurut. Lelaki itu mengeluarkan sebuah cincin bermahkotakan berlian yang luar biasa besar. Rachel terkejut melihat kilauan indah yang terpantul dari batu kristal yang menghiasi cincinnya. “Wow, apa ini asli?” Rachel tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Matanya membulat tak percaya melihat cincin berlian itu melingkar di jari manisnya. “Anggap saja begitu,” tukas Daniel, enggan menjelaskan keaslian berlian seberat sepuluh karat milik mendiang ibunya. “Yah,” Rachel tak menyembunyikan kekecewaannya. Ia tetap tersenyum menghargai usaha lelaki itu memberinya cincin walau perhiasan imitasi sekali pun. “Terimakasih,” bisik Rachel lirih. “Sama-sama.” Senyum Daniel yang tulus sedikit menghangatkan hatinya. “Setelah ini kau mau ke mana?” tanya Daniel yang penasaran karena jadwalnya sengaja ia kosongkan hari ini. “Pergi bekerja,” jawab Rachel lugas. “Di hari pernikahamu?” Daniel berseru, tak percaya. Bahkan di hari istimewanya wanita ini masih fokus bekerja. “Aku harus membayarmu, Daniel. Dan uang sebesar itu cukup banyak bagiku.” “Kalau begitu, kenapa kau tawarkan uang sebanyak itu padaku?” gerutu Daniel yang memang sejak awal tak tertarik pada uang Rachel. “Aku lebih memilih kehilangan banyak uang dibandingkan harus hidup di bawah bayang-bayang ayahku dan pernikahan paksaan itu.” “Tapi, kau sendiri bahkan merekayasa pernikahanmu denganku.” “Setidaknya menikah denganmu nggak akan seburuk jika aku harus tinggal bersama ayah dan nenek sihir itu,” gumam Rachel. “Biar kutebak, nenek sihir yang kau maksud itu pasti ibu tirimu?” “He eh, dan nenek sihir itu juga memiliki penyihir lainnya.” “Hm, kalau begitu apa kau membenci mereka?” “Tentu saja. Aku sangat membenci mereka.” Rachel berkata dengan sangat yakin, membuat Daniel sedikit mengerti tentang keluarga istrinya. *** Setelah mengantarkan Rachel ke rumah sakit untuk bekerja, Daniel mengambil ponsel dari dalam saku celananya. “Halo? Ini aku Dan.” Daniel menghubungi asistennya, Albert. “Tuan, Anda di mana sekarang?” Nada suara Albert yang biasanya tenang, terdengar panik saat menjawab teleponnya. “Ada apa?” “Nyonya Reinatta datang ke kantor untuk bertemu Anda.” “Bilang padanya kalau aku sedang ada urusan bisnis di luar negeri.” Daniel belum siap bertemu neneknya, karena seperti yang ia ketahui, sang nenek bukan tipe wanita yang mudah ia tipu. “Tapi, Tuan ... “ “Pokoknya jalankan perintahku, atau kau harus siap kehilangan pekerjaanmu. Kau mengerti, Albert?” Daniel mulai mengancam sehingga Albert tak punya pilihan selain mengikutinya. *** Reinatta memaksa masuk ke ruang kerja cucunya yang tertata rapi. Matanya yang biru pekat, mengintai setiap sudut yang ada di ruangan tersebut. “Kemana anak begundal itu?” Reinatta sudah hilang kesabaran karena hampir dua minggu, Daniel tak kunjung menghubunginya. “Tu-tuan Daniel sedang ke luar negeri untuk urusan bisnis, Nyonya.” “Jangan membohongiku, Albert!” Reinatta menggebrak meja dengan tak sabar. Sejak kemarin ia berusaha menghubungi cucunya namun tak ada kabar. Ponselnya pun tidak aktif. Daniel seolah hilang ditelan Bumi. Tentu saja sebagai seorang nenek ia begitu mengkhawatirkannya. Albert gemetar didesak oleh wanita nomor satu di keluarga terpandang Edyson. Tidak ada satupun yang berani melawan wanita tangguh ini, termasuk almarhum Edyson, suaminya yang selalu mengalah jika berhadapan dengan istrinya. “Katakan pada anak nakal itu. Kalau sampai besok tidak menemuiku. Maka aku sendiri yang akan mencarinya, kau mengerti?” Baik Reinatta maupun Daniel, nenek dan cucu itu, mereka berdua berhasil membuat Albert pusing tujuh keliling. “I-iya, Nyonya ... “ Albert menelan salivanya kuat sambil menahan gemetar di sekujur tubuhnya. Reinatta berbalik, lalu pergi meninggalkan Albert yang ketakutan karena intimidasinya. *** “Wah, Dokter Rachel tumben Anda baru datang jam segini.” Salah seorang perawat yang sednag bertugas di ruang jaga menyapanya sinis. “Aku tadi ada urusan sebentar,” jawab Rachel dengan santai, enggan mempedulikan sapaan perawat tersebut dan tatapan sinis petugas medis lainnya. “Ckckck, hebat sekali Dokter Rachel baru datang sekarang.” Salah seorang rekan kerjanya yang bernama Lily bertepuk tangan menyambut keterlambatannya. Sejak awal magang di rumah sakit ini, Lily selalu memandang sinis padanya terlebih saat tahu Rachel mengejar cinta Dokter Richard, dokter yang menjadi pujaan hati para wanita di rumah sakit ini. “Wah, terimakasih atas sambutannya Dokter Lily.” Alih-alih tersinggung Rachel hanya menanggapi dengan santai. Seketika wajah Lily berubah masam karena Rachel sama sekali tidak terpengaruh olehnya. “Wah, Dokter Rachel apa hari ini Anda memakai cincin kawin?” Perawat yang penasaran itu segera memegang tangan kiri Rachel. “Ya, Tuhan ini cincin berlian yang luar biasa indah.” Semua perawat mengelilingnya hanya untuk melihat cincin berlian super besar yang melingkar di jari manisnya. Rachel merasa rikuh karena dia mengira cincin itu hanya sebuah cincin imitasi seperti yang Daniel katakan. Lagipula, darimana uang sebanyak itu? Daniel bukan lelaki kaya raya yang sanggup membeli cincin berlian. “Wah, suamimu pasti kaya raya ya?” Mereka semua terang-terangan menatap iri ke arah Rachel. Seketika Rachel bingung bagaimana menjelaskannya. “Oh, ternyata selama ini Dokter Rachel sudah menikah. Tapi kenapa nggak tahu malu ya? Sudah jadi istri orang tapi terang-terangan mengejar lelaki lain,” sindir Lily dengan suara lantang. Jelas bermaksud ingin memprovokasinya. “Itu ‘kan sebelum dokter Rachel menikah.” Salah seorang perawat membelanya. “Masa iya, perasaannya yang tulus itu bisa semudah itu berubah dan menikahi lelaki lain. Malang sekali suaminya.” Lily dengan jelas sengaja menyindirnya hingga Richard yang pernah menjadi cinta pertama Rachel mendengar obrolan mereka. “Dokter Richard, apakah Anda tidak memberi selamat kepada Dokter Rachel atas pernikahannya?” Richard yang hanya melintas melewati kerumunan perawat seketika menghentikan langkahnya. Tatapannya tertuju pada Rachel yang terdiam. “Iya, Dokter. Lihat nih cincin nikah Dokter Rachel. Besar sekali ‘kan berliannya?” Enggan merespon, Richard cuma berkata singkat, “Selamat atas pernikahanmu, Rachel.” “Te-terimakasih Dokter.” Rachel menjawab dengan sopan. “Sudah, kalian jangan kerubungi Dokter Rachel terus. Dia pasti merasa tidak nyaman.” Richard membubarkan kerumunan perawat yang penasaran dengan cincin nikah Rachel yang sejak mereka mereka perbincangkan. Lily melirik sinis ke arah jemarinya, tempat di mana berlian mewah itu melingkar. “Selamat ya, Rachel atas pernikahanmu yang mendadak. Kuharap pernikahan ini bukan cerita rekayasamu setelah ditolak Richard mentah-mentah.” Ucapan Lily sangat menohok, Rachel hendak membalas tetapi wanita itu telah lebih dulu pergi meninggalkannya. Tangan Rachel terkepal kuat, merasa kesal bercampur amarah. Hanya saja ia sendiri bingung, mengapa ia harus tersinggung mendengar ucapan Lily yang benar adanya. Seharusnya ia tidak perlu merasa kesal, karena pernikahannya dengan Daniel hanyalah rekayasa. Tapi anehnya, ia justru merasa kesal dan ingin membuktikan bahwa pernikahannya bukanlah rekayasa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN