Part 13. Sebatas Kontrak Pernikahan
Setibanya di apartemen, Daniel langsung disodorkan oleh sebuah map coklat yang berisi klausul soal kontrak pernikahan mereka.
“Apa ini?”
“Kontrak pernikahan kita!”
“Apa kau yakin kita akan menikah?” Daniel masih meragukan rencana tersebut.
“Memangnya kenapa?”
“Lho, bukannya kamu sudah mengancam ayahmu supaya tidak mengusikku lagi?”
“Lalu?”
“Berarti kita tidak perlu benar-benar menikah ‘kan?”
“Nggak bisa! Kau nggak kenal ayahku orang yang seperti ini. Jika kita tidak mendaftarkan pernikahan kita, cepat atau lambat dia pasti akan segera tahu. Nah, aku yakin dia sudah membuat seribu cara agar memaksaku menikahi lelaki tua itu.”
“Apakah ayahmu semenakutkan itu?”
“Tentu saja, karena dia ayahku.”
“Terus apa rencanamu?” Daniel mendesah putus asa.
“Pokoknya kau baca dulu klausuk kontrak pernikahan kita!”
“Oke.” Daniel membuka amplop itu dan membaca berkas di dalamnya dengan seksama. Sebagai seoranh CEO terkemuka, Daniel secara rinci akan membaca setiap kontrak investasi atau kerjasama dengan ia setuju atau menanda-tanganinya.
“Ada masalah?” tanya Rachel, harap-harap cemas.
“Di sini tertera, tidak boleh ada sentuhan fisik kecuali di depan orang lain untuk meyakinkan bahwa kita memang menikah.”
“Iya. Apa kau keberatan?” Meskipun mereka menikah, Rachel tidak mau menjerat Daniel seolah ia sedang memanfaatkan lelaki itu.
“Tidak! Aku sama sekali tidak keberatan.” Daniel berkata penuh percaya diri. Karena ia yakin bisa menghindari sentuhan fisik dengan wanita mungil seperti Rachel yang sama sekali bukan tipenya.
Wanita tipe Daniel adalah yang seksi bak fotomodel, atau wanita yang memilik lekuk tubuh aduhai yang selalu memanjakan dirinya setiap kali mereka bercinta. Bukan wanita perawan tua dan tak berpengalaman seperti Rachel.
Dalam sekali lihat, Daniel sudah bisa menebak kalau wanita itu masih perawan di usianya yang beranjak 28 tahun. Sebuah hal yang tabu di negara bebas tempat mereka tinggal saat ini.
“Pasal kedua, mengatakan kalau kau bebas pergi bersama lelaki lain dan aku pun demikian?” Daniel merasa sedikit aneh.
Jika mereka memang berniat menjalani kontrak pernikahan mengap mereka tidak saling menjaga jarak dengan lelaki atau wanita lain yang bisa merusak kerjasama mereka saat ini. Tapi Daniel tak memusingkannya.
Itu artinya, ia tetap bisa bersama wanita, memadu kasih seperti yang biasa ia lakukan selama ini.
“Apa ada masalah dengan pasal kedua?”
“Tentu saja, tidak!” Daniel menjawab sambil tersenyum amat lebar sehingga ia bisa memamerkan barisan giginya yang putih bersih. “Pihak pertama dan kedua bertanggung jawab atas tempat tinggal mereka.” Kemudian Daniel melanjutkan klausul pasal berikutnya.
“Iya, itu maksudnya aku ingin kau membantuku mengurus apartemen ini. Karena kau tahu, aku harus sibuk bekerja di rumah sakit dan nggak punya waktu mengurus rumah atau memasak.”
“Ooh, begitu.”
“Kau tenang saja. Aku pasti akan menambahkan bonus untuk setiap pekerjaan yang kau lakukan.”
“Oke.” Daniel menyetujuinya begitu saja. “Apa ada lagi?” Ia membolak-balik halaman di kertas itu dan tidak menemukan catatan lainnya selain ruang kosong untuk ia tanda-tangani.
Rachel menggeleng, “Untuk sekarang mungkin cukup sampai disitu. Jika di lain waktu kita menemukan kesepakatan lain, aku akan menambahkannya. Apa kau setuju?”
“Baiklah. Tidak masalah!” Daniel tidak mau ambil pusing. “Sekarang di mana aku harus tanda tangan?” Makin cepat ia tanda tangani maka urusan pernikahan kontrak ini akan lebih cepat selesai.
“Tunggu sebentar!” Rachel menghentikan Daniel sementara.
Ia lantas pergi ke kamarnya untuk mencari sesuatu. Daniel hanya menunggunya di ruang tamu. Padahal ia tahu di mana posisi pena berada, tapi ia memang sengaja tidak ingin memberitahu Rachel. Dabiel berpikir Rachel akan mencari pena untuk mensahkan kesepakatan mereka.
Ternyata Daniel salah. Wanita yang akan menjadi calon istrinya itu sulit ditebak.
Tak berselang lama, wanita itu akhirnya kembali sambil membawa sebuah kotak misterius di tangannya.
“Mana tanganmu?” Rachel meminta Daniel mengulurkan tangannya. Daniel memberinya dengan patuh.
Rachel menengadahkan telapak tangan lelaki itu, dan crot ... ia menusukkan sebuah jarum di telunjuk tangannya.
“Aw,” Daniel meringis menahan rasa sakit akibat tusukan benda tajam itu. Lalu dengan santainya, Rachel menempel darah yang keluar dari telunjuk Daniel di kertas yang bertuliskan kontrak pernikahan mereka.
“Apa kau gila, hah?” Daniel mendengus sambil menjilati tangannya yang terluka. Kemudian Rachel melakukan hal yang sama dengan tangannya dan membubuhkan darahnya, menyatu dengan darah Daniel di atas kertas tersebut.
“Ketahuilah, darah lebih kental dibandingkan tinta. Jadi perjanjian ini mutlak bagi kita berdua.”
‘Dasar dokter gila!’ pekik Daniel dalam hati. Tak mengira kalau Rachel akan bertindak seekstrim itu.
***
Keesokan pagi, matahari seakan bersekutu dengan kedua pasangan nikah kontrak itu. Bintang terdekat dan terbesar di Tata Surya memancarkan sinarnya yang hangat di pagi hari yang cerah itu.
Rachel sudah berdandan secantik mungkin sejak fajar menyingsing. Ia mengenakan setelan gaun sederhana yang ia beli di pelelangan bersama ibunya sebelum wanita yang dicintainya itu meninggal dunia karena depresi, melihat suaminya yang tak lain adalah ayah kandungnya lebih memilih wanita lain dibandingkan ibunya.
Meski hanya sebatas pernikahan kontrak, Rachel mencurahkan seluruh perhatiannya pada pernikahan mereka. Ia hanya akan menikah sekali seumur hidup, jika pada akhirnya ia harus mengakhiri pernikahan mereka, Rachel bersumpah tidak akan pernah menikah lagi.
Di sisi lain, Daniel sudah siap dengan tuxedo yang ia pesan jauh-jauh hari sebelum Rachel menyusun pernikahan mereka.
Lelaki itu menyuruh asistennya Albert untuk membawakannya cincin kesayangan ibunya yang diwariskan padanya. Sedangkan cincin hadiah dari ayah mereka diwariskan pada adiknya, Selena.
Meski hanya pernikahan kontrak yang suatu saat akan berakhir, Daniel tidak mau mempermainkan momen sakral pernikahan. Ia sudah menyiapkan segala sesuatu untuk hari istimewanya yang pertama dan terakhir.
Karena jika kelak pernikahan kontrak ini berakhir, ia tak memiliki niat untuk menikah lagi. Hanya itu yang ada di pikirannya. Setidaknya ia hanya harus menjalankan perannya dengan baik.
“Apa kau yakin akan menikah, Tuan?” Albert nyaris tidak mempercayainya saat bosnya menyuruhnya membawakannya beberapa barang yang ia butuhkan termasuk tuxedo dan cincin warisan ibunya.
“Ini cuma pernikahan kontrak, Albert. Aku tidak benar-benar menikah!” seru Daniel enggan menjelaskan lebih rinci soal situasinya.
“Lalu bagaimana dengan Nyonya Edyson dan Nona Selena, Tuan? Mereka terus mendesak saya agar mengatakan di mana Tuan berada?”
“Bisakah kau tahan mereka sebentar, Albert. Kurasa pernikahan ini tidak akan lama. Jadi aku pasti segera kembali. Kau mengerti?”
“Tapi, apakah Anda tidak mau menceritakan pada mereka soal pernikahan Anda?” Albert semakin khawatir.
Karena selama ini dirinya terus diberondong ratusan pertanyaan tentang ‘dimana Daniel?’ Yang bahkan Albert sendiri tak tahu bagaimana harus menjawabnya.
“Pokoknya jangan sampai mereka tahu.” Daniel mengancam asistennya, membuat Albert terbelenggu oleh ketidak berdayaannya melawan perintah Daniel.
“Apa saya perlu datang menjadi saksi di pernikahan pura-pura Anda?”
Daniel mendelik tajam, “Apa kau gila? Calon istriku bahkan tidak tahu siapa aku, kecuali aku pria miskin yang malang karena tidak memiliki keluarga.”
Albert tertegun mendengarnya. “Maksudnya? Anda menyamar menjadi pria miskin?” Albert berkata dengan nada skeptis yang direspon dengan anggukan kepala Daniel. “Dan wanita itu percaya?”
“Pokoknya jangan sampai identitasku sebagai seorang Daniel Ananta Alexander tersebar.” Sebuah ancaman lagi tersirat dari nada suara bosnya.
Albert hanya mendesah lemah, “Baiklah.” Ia enggan untuk berdebat lagi dengan bosnya.
***