Bab 1. Pria Asing Berlumuran Darah
***Bab 1. Pria Asing Berlumuran Darah***
Hujan turun dengan lebat, membasahi jalanan kota York yang sunyi. Lampu jalan yang redup hampir tidak mampu menembus kegelapan malam.
Di salah satu sudut jalan, sebuah mobil terparkir dengan lampu hazard menyala. Di samping mobil itu, terbaring seorang pria, tubuhnya penuh dengan luka-luka yang menganga, darah mengalir deras membasahi jalan yang kotor.
Pria itu bernama Daniel, seorang mafia yang dikenal kejam, terkapar tak berdaya di tengah hujan deras.
Wajahnya yang tampan kini memucat, sepasang mata abu-abu yang biasanya menawan, terlihat meredup.
Ia merangkak di aspal jalanan yang lembab. Aroma hujan menusuk hidung, membuatnya sulit untuk bernapas.
"Apa dia sudah mati?" Samar, Daniel mendengar suara seseorang berkata pada satu orang lainnya yang tak lain adalah penyerangnya.
Siapa pun orang itu, Daniel bersumpah akan membalaskan dendam pada mereka yang telah membuatnya terkapar seperti ini.
"Ayo kita pergi, sebentar lagi juga dia akan mati. Tugas kita selesai." Lelaki itu berbicara lagi.
Keduanya sepertinya tidak menyadari bahwa korban mereka masih tersadar. Sekarat dalam luka akibat hilangnya darah oleh senjata mereka.
"Bagaimana jika ada orang lain yang melihat?" Lelaki satunya bertanya lagi, khawatir jika tindakan brutal mereka diketahui orang lain.
"Makanya, ayo cepat kita pergi," tukas rekannya.
"Sial!" Daniel berseru sambil berjuang menahan rasa sakitnya, dan napasnya yang terengah-engah terdengar gemetar.
Setiap hembusan nafasnya terasa seperti usaha terakhir, kehidupannya seolah sedang bergantung pada seutas benang.
Tipis harapan baginya untuk hidup. Pikirannya amat pesimis. Di ujung sisa hidupnya dia berdoa untuk pertama kalinya. Selama hidupnya ia tak pernah percaya pada Tuhan, tapi kali ini satu-satunya harapan adalah Tuhan.
"Tuhan, tolong aku agar aku bisa hidup dan membalaskan dendamku," bisiknya lirih sebelum ia akhirnya menutup matanya dan kesadarannya pun menghilang.
***
Tiba-tiba, cahaya lampu jalan menyilaukan matanya yang mulai memudar.
Daniel berpikir, ia akan mati. Nyatanya, Tuhan masih memberinya sepenggal napas untuknya terus hidup.
Mungkin jika ia mati, ia akan menyalahkan Tuhan karena tidak membiarkannya mengetahui siapa pembunuhnya.
Daniel mulai merangkak perlahan.
Dan kemudian, bayangan seseorang muncul di depannya. Seorang wanita muda dengan mantel hujan yang basah kuyup, dengan tergesa-gesa mendekatinya.
Mata Daniel yang mulai redup mencoba memahami apakah itu malaikat yang akan mencabut nyawanya?
"Hey, kau baik-baik saja?" suara perempuan itu terdengar lemah di tengah gemuruh hujan yang semakin deras.
Tapi Daniel hanya mampu mengeluarkan desahan lemah. Wanita itu segera menyadari seriusnya keadaannya.
Tanpa ragu, dia membungkus luka-lukanya dengan pakaian yang dia kenakan, berusaha menghentikan darah yang terus mengalir.
Dengan sigap, wanita itu membalut lukanya. Menghentikan derasnya darah yang mengalir dari tubuhnya.
"Bertahanlah," bisik wanita itu dengan suara gemetar, seolah memohon kepada takdir untuk memperpanjang nyawa pria di hadapannya.
Tapi mata Daniel sudah mulai terpejam. Hanya ada satu pemikiran terakhir yang menghantuinya sebelum dia kehilangan kesadaran sepenuhnya: apakah ini akhir dari segalanya? Akankah Tuhan tidak mendengar do'anya?
Wanita muda itu bernama Rachel. Meski gemetar, ia tidak kehilangan akal. Sebagai seorang dokter, ia tahu cara pertolongan pertama dalam keadaan darurat.
Dia segera mengambil ponselnya dan menelepon nomor darurat.
"Tolong! Saya menemukan seseorang terluka di sini. Tolong kirim bantuan segera! Cepatlah, orang ini sekarat. Tolong kirim ambulan. Lokasinya di Jalan Wallachia dekat danau!" teriak Rachel melalui telepon, suaranya hampir tercekat oleh kepanikan.
Sementara menunggu bantuan datang, Rachel mencoba mengobati luka-luka Daniel semampunya.
Air hujan semakin menjadi-jadi, namun dia tidak peduli. Yang dia pikirkan hanya satu hal: menyelamatkan nyawa pria itu.
Daniel, meskipun kehilangan kesadaran, merasakan sentuhan lembut Rachel. Itu memberinya sedikit kehangatan di tengah-tengah dinginnya hujan malam itu. Pikirannya kabur, tetapi dia merasa bahwa dia tidak sendirian.
Akhirnya, suara sirene ambulance terdengar di kejauhan. Rachel merasa lega. Mereka akan datang tepat waktu. Dia tidak akan kehilangan pria itu.
"Bertahanlah. Kau akan baik-baik saja," bisik Rachel pada lelaki yang sekarat itu.
***
Sirene ambulance semakin dekat, memecah kesunyian malam itu. Rachel merasa lega melihat cahaya lampu darurat yang memotong kegelapan. Tidak lama kemudian, mobil ambulance berhenti tepat di depan mereka.
Petugas medis segera keluar dari mobil, membawa peralatan pertolongan pertama. Mereka segera mengambil alih perawatan Daniel dari tangan Rachel.
"Berapa lama dia sudah seperti ini?" tanya salah satu petugas medis sambil mengamati luka-luka Daniel.
"Tidak tahu, saya menemukannya di sini," jawab Rachel gemetar.
Petugas medis itu mengangguk mengerti dan segera mulai bekerja. Mereka membawa Daniel ke dalam ambulance dan segera berangkat ke rumah sakit terdekat.
Rachel duduk di kursi belakang ambulance, hatinya masih berdebar kencang. Dia tidak bisa membiarkan pria itu mati begitu saja. Dia harus bertahan. Dan dia harus bertahan untuknya.
Di tengah perjalanan yang penuh kegelapan, Rachel hanya bisa berdoa semoga pria itu bertahan hidup.
Entah sudah berapa banyak kondisi pasien yang lebih memilukan dibandingkan kondisi lelaki ini, tapi kekhawatiran Rachel padanya jauh lebih besar.
Baru pertama kalinya, Rachel menyelamatkan seorang sekarat di jalanan.
Meski biasanya ia menolong para pasien di ruang gawat darurat, bedanya kondisinya saat ia bertemu lelaki itu begitu dramatis.
Karena ia baru saja kabur dari pernikahannya yang telah diatur sedemikian rupanya oleh orang tuanya yang kolot dan serakah.
Saat ambulance tiba di rumah sakit, Rachel segera keluar dan mengikuti mereka masuk ke unit gawat darurat. Dia duduk di ruang tunggu, menunggu dengan gelisah. Detak jantungnya semakin cepat, dan pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter keluar dari ruang gawat darurat, wajahnya serius.
"Anda keluarganya?" tanya dokter itu pada Rachel.
Rachel menggeleng. "Tidak, saya hanya menemukannya di jalan. Bagaimana keadaannya?"
Dokter itu mengangguk. "Dia kehilangan banyak darah, tapi berkat pertolongan pertamanya berhasil menghentikan pendarahan. Kami akan segera membawanya ke ruang operasi untuk menjahit luka-lukanya. Anda bisa menunggu di sini."
Rachel merasa lega mendengar berita itu. Pria itu masih hidup. Setidaknya, dia masih memiliki kesempatan untuk bertahan.
Sebagai seorang dokter magang, Rachel tahu apa yang harus dilakukan. Masalahnya, rumah sakit ini bukan tempatnya bekerja.
Seharusnya dia menyerahkan urusan operasi itu pada tim dokter rumah sakit. Hanya saja, mengapa ia begitu mengkhawatirkan lelaki bermata abu-abu yang indah itu? Ia bertanya sendiri dalam hatinya, meski ia tak menemukan jawabannya.
Beberapa jam kemudian, dokter itu keluar dari ruang operasi. Wajahnya terlihat lelah, tetapi juga lega.
"Operasi berjalan lancar. Tapi dia masih dalam keadaan kritis. Kami akan memindahkannya ke ruang pemulihan sekarang. Anda bisa menunggu di sana," ujar dokter itu.
Rachel mengangguk, berterima kasih pada dokter itu sebelum dia pergi ke ruang pemulihan. Dia duduk di samping tempat tidur Daniel, memperhatikan napasnya yang teratur. Dia tidak bisa membiarkan pria itu mati. Dia harus bertahan.
Dan saat Rachel duduk di sana, memperhatikan pria itu, dia merasa sesuatu yang aneh. Ada ikatan yang aneh di antara mereka, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Dia tidak tahu siapa pria itu atau mengapa dia merasa begitu terikat padanya, tapi dia tahu satu hal: dia akan melakukan apa pun untuk menyelamatkannya.
Rachel tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi dia tahu satu hal: dia tidak akan pernah meninggalkan pria itu sendirian. Dia akan berada di sana untuknya, selama yang dia butuhkan.
Dan dengan pikiran itu, Rachel duduk di samping tempat tidur Daniel, menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
***