Part 9
Lista mengerjakan mata beberapa kali. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Namun, ditutupnya kembali.
Bibirnya melengkung naik dan menciptakan seulas senyuman yang memikat. Membuatku semakin tak berdaya dan terpukau tanpa mampu menahan diri.
"Makasih, Mas. Aku tersanjung," ucapnya lembut.
"Kembali kasih. Nggak usah terlalu ditanggapi, ya. Anggap saja tadi itu rayuan belaka," sahutku seraya menyeringai.
Lista manggut-manggut dan mendorong tubuhku untuk melepaskan diri.
"Jangan bergerak, biarin gini dulu aja," pintaku sambil mendekapnya kembali.
Lista membiarkan saat aku memiringkan wajah dan menempelkan kepala ke perutnya. Usapan lembut di rambut membuatku merasa nyaman.
Walaupun sekarang mungkin hanya aku saja yang menaruh hati, tapi dari penerimaannya seperti ini, aku merasa yakin masih punya kesempatan untuk mendapatkan hatinya.
Tinggal menunggu waktu agar Lista bisa membalas perasaanku. Aku pun akan melakukan berbagai cara untuk membuatnya jatuh cinta padaku.
"Mas," panggilnya memecah kesunyian.
"Hmmm."
"Aku mau ke kamar mandi nih. Kebelet."
Aku menengadah dan nyaris tertawa melihat ekspresinya yang sedang menahan rasa.
"Bareng, yuk!" selorohku.
Lista menjewer telinga kiri dan bergegas melepaskan pelukan. Berlari masuk kamar mandi. Meninggalkanku sendirian dengan senyuman tiada henti.
***
Malam harinya, satu per satu keluarga Bunda Meli berpamitan. Suasana rumah seketika menjadi sepi. Nyaris hening karena penghuninya sudah masuk ke kamar masing-masing.
Aku masih menancapkan diri di sofa ruang tengah. Memencet remote televisi berulang kali untuk mencari tayangan yang layak ditonton.
Sedikit ragu untuk masuk ke kamar. Niat hati untuk tidur di sini pun harus kubatalkan. Ngeri bila tiba-tiba dipergoki Bunda.
Tidak bisa membayangkan betapa dahsyatnya omelan beliau bila tahu aku dan anaknya pisah ranjang.
Kalau cuma aku yang dimarahi sih tidak apa-apa. Akan tetapi, kalau Lista yang ikut dimarahi itu yang tidak tega.
Apalagi bila Bunda tahu soal perjanjian pra-nikah kami. Alamat kami bakal digantung di pohon cabai.
Ponsel yang menyala tiba-tiba membuatku terkejut. Mengernyitkan dahi saat melihat ada pesan masuk dari Lista.
[Mas, jangan tidur di luar]
[Di dalam rumah ini. Di sofa]
[Maksudnya, jangan di luar kamar]
[Oh, terus di mana?]
[Di kamar]
Aku manggut-manggut.
[Ditunggu]
Senyumanku mengembang.
[Buruan!]
Aku menekan tombol off pada remote. Berdiri dan jalan cepat menuju kamar. Membuka pintu kamar dan tertegun saat melihat lampu sudah padam. Yang tersisa hanya lampu sudut dan bias cahaya dari jendela.
Lista tidak berada di dalam kamar. Mataku berputar mencari sosoknya, sedikit berharap dia akan memberikan kejutan.
"Mas," panggilnya dari dalam kamar mandi.
"Ya," jawabku sambil menutup pintu kamar. Tidak berani lagi menguncinya.
"Tolongin," pintanya.
Aku jalan mendekat dan berhenti di depan pintu kamar mandi.
"Tolongin apaan?"
"Ambilin pembalut di laci meja rias."
Pembalut?
Hadeuh, kirain manggil mau ngajak main gundu.
Aku beringsut ke meja rias untuk mengambilkan roti tumpuk dan kembali ke tempat asal. Mengetuk pintu dengan pelan.
Lista tersenyum saat mengambil bungkusan itu dari tanganku. Menutup pintu kembali dan berdiam diri di sana selama beberapa saat.
"Kenapa nggak ngambil sendiri aja?" tanyaku saat dia ke luar.
"Takut berceceran, Mas. Langsung deras ini," sahutnya sambil jalan ke kasur.
Aku mengekor dan duduk di pinggir saat Lista merebahkan diri. Memandanginya yang sedang mengatur posisi hingga berkali-kali.
"Sakit, ya?" tanyaku saat melihatnya mengusap perut dan pinggang bergantian.
"Iya, mana keram lagi," jawabnya pelan.
"Berbalik!" titahku.
Lista melipat dahi dengan dramatis. Mungkin bingung.
"Mas pijitin pinggangnya," jelasku yang dibalasnya dengan anggukan.
Gadis itu tidak mengeluarkan suara saat aku memijat punggung hingga pinggang langsingnya. Mengaplikasikan ilmu pemijatan yang kupelajari dari Bang Fandi.
Teringat petuahnya dulu saat pertama kali mengajariku memijat dengan Kak Jenny sebagai korbannya.
"Titik-titiknya jangan salah, Kay. Nanti yang ada malah keseleo," ucapnya seraya tersenyum puas saat melihat Kak Jenny meringis.
"Pelan-pelan atuh!" hardik sukarelawan berambut panjang tersebut.
"Udah pelan ini, Kak," jawabku.
"Itu sih tenaga buat mijit tukang becak!" hardiknya.
"Ngaku nih ye!" ledekku.
Tawa Bang Fandi menggelegar di ruangan. Tak peduli istrinya terus mengomeli aku yang meringis.
Dengkuran halus yang keluar dari mulut Lista, menyadarkanku dari lamunan.
Aku bergeser dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Merapikan rambutnya ke samping kanan agar tidak menutupi wajah cantiknya.
Memandanginya tertidur seperti itu, aku merasa dejavu. Dulu, saat masih berstatus sebagai murid SMU, Lista pernah tiba-tiba datang ke rumah sambil terisak.
Aku yang awalnya kebingungan, akhirnya bisa mengerti alasan dia menangis itu karena baru putus cinta.
Gadis remaja itu menangis sesegukan hingga membasahi bantal sofa. Aku hanya berdiam diri dan membiarkannya terus menangis hingga tertidur.
Senyumanku mengembang saat mengingat bahwa waktu itu dia sangat percaya padaku. Nyaris setiap hari akan bercerita tentang kejadian di sekolahnya.
Kebiasaan seperti itu mulai menghilang saat Lista menjadi mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta. Kesibukan masing-masing mulai memperlebar jarak di antara kami.
Baru setahun terakhir ini kami dekat kembali, terutama karena dia sering muncul dan meminta bantuan ini itu.
Aku tertegun saat menyadari bahwa rasa sayang dalam hati ini memang sudah ada sejak lama. Mungkin, sejak dia baru pindah dulu.
Setelah merasa mengantuk, aku merebahkan diri di sampingnya. Tidak sanggup menahan hasrat untuk tidak menyentuhnya.
Lista benar-benar sudah tertidur pulas, hingga tidak menyadari tanganku bergerak mengusap pipinya.
Gadis remaja yang manja ini perlahan berubah menjadi perempuan muda yang semakin menawan. Wajahnya yang selalu tampil alami, nyaris tanpa kosmetik itu justru mempertegas kecantikannya.
Aku memajukan tubuh dan mendaratkan kecupan di dahi dan pipinya. Lista bergerak sedikit, tapi kemudian tetap melanjutkan tidur.
***
"Jangan pindah dulu atuh. Rumah tambah sepi," ujar Bunda Meli saat melihatku menyeret koper ke luar kamar.
"Belum pindah, Bun. Ini mas mau naruh koper aja, karena pakaian cukup pakai ransel," jawabku.
"Oh, kirain mau langsung pindah." Perempuan dewasa itu mengusap dadanya dengan pelan.
Aku menarik kursi dan duduk berhadapan dengan beliau. Meraih cangkir berisi kopi dan menyesap minuman dengan pelan.
"Mas, bisa antar aku ke kampus nggak?" tanya Lista yang baru keluar dari kamar.
"Bisa, sekarang?" balasku dengan bertanya balik.
"Nggak, nanti habis lebaran," jawabnya dengan suara sedikit ketus.
"Lista, nggak boleh kasar begitu. Minta tolong itu baik-baik, bukan sambil cembetut begitu," omel sang bunda yang membuat Lista menunduk.
Aku meneruskan meminum kopi hingga hanya tersisa ampasnya. Berdiri dan jalan ke luar sambil menyeret koper bak peserta acara pencarian bakat yang tereliminasi.