Sayang Kamu

955 Kata
Part 8 Keheningan yang menegangkan ini seolah memakan waktu yang lama. Aku meneruskan menyuap dan mengunyah bubur sembari berpikir untuk memberikan jawaban terbaik. "Oh, itu, Tante. Kemarin kami kecapean sehabis main panco, ya, kan, Sayang?" tanyaku pada Lista yang tertegun sesaat, sebelum akhirnya dia mengangguk dan mengulaskan senyuman manis pada tantenya. Ketiga perempuan itu saling berpandangan, kemudian menghela napas secara bersamaan sambil menggeleng pelan. Setelah ketiganya keluar, Lista berpindah duduk ke sebelahku. "Jangan pernah cerita ke yang lain soal perjanjian kita, ya, Om," pintanya dengan suara yang dilembut-lembutkan. "Oke, tapi kamu juga harus janji untuk mengubah panggilan om," balasku. "Ehm, ganti apa atuh? Mas? Nggak enak nyebutnya. Kayak ngomong sama Mas ojek." Aku menaikkan alis sebelah kiri. "Atau Aa'? Akang? Abang? Uda?" tanyanya dengan diiringi senyuman. "Panggil papa!" tegasku. Gadis berparas menawan itu terperangah. Bibirnya bergerak hendak protes, tapi kemudian diurungkannya. "Deal?" Lista bergeming. "Kalau nggak deal, sekarang juga kuomongin ke bunda," imbuhku sembari berdiri. "Ehh, jangan, Om, ehh maksudku, Mas. Aku deal panggilan Mas aja, ya. Papa kok kesannya kayak udah punya anak," ucapnya sambil menarik ujung kausku. Aku berpikir sesaat, kemudian mengangguk. "Satu lagi, harus mau pegangan tangan kalau di depan orang. Biar kelihatan romantis layaknya pengantin baru." timpalku yang membuatnya mendengkus kesal. "Deal?" Lista memandangi tanganku yang terulur, sebelum akhirnya menjabat dengan separuh tangan. "Jangan gitu. Ayo, salaman yang benar. Mas janji nggak bakal minta yang macam-macam," pujukku. Gadis berbaju biru gradasi putih itu mengulurkan tangan kembali. Aku menjabat dengan erat. Kami saling beradu pandang selama beberapa detik, kemudian sama-sama memalingkan wajah ke arah lain. Aku bersenandika tentang asmaraloka yang mulai membesar di dalam hati. Berharap gadis yang memiliki nayanika tersebut juga akan merasakan hal yang sama, suatu hari nanti. Semoga aku bisa derana untuk mencapai meraki, dan akhirnya akan menjadi adiwarna. Paham enggak, readers? Agak susah untuk menjabarkannya dengan bahasa yang sederhana. Jadi, abaikan saja, ya. *** Aku dan Lista menyalami semua keluarga Bang Fandi yang hendak berangkat untuk pulang ke Jakarta. Melambaikan tangan hingga kedua mobil yang dikemudikan Rio dan Rafiq, sepupunya Bang Fandi itu lenyap dari pandangan. Kemudian, kami kembali masuk ke rumah, membantu Kak Jenny untuk berbenah. Sementara Bang Fandi mengasuh Kiyoshi di dalam mimpi, alias tidur bersama anaknya di kamar Kak Jenny. Sejoli itu masih akan tinggal di sini sampai tiga hari ke depan. Sengaja mengambil cuti agar bisa puas jalan-jalan, menyusuri kenangan masa pacaran mereka dulu. "Om, ehh, Mas. Spreinya ada motif lain nggak?" tanya Lista sambil melihat ke kasurku. "Kenapa emang dengan motif gitu?" balasku dengan bertanya kembali. "Kurang girly." Ya, iyalah, Neng rambut kepang, yang ngisi kamar kan cowok. Masa aku pakai sprei bunga-bunga sih? "Kamu maunya kayak gimana? Di sini motif spreinya cowok banget. Kayak yang ngisi kamar," sahutku sembari merapikan pakaian di lemari. "Yang gambar frozen gitu." Aku sontak menoleh dan menggeleng tegas. "Nggak mau! Sprei begitu pasang di kamarmu aja," tukasku. Lista mengerucutkan bibir dan menjadikan wajahnya sangat menggemaskan untuk dijitak. "Kalau gitu, aku nggak mau tidur di sini," timpalnya. "Coba aja kalau berani. Mas bongkar rahasia kita nih ke bunda," imbuhku. Gadis itu menggertakkan gigi dengan kesal. Aku melanjutkan pekerjaan sambil bersiul, mengabaikan dirinya yang sedang menggerutu. "Halo, udah beres belum?" tanya Kak Jenny yang tiba-tiba muncul di pintu yang terbuka. "Dikit lagi, Kak," jawabku. "Stop dulu deh, laper euy," sambungnya. "Ayo, Kak. Kita ke rumah. Biarin Mas Kay beresin semua," ajak Lista sembari menggamit lengan Kak Jenny dan jalan ke luar. Hadeuh, dasar bocah. Masa aku yang keren begini ditinggal? Dengan menahan kesal, aku jalan ke luar dan mengekor di belakang mereka yang mengobrol sepanjang jalan. "Aih, ditungguin dari tadi. Ayo, kita makan sama-sama," ajak Tante Siska, adiknya Bunda yang paling bungsu. Acara makan siang berlangsung dengan seru. Saling ledek dan canda tawa memenuhi ruangan memanjang ini. Aku menikmati makanan sambil sesekali melirik Lista yang duduk di ujung sofa. Gadis berparas cantik itu sesekali balas melirik, tapi langsung membuang muka ke arah lain, bila tertangkap basah sedang melirikku. "Sayang, bisa tolong buatin teh manis hangat?" pintaku pada Lista yang langsung mendelik. Gadis berparas menawan itu berusaha untuk menahan kesal, bangkit berdiri dan jalan ke dapur dengan langkah yang tampak dipaksakan. Saat dia kembali dengan membawa satu mug besar bermotif bendera negara lain, aku menyambutnya dengan seulas senyuman memikat. "Makasih, Sayang. Duduk sini, jangan jauh-jauhan terus," lirihku yang dibalasnya dengan pelototan. Aku tersenyum dan mengedipkan mata untuk menggodanya. Tawa para Tante yang melihat kelakuanku membuat wajah Lista bersemu merah jambu. Istriku yang memesona itu akhirnya menghempaskan b****g ke sebelah kiri. Sedikit terkejut saat aku menggenggam tangannya, tapi tidak berani untuk melepaskan. Pandangan mematikan ditujukan padaku yang membalasnya dengan juluran lidah, puas sudah mengerjainya. Sesampainya di kamar, Lista langsung mengomel panjang lebar. Aku tidak menghiraukannya dan terus bermain ponsel. Bug! Sebuah tinjuan mendarat di lengan kanan. "Apaan sih? Main tinju aja!" protesku sambil mengusap lengan. "Itu hukuman karena sudah mengerjaiku," jawabnya dengan mata yang melotot. "Itu namanya akting, sandiwara atuh, Geulis! Kalau ngerjain itu yang begini." Aku menarik tangannya hingga Lista kehilangan keseimbangan, dan terjatuh menimpaku. "Arghhh!" pekiknya saat aku melingkarkan lengan dan memeluknya dengan erat. "Sssttt, jangan teriak. Nanti yang lain mikirnya yang iya-iya," sahutku. Lista akhirnya diam dengan tubuh yang kaku. Aku mempertahankan posisi itu selama beberapa menit. Terasa tangannya menyentuh pundak dan mengusapnya perlahan. Aku menengadah dan tenggelam dalam manik mata indahnya. Tatapan yang saling mengunci, membuatku sulit untuk mengalihkan pandangan. Banyak kata yang ingin kuucapkan tapi tidak sanggup diutarakan. Desir halus yang kian membesar itu membuatku tertegun. Menyadari bila aku sudah jatuh hati pada gadis berkulit putih ini. Tangan kanan terulur dan menyentuh pipinya yang seketika menghangat. Mengusap pelan kulit yang halus itu dengan segenap perasaan. "Mas sayang kamu, Lista," ujarku pelan. Sekali lagi matanya membola. "Sejak lama," sambungku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN