Part 10
Sesampainya di rumah, aku meletakkan koper di ruang tamu dan bergegas mengambil kunci motor yang tergantung di dekat sakelar lampu depan.
Mataku berputar mencari keberadaan kunci mobil milik Bang Fandi. Biasanya sih digantung di situ juga, tapi sekarang tidak ada.
Aku jalan ke dapur dan menemukan Kak Jenny sedang mencuci piring sambil bersenandung.
"Kak, kunci mobil di mana? Aku mau ngeluarin motor, kehalang di dekat pagar," ujarku.
"Biasanya di gantungan," jawabnya tanpa menoleh.
"Nggak ada, Kak. Udah kucari barusan."
Perempuan dewasa itu menghentikan aktivitas dan membalikkan tubuh. Mengelap tangannya yang basah ke celemek sambil jalan masuk ke kamar.
Aku beranjak masuk ke kamarku dan meraih jaket dari gantungan di dekat lemari. Mengenakan benda berwarna biru tua itu dengan cepat dan sejenak berdiri di depan cermin. Menatap diriku yang menawan dan memesona. Merapikan rambut dengan jemari sambil tersenyum.
"Cieee, pengantin baru. Senyum-senyum sendiri dari tadi," seloroh kakakku yang centil.
"Masih perjaka nih," sahutku.
"Kenapa?" tanya Kak Jenny dengan alis menyatu.
"Dia lagi dapet."
Tawa Kak Jenny yang sedikit mirip dengan kuntilanak itu, sukses membuatku ikut terkekeh.
"Sabar, Kay. Paling lama juga cuma seminggu. Habis itu gaspol," selorohnya.
Aku manggut-manggut. Tidak mungkin menceritakan rahasia kami pada Kak Jenny. Takutnya dia nggak bisa jaga rahasia. Bahaya.
"Ini kuncinya. Udah, pakai aja mobilnya," ucapnya sembari ke luar kamar.
"Aku belum lancar nyetirnya," timpalku sambil mengekor di belakang.
"Nyetirnya pelan-pelan aja yang penting nyampe."
Aku berpikir sesaat sebelum akhirnya mengangguk dan menuruti ucapannya.
Sesampainya di mobil, aku menyalakan mesin dan membuka pintu lebar-lebar untuk mengeluarkan udara pengap dari dalam.
Membuka pintu pagar dan beranjak masuk kembali ke kamar. Membuka lemari dan mengambil amplop di antara tumpukan baju. Mengambil beberapa lembar uang berwarna merah dan memasukkannya ke dalam dompet. Menutup pintu lemari dan bergegas kembali ke mobil.
Lista datang dengan mengenakan helm kebangsaan, si hello kitty yang centil. Berdiri termangu saat melihatku masuk ke mobil, menutup pintu dan menjalankan mobil ke luar dari halaman.
"Kok bengong? Ayo, naik," ajakku.
Gadis berparas menawan itu membuka pintu dan masuk. Menoleh dan memandangiku dengan ragu-ragu.
"Pasang sabuknya," titahku.
Lista langsung menurut.
"Helmnya mau tetap dipakai?"
"Eh, iya, lupa." Si hello kitty itu dilepas dan dipeluk dengan erat. Seolah takut akan dicuri.
Aku menjalankan mobil dengan kecepatan yang sangat rendah. Semakin pelan saat melewati gundukan yang sering dibilang sebagai polisi tidur.
Lista sepertinya menikmati cara menyetirku. Karena sejak berangkat sepuluh menit yang lalu, kami baru saja ke luar dari gerbang komplek.
"Mas, lagi balapan sama ulat, ya?" tanyanya.
"Bukan, lagi adu lari sama kura-kura," sahutku.
"Tahu bakal. gini mending tadi aku manggil ojek aja deh," keluhnya.
"Berisik! Mas lagi konsentrasi!"
Lista menggerutu dalam bahasa Sunda yang sangat fasih. Aku yang tengah fokus menyetir, mengabaikan segala bentuk ucapan kekesalannya.
Akhirnya setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, kami tiba di kampusnya yang berjarak lima kilometer dari komplek.
Aku menghela napas lega karena berhasil menyetir tanpa menabrak. Sedangkan Lista langsung membuka pintu dan turun.
"Nanti pulangnya jam berapa?" tanyaku saat dia hendak menutup pintu.
"Jam satu. Nggak usah dijemput, Mas. Biar aku pakai ojek aja," jawabnya.
"Pokoknya mas jemput. Titik."
Lista mendengkus dan membuang muka ke arah Selat Sunda. Kemudian menutup pintu dan lari menyusul teman-temannya yang menunggu di dekat tangga selasar.
Aku mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan pulang. Semoga dilancarkan.
***
Sesuai janji tadi pagi, aku sudah sampai di tempat parkir kampus istriku di siang hari yang mendung kelabu.
Aku melirik pergelangan tangan kanan dan tersenyum saat menyadari bahwa aku tepat waktu.
Tidak berapa lama kemudian, tampaklah segerombolan bidadari yang jatuh dari atap kampus, jalan mendekati tempatku berdiri.
Seraut wajah yang kusayang tampak memandangiku dengan mata dipicingkan.
Beberapa perempuan melambaikan tangan ke arahku, dan kubalas dengan lambaian tangan ala pangeran.
"Hai, Ganteng. Nungguin aku, ya?" tanya seorang perempuan yang berwajah manis.
"Kok tahu?" balasku sambil menegakkan kerah jaket jeans yang dikenakan.
"Ada plang yang bertuliskan namaku di dadamu," sahutnya dengan tersenyum lebar.
Aku tersenyum lebar.
"Ish, Kang Iko mah nungguin aku!" sela seorang gadis berambut sebahu.
"Iko?" tanyaku.
"Iya, ih kok keren bingits," imbuhnya.
Aku menyeringai.
"Eits, Ayang bebeb itu mau ngejemput aku. Iya, kan, Ayang?" tanya seorang gadis berkacamata yang tersenyum lebar, memamerkan gigi bersih dan berkilau.
Aku manggut-manggut sambil terkekeh.
"Stop, jangan terus menggoda suamiku. Syuh, syuh, syuh." Lista mendorong teman-temannya menjauh dan langsung memegang lengan kananku.
"Cieeeeee. Lista cemburu!" teriak teman-temannya sambil berlari menjauh.
Aku melirik Lista yang masih menggerutu pada teman-temannya. Kulit putihnya tampak memerah karena menahan emosi.
"Ayo, Sayang. Kita pulang," ajakku.
Lista mengikuti langkahku tanpa melepaskan tangan. Mungkin dia lupa, dan hal itu membuatku senang.
Kami menaiki motor dan memakai helm masing-masing. Kemudian, aku memacu motor dengan pelan.
Jalanan Kota Bandung yang tidak terlalu padat di siang hari ini terasa sangat menyenangkan. Di tengah perjalanan, aku membelokkan setang ke arah sebuah pusat perbelanjaan.
"Kok belok ke sini, Mas?" tanya Lista dari samping kanan.
"Aku lapar, kita makan dulu, ya," jawabku.
Lista tidak menjawab dan kuanggap itu sebagai persetujuan.
Sesampainya di restoran makanan cepat saji, kami duduk berhadapan dan melakukan lomba makan tercepat.
Aku mengulurkan tangan untuk menyeka sisa pizza di ujung bibir mungil miliknya. Lista seketika mematung dan hanya memandangiku dengan mata membola. Secarik senyuman indah terukir di wajahnya yang elok.
Aku membalasnya dengan senyuman lebar dan kuharap sangat manis.
Setelah selesai makan, aku mengajaknya menyusuri selasar yang tampak lengang. Lista tidak menolak saat aku menggandeng tangan kirinya sepanjang jalan.
"Mau nonton nggak?" tanyaku.
Lista mengangguk.
Kami memasuki bioskop yang lebih lengang dari selasar. Masuk ke studio yang dingin dan hanya diisi beberapa penonton.
Film romantis yang kami tonton membuatku sedikit berkhayal menjadi pemeran utama prianya. Berharap bisa seromantis itu pada pasangan.
Aku meraih jemarinya dan menggenggam dengan erat. Mengusap pelan sambil menoleh dan menatap matanya yang indah.
Memberanikan diri untuk menyentuh dahinya dengan bibir. Jantungku seakan berdegup lebih kencang saat Lista membiarkanku menurunkan bibir sedikit demi sedikit.
Embusan napasnya yang hangat menyapu hidungku saat bibir kami bertemu. Kecupan lembut mendarat sempurna. Setelah itu aku menarik diri dan kembali ke tempat semula.
Berusaha menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Harus pelan-pelan dan penuh perhitungan.
Eeeeeaaaaa.