Part 5
Hari berganti menjadi minggu. Tanpa terasa waktu pernikahan sudah semakin dekat. Surat-surat yang dibutuhkan untuk mengurus segala sesuatu di Kantor Urusan Agama pun sudah lengkap. Demikian pula dengan persiapan acara pernikahan.
Hampir setiap hari, calon mertuaku akan datang bersama anaknya yang cantik, untuk mengantarkan makanan sekaligus mendata undangan yang selalu berubah daftarnya.
Seperti hari ini, beliau datang tepat pukul 7 malam. Membawa rantang susun tiga berwarna kuning cerah, warna kesukaan beliau.
Saat aku mulai makan, Mbak Meli ehh Bunda mengeluarkan lagi daftar undangan.
"Kay, ini beneran kamu cuma ngundang 50 pasangan?" tanyanya dengan alis terangkat dan menurunkan kacamata sedikit.
"Iya, Bun. Cukup segitu juga. Orang-orang kantor kan sudah Bunda masukkin ke daftar," jawabku setelah selesai mengunyah dan menelan ati ampela bumbu rendang buatannya.
"Kok dikit? Daftar undanganku aja udah hampir seratus," sela Lista yang sedang duduk di lantai, menyandarkan diri ke kaki bundanya.
"Ngundang yang benar-benar dekat dan berniat untuk datang, Lis. Bukan sekedar teman sekelas atau teman main. Mas kan gitu," sahutku.
"Betul itu, bunda setuju sama Kay," timpal sang Bunda.
"Tapi kan nggak enak, Om, kalau teman sekelas nggak diundang? Nanti aku jadi omongan pula." Lista memandangiku dengan wajah ditekuk.
"Kalau mereka ngomongin kamu itu berarti mereka bukan teman yang baik, dan memang sudah bakatnya nyinyir."
Aku meletakkan piring yang sudah kosong di atas meja. Meraih gelas berisi air teh hangat yang tadi dibuat oleh Lista.
Dahiku langsung terlipat saat merasakan teh ini hambar. Kurang gula dan encer.
"Kenapa? Teh buatanku nggak enak?" tanyanya sembari menatapku dengan tajam.
Hatiku berdebat, apakah hendak mengungkapkan fakta yang sebenarnya atau menutupi kenyataan?
Setelah sepersekian detik berpikir, akhirnya aku mengambil keputusan terbaik.
"Hambar dan encer," jawabku dengan jujur.
Lista mengerucutkan bibir.
"Apa pun itu, mas tetap berterima kasih telah dibuatkan," lanjutku.
"Iya, kembali kasih!" sahutnya ketus.
Bunda menjewer telinga sang putri yang meringis. Aku hanya bisa menggeleng menanggapi jawaban calon istri.
Begini nih, kalau mau nikah sama gadis muda dan manja. Harus menyediakan stok kesabaran yang banyak dan hati seluas planet.
Setelahnya, kami melanjutkan obrolan tentang acara pra nikah. Bunda menginginkan kami memakai adat Sunda secara penuh.
Akan tetapi, Lista dengan tegas menolak. Perempuan muda itu menginginkan acara yang lebih sederhana. Selain karena tidak mau repot, Lista pun memikirkan dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan semua acara secara lengkap itu pasti sangat besar.
Kali ini, aku setuju dengan pendapat Lista. Sedikit terkejut karena ternyata dia cukup paham dan pengertian dengan kondisi keuangan bundanya.
"Oke, jadi yang pasti itu cuma acara pengajian, siraman dan langsung akad nikah. Tidak pakai acara saweran dan yang lainnya. Begitu, kan?" tanya Bunda Meli yang kami balas dengan anggukan yang kompak.
"Okelah, bunda setuju. Sekarang, mari kita lanjutkan rapat dengan pembahasan dana. Kay, kamu punya dana berapa?" tanya beliau sambil menatapku dengan lekat.
Aku mengerjapkan mata, bingung hendak menjawab apa. Lista yang melihatku salah tingkah, sepertinya paham bila aku memang belum menyiapkan dana.
"Bun, ehm, pembicaraan soal dana kita tunda sampai besok, ya. Aku udah ngantuk," ucapnya sambil menguap.
Bunda mengangguk dan mulai mengemaskan berkasnya. Kemudian, berdiri dan jalan terlebih dahulu.
"Lis, makasih, ya," ucapku tulus saat gadis itu beranjak berdiri.
"Sama-sama, Om," sahutnya.
"Ehm, satu lagi. Jangan panggil om dong, panggil mas aja."
"Susah atuh, udah terbiasa manggil Om."
"Dicoba aja dulu. Latihan dari sekarang. Jadi, pas nikah nanti sudah ganti panggilannya."
Perempuan muda itu menggendikkan bahu dan berlalu pergi. Aku mengekor di belakangnya.
Saat Lista sudah berada di teras, aku merapatkan pintu. Tidak menyadari bila dia membalikkan tubuh dan menabrak pintu yang nyaris tertutup sempurna.
Dug!
"Ahh!" jeritnya.
Aku bergegas menarik pintu kembali. Meringis saat melihatnya mengusap dahi yang sedikit memerah.
"Apaan sih? Aku kan mau ngambil rantang. Main tutup aja!" hardiknya sembari mendelik tajam.
"Maaf, nggak tahu kalau kamu mau balik lagi," sahutku.
Spontan kutarik tangannya hingga wajah kami saling berhadapan. Menyentuhkan jemariku di tempat yang sedikit bengkak di dekat pelipisnya.
"Sakit, ya?" tanyaku.
"Udah tahu, pake nanya lagi!"
"Jangan marah."
"Budu!"
"Ntar dicium nih kalau marah-marah terus!"
Bug!
Tiba-tiba sebuah tinju menghantam perutku yang masih terisi penuh.
"Kok ditinju?" cicitku.
"Salah sendiri pakai bilang mau nyium!" hardiknya sembari menjauh.
Meninggalkanku sendiri dengan harga diri yang terluka.
Seorang Kayana Aldari belum pernah ditolak perempuan mana pun.
Baru kali ini aku benar-benar geregetan untuk menaklukkan seorang perempuan.
Siap-siap saja, Lista!
Mas bakal bikin kamu klepek-klepek nanti.
***
Undangan mulai disebar untuk sanak saudara di kampung halaman Bunda Meli dan pihak keluarga almarhum Mas Didi.
Sedangkan dari pihak keluargaku tidak semuanya diundang, dikarenakan sudah banyak yang sepuh dan jaraknya juga jauh, yaitu Kota Semarang.
Hanya dua adik kandung almarhum Ayah, dan seorang Bibi yang merupakan saudara sepupu almarhum Ibu, yang kami undang dan difasilitasi akomodasinya oleh Bang Fandi.
Aku sangat terharu, saat tiba-tiba Bang Fandi dan Kak Jenny datang dua minggu yang lalu. Menyerahkan uang hasil urunan keluarga Bang Fandi, untuk membantu biaya pernikahan.
Saat aku menelepon Abah untuk mengucapkan terima kasih, bulir bening luruh tanpa disadari.
"Jangan nangis, Kay. Harusnya bahagia, sebentar lagi mau menikah," ucap Bang Fandi sambil mengusap pundakku.
"Aku terharu, Bang. Kalian benar-benar perhatian sama aku." Aku mengusap sudut mata dengan punggung tangan.
"Kamu itu udah dianggap abah sebagai anak sendiri. Jangan pernah mengira kamu itu sendirian. Kami selalu ada buatmu."
Aku memiringkan tubuh dan merangkul Abang iparku yang semakin menggemuk. Nyaris menangis lagi saat dia mengusap punggung dengan pelan.
"Jangan lupa, dicicil tiap bulan, ya, Kay," selorohnya yang membuatku terkekeh.
"Udah, stop pelukannya. Jagain dulu Oshi, mama mau ke rumah sebelah," sela Kak Jenny sembari melambaikan tangan.
"Ngapain ke sebelah?" tanya sang suami.
"Ngerumpi!"