Meredam Hasrat

998 Kata
Part 6 Pesta telah usai satu jam yang lalu. Di luar sepertinya sudah mulai sepi. Hanya ada suara beberapa orang yang terdengar masih mengobrol. Aku merebahkan diri di atas kasur yang empuk dan wangi. Menahan kantuk dengan bermain ponsel. Menunggu tuan putri Lista selesai mandi. Kamar ini merupakan kamar utama di rumah ini. Bunda sengaja meminjamkan kamar ini selama beberapa hari ke depan. Menurut beliau, kamar yang sudah dilengkapi dengan kamar mandi ini akan menjaga privasi kami sebagai pengantin baru. Letak kamar yang menghadap taman kecil di bagian kanan belakang, membuat tidak ada orang yang akan mengintip dari jendela kamar. Beliau sendiri mengungsikan diri ke kamar sang putri yang berada di lantai dua rumah. Gemericik air sudah berhenti. Tak lama kemudian Lista keluar dari kamar mandi. Perempuan muda berparas cantik itu mengenakan setelan bermotif tokoh karakter kartun berwarna biru muda, dan lilitan handuk kecil di atas kepala yang mengingatkanku pada rumah keong. Aroma sabun yang harum menguar dari tubuhnya saat melintas. Lista menarik bangku kecil dan duduk di depan meja rias. Melepaskan lilitan di kepala dan menggosok-gosok rambutnya dengan handuk. Sesaat aku berhenti bermain ponsel dan memandanginya dengan hati yang berdebar. Lista mengangkat alis saat pandangan kami saling bertemu. Mungkin bertanya melalui bahasa telepati. Aku menggeleng dan menggendikkan bahu. "Om nggak mandi?" tanyanya. "Mau," jawabku. "Buruan atuh!" "Mandiin!" Tiba-tiba saja wajahku sudah tertutup handuk yang basah. Aku menarik benda tebal berwarna putih itu, dan balas melemparkan ke wajahnya. Sejenak kami berdiam diri dengan tatapan yang saling menyorot tajam. Seolah ingin menilai kekuatan lawan. Lista memutus pandangan dengan membalikkan tubuh dan mengambil sisir, merapikan rambut panjangnya dan tidak menghiraukanku. Dasar bocah! Untung aku sayang. Eehh! Merasa bosan untuk saling mendiamkan, akhirnya aku bangkit dan beringsut ke pinggir kasur. Menyatukan telapak tangan dan mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi. Merenggangkan otot leher dan pundak yang sedikit kaku, kemudian berdiri dan jalan ke koperku yang ada di dekat lemari. Membuka benda berwarna biru tua dan mengambil setelan kebangsaan. Tak lupa menyisipkan pakaian dalam ke balik lipatan. Menarik perlengkapan mandi dari bagian samping koper dan menutup benda persegi panjang itu dengan pelan. Aku berdiri dan jalan ke kamar mandi sambil bersiul. Berhenti di depan pintu dan menoleh ke istriku yang masih pura-pura menyisir. "Lis," panggilku. Dia menoleh dengan alis terangkat. "Yakin nggak mau mandiin?" Kali ini sisir yang melayang. Aku menghindar dan masuk ke kamar mandi sambil tertawa. Puas sudah mengerjainya. Beberapa menit kemudian, aku terperangah saat menyadari telah lupa membawa handuk. Mata berputar mencari handuk yang mungkin tertinggal di sini, tapi tidak juga kutemukan. Dengan terpaksa aku mengelap tubuh dengan kaus lembap. Mengoleskan deodorant dan mengenakan pakaian ganti. Kemudian mengambil wudu. Jalan ke luar dan mencari sosok Lista, tapi ternyata dia sudah tidak ada. Gumpalan baju kotor kuletakkan di samping koper. Membuka benda itu kembali dan mengambil kain sarung. Mata berputar kembali mencari sajadah, tapi tidak kujumpai. Menggerutu dalam hati karena lupa membawa milikku sendiri. Dengan memberanikan diri akhirnya aku membuka pintu dan melongok ke luar. Mencari sosok gadis muda itu di antara beberapa perempuan yang balik memandangiku. "Lis?" panggilku dengan ragu. "Ya, Om?" jawab seseorang dari arah ruang makan. Tawa para perempuan itu pecah saat mendengar jawaban Lista. "Masa ke suami manggil Om sih, Lis?" tanya seseorang dari mereka yang kukenal sebagai sepupu Bunda Meli. "Loh, emang Om kan, Tan?" Lista balas bertanya sambil jalan mendekat. "Ganti atuh panggilannya," sahut sang tante. "Ganti apa?" Lista memandangi tantenya. "Sayang!" jawab sang tante yang disambut tawa yang lainnya. Tak peduli Lista mengerucutkan bibir. Sepertinya dia bertambah kesal karena aku juga ikut mentertawakannya. . *** Malam yang semakin larut membuatku mengantuk. Demikian pula dengan gadis itu. Sejak tadi dia sudah beberapa kali menguap. Kami seperti orang yang sedang musuhan. Aku menyandar di bantal yang ditumpuk di kasur, sedangkan Lista membetahkan diri di kursi tunggal di ujung kiri kamar. Nyaris tidak saling menyapa dan seolah tenggelam dalam ponsel di tangan masing-masing. Setelah merasa benar-benar mengantuk, akhirnya aku meletakkan ponsel ke meja samping kasur. Tak lupa untuk memasang pengisi daya. Kemudian berdiri untuk menyentuh sakelar. Ctrrraaak! "Arrgghh!" teriak Lista saat aku mematikan lampu. "Kenapa?" tanyaku sambil menoleh. "Lampunya jangan dimatiin, Om. Aku takut gelap," jawabnya. "Ini kan nggak gelap, remang-remang doang. Lampu sudut itu masih nyala," tunjukku pada lampu yang menempel di dekat meja rias. "Ihh, tetap gelap ini!" "Mas nggak bisa tidur kalau lampunya terang," jelasku sambil menabahkan diri. "Aku nggak bisa tidur kalau gelap!" serunya. "Nyalain aja senter di ponsel kamu. Taruh dekat mata biar terang." Hening kembali. Sepertinya Lista sedang berpikir. Aku merebahkan diri di tempat semula, yaitu bagian kanan kasur. Membalikkan tubuh menghadap lemari dan mulai berusaha untuk menenangkan perasaan. Lista melintas dan masuk ke kamar mandi. Tak lama kemudian dia ke luar dengan berjinjit. Derit kasur menandakan dia sudah berpindah ke sebelahku. Sentuhan benda padat di punggung, menandakan dia sedang membuat pembatas di antara kami. Hening yang tercipta membuatku gelisah. Bagaimanapun, aku ini pria normal. Merasa ada perempuan di belakang membuatku mulai berpikir nakal. Susah payah kutahan berbagai keinginan yang mulai bermain di dalam benak. Berusaha mengabaikan sosoknya yang sudah halal untukku. Bug! Kakinya menyentuh kakiku. Membuatku penasaran dan membalikkan tubuh. Gadis itu sudah tertidur dengan kaki yang mengangkang. Mulutnya sedikit terbuka dan mengeluarkan suara dengkuran halus. Aku memandangi wajahnya yang mungil dengan senyuman mengembang. Merasa kasihan karena sepertinya dia benar-benar kelelahan. Perlahan aku mengulurkan tangan dan menyentuh pipinya yang lembut. Sekuat tenaga menahan hasrat untuk mengecupnya. Tiba-tiba Lista berbalik ke arahku dan meletakkan tangan di atas lenganku. Tidak menyadari gerakan itu membuat gelenyar di dadaku semakin meningkat. Aku tidak berani untuk mengubah posisi, ngeri bila dia bangun dan akan berteriak lagi. Detik demi detik menunggu kantuk yang sempat hilang itu ternyata tidak juga membuahkan hasil. Yang terjadi justru sebaliknya. Mataku semakin sulit untuk dipejamkan. Ditambah lagi melihat bagian tengah tubuhnya yang menyembulkan dua bukit kembar yang elok. Setelah yakin tidak akan bisa tidur, akhirnya aku bangun dan bergegas masuk kamar mandi. Membiarkan air dari shower mengguyur tubuh. Berharap semoga cara ini bisa meredam hasratku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN