Part 4
Acara lamaran berlangsung dengan lancar. Keakraban yang sudah terjalin antara dua keluarga, menjadikan acara terasa seperti arisan dan ajang berkumpul.
Lista yang tampil berbeda dari biasanya, tampak sangat menawan dan memesona.
Mengenakan kebaya khas mojang parahyangan berwarna merah muda, dipadukan dengan rok kain bermotif batik, serta sepatu sewarna dengan kebaya.
Rambut panjangnya dibentuk sanggul kecil yang sekilas mirip rumah siput.
Riasan wajah yang tidak terlalu tebal, menjadikan penampilannya tampak lebih dewasa dan membuatku terpukau.
Akan tetapi, aku merasa sedikit tidak nyaman kala mengetahui bahwa Nalia adalah sang penata rias, yang sengaja disewa oleh bundanya Lista.
Kak Jenny dan Bang Fandi juga sepertinya merasakan hal yang sama denganku. Mereka seolah mengabaikan sosok Nalia yang beberapa kali melewati tempat duduk kami.
Aku yang masih menata hati, benar-benar tidak menyangka akan bertemu dengan perempuan yang pernah mengisi hatiku, dulu.
Hubungan kami yang sejak awal telah ditentang oleh ayahnya, disertai dengan penolakan saat lamaran dulu, membuatku benar-benar terpuruk.
Merasa gagal dan membuang masa mudaku selama dua tahun. Hubungan yang kuharap akan sampai ke pelaminan, harus berakhir dengan penghinaan.
Melihat keakraban antara Nalia dan Lista, membuatku merasa was-was. Takut Nalia akan menceritakan masa lalu kami.
Nalia memang nyaris tidak pernah berkunjung ke rumahku waktu kami masih pacaran dulu. Saat datang pun hanya sebentar, sehingga Lista tidak pernah bertemu dengannya. Demikian pula dengan kedua orang tuanya.
Aku dan Nalia lebih sering menghabiskan waktu di indekosnya, atau di tempat wisata.
Tentu saja tidak hanya berduaan, readers. Selalu ada temanku atau sahabatnya yang menemani kami.
Ironisnya, justru pendamping kamilah yang akhirnya menikah satu setengah tahun yang lalu. Itu merupakan saat terakhir aku bertemu dengan Nalia.
Setelahnya yang aku dengar bahwa Nalia sudah kembali tinggal di Bogor, kota kelahirannya.
"Om, sini!" panggil Lista yang sedang duduk di sofa ruang tengah.
Aku jalan mendekat dengan sedikit ragu-ragu. Terutama karena kedua perempuan itu masih duduk berdampingan dengan tangan yang saling mengait.
"Kenalin, ini Teh Nalia. Dia ini penata rias yang lagi naik delman ehh daun," ucap Lista dengan mata berbinar.
"Oh, iya. Mas udah kenal. Iya, kan, Na?" tanyaku yang membuat Nalia sedikit terkejut.
"Kenal di mana, Om? Kan Teh Nalia baru tinggal di sini tiga bulan. Bener kan, Teh?" Lista memandangi Nalia dengan dahi yang terlipat.
Sementara yang dipandangi langsung menunduk, mungkin bingung hendak menjawab apa.
"Kenal di acara nikahan teman Mas," jawabku yang membuat raut wajah Nalia menjadi tenang kembali.
Dari reaksinya yang seperti tadi, aku merasa yakin bahwa Nalia memang tidak menceritakan apa pun tentang kami pada Lista.
"Oh, gitu. Kaget aku, karena Om kan bukan cowok pemerhati acara pernikahan atau dunia perempuan," sela Lista sambil menggeleng ke kiri dan kanan dengan gaya centil.
Aku menunduk dan menghela napas dengan cepat. Berusaha menutupi tawa yang hendak keluar, saat melihat gaya Lista yang sangat menggemaskan tersebut.
Desir aneh itu kembali lagi, dengan kekuatan yang sedikit lebih besar dibanding sebelumnya. Tanpa disadari aku jadi tidak bisa berhenti untuk memandangi Lista. Gerak-geriknya yang sangat ceria itu bukanlah sandiwara.
Susah payah aku mengalihkan pandangan, tapi tetap saja kembali ke arahnya. Sampai kembali duduk di tempat asal, perhatianku masih tertuju padanya.
"Hmmm, dari tadi dipandangi terus. Takut digaet orang, ya?" seloroh Bang Fandi.
Aku tersenyum malu dan mengusap rambut untuk menghilangkan rasa grogi.
"Udah, buruan nikahnya, gak usah nunggu dua bulan lagi," sambungnya sembari menumpangkan lengan kiri di pundakku.
"Gimana mau cepat-cepat nikah, Bang. Panggilan aja belum berubah, masih tetap om," sahutku yang membuatnya tertawa.
"Padahal, aku sudah membahasakan diri dengan panggilan mas, tetap aja dia manggil om," sambungku.
Bang Fandi semakin tergelak hingga dipelototi istrinya.
***
Hari Senin yang sangat sibuk. Sejak pagi acara di kantor hanya diisi dengan rapat dan rapat.
Aku sangat bahagia setelah sampai di rumah dan bisa beristirahat dengan tenang.
Berbaring di sofa ruang tengah. Menonton televisi sambil menikmati makan malam yang kesorean.
Suara langkah kaki yang bergerak mendekat, diiringi dengan siulan khas membuatku sontak menoleh.
Tak lama kemudian wajah gadis itu sudah menempel di jendela. Mengintip ke dalam dan melambaikan tangan saat pandangan kami bertemu.
"Masuk aja!" teriakku. Enggan untuk beranjak dari sofa.
Bunyi pintu terbuka, disusul dengan dirinya yang kali ini datang dengan menguncir rambut di bagian kanan dan kiri.
"Lagi makan, ya?" tanyanya basa basi.
"Nggak, lagi main kartu," jawabku asal.
Lista mengerucutkan bibir yang membuatnya semakin menggemaskan.
"Ada perlu apa? Jangan bilang minta pasangin gas atau lampu," selorohku.
"Enggak, Om. Aku ke sini itu mau nyampein pesan bunda. Om diminta bikin daftar undangan," sahutnya sembari duduk di ujung sofa.
Terlalu ke pinggir, bila didorong sedikit dia pasti jatuh.
"Ehm, nanti kalau sempat mas bikin. Sekarang lagi banyak kerjaan."
Lista manggut-manggut dan membuat kunciran rambutnya bergoyang. Lucu, dan membuatku lupa untuk menahan tangan yang telanjur terulur.
Gadis itu seketika terdiam saat sentuhanku sampai di kuncirannya. Tubuhnya sedikit kaku dengan tatapan lurus ke arah Sumedang.
"Sorry, kaget, ya? Habisnya lucu, goyang-goyang kayak antena tertiup angin," ucapku seraya menghadiahkan seulas senyuman.
Lista mendelik dan menggerutu dalam bahasa Sunda yang sangat cepat.
"Eits, jangan ngomel. Pamali!" protesku.
"Omnya ganjen!"
"Ganteng!"
"Celamitan!"
"Cakep!"
"Kata siapa?"
"Kata ibuku."
"Hoax!"
"Mau bukti?"
"Mana?"
Lista membeliakkan mata saat aku merangkum wajah mungilnya dengan tangan. Menatap manik mata beriris hitam itu dengan lekat.
Perlahan aku memajukan wajah dan berhenti dengan jarak satu jengkal di depan wajahnya yang memerah.
"Lihat baik-baik, Lista. Jarak segini masih nggak mengakui kalau mas beneran tampan?" tanyaku pelan.
Gadis di hadapanku ini mengerjapkan mata beberapa kali. Tangannya bergerak menarik tanganku dari wajahnya. Memundurkan tubuh sedikit menjauh dengan semburat merah yang menghiasi pipi.
Sejenak hening. Kami berdiam diri dengan pikiran penuh.
Lista mungkin berusaha menenangkan hatinya. Sementara aku, berusaha untuk menenangkan diri yang tadi sempat berpikiran untuk mendaratkan kecupan di dahinya.
Sabar, Kay. Akan tiba waktunya untuk bisa membuatnya tergila-gila, hingga sulit untuk berpaling dari diriku yang menawan.