Ciuman Hukuman

1011 Kata
Part 7 Air. Tiba-tiba terasa ada air di wajah. Apakah ini karena atap yang bocor? Ehh, kenapa sekarang ada guncangan di lengan? Apakah sekarang sedang gempa? "Om! Bangun!" teriak seseorang dari arah depan. Aku memicingkan mata dan langsung gelagapan saat percikan air kembali terasa. "Om! Ya ampun, tidur atau pingsan sih? Susah banget banguninnya!" keluh perempuan yang sedang menunduk ke arahku. Aku membuka mata lebih lebar dan mengusap wajah dengan gerakan memutar. Otakku seketika menjadi segar saat melihat pemandangan di hadapan. Lista berdiri sambil bertolak pinggang. Matanya membeliak sehingga mirip pemeran antagonis di sinetron. Sama sekali tidak menyadari, pakaiannya yang terbuka itu bisa memanjakan mata laki-laki. "Iya, ini udah bangun," sahutku sambil tetap memandangi bagian bawah lehernya yang jenjang. "Ya udah, Om buruan mandi terus salat Duha," ucapnya sembari menurunkan tangan dan membalikkan tubuh. Duha? "Eh, Lis, sekarang jam berapa?" tanyaku. "Jam delapan." Aih, kesiangan. Aku bangkit dengan bertumpu pada kedua lengan. Duduk dengan punggung sedikit melengkung dan memperhatikannya yang sedang berdandan. "Kamu mau ke mana?" "Olahraga." "Pakai baju begitu?" "Iya, ini kan setelan buat yoga." "Ganti." Lista berbalik sambil mengerutkan dahi. "Kenapa harus ganti?" "Terlalu ketat dan terbuka." Perempuan muda itu menaikkan alis secara dramatis. Tak peduli gerakan itu membuatku kesal. "Ganti!" tegasku. Lista menggeleng. "Kalau begitu nggak boleh ke luar!" Aku beranjak berdiri dan bergegas mengunci pintu. Menarik anak kunci dan membawanya masuk kamar mandi. "Om! Kok aku dikurung di kamar sih?!" teriaknya dari depan pintu yang berlanjut dengan gedoran yang nyaris tanpa henti. Aku meneruskan acara mandi tanpa memedulikan gedoran dan teriakannya. Membuka keran secara penuh dan bernyanyi untuk meredam suara dari depan pintu. Setelah selesai mandi, aku ke luar dengan hanya berlilitkan handuk di pinggang. Bergerak cepat menangkap tangannya yang terkepal dan memegangnya dengan sedikit kencang. "Pakaian seperti ini hanya boleh diperlihatkan pada orang rumah. Jangan dipertontonkan ke orang lain," ujarku dengan suara yang kuharap cukup tegas. Lista memandangiku dengan lekat. "Jangan coba-coba untuk mengatur apa yang harus kukenakan!" balasnya dengan suara ketus. "Mas sudah punya hak untuk mengaturmu sekarang. Ingat? Kita sudah menikah!" Lista menyipitkan mata, seakan geram dengan jawabanku. "Apa susahnya menurut untuk hal yang satu ini? Tinggal ganti baju doang. Setelah itu kamu boleh pergi," lanjutku dengan suara yang dilembutkan. "Atau kamu mau, kalau mas yang gantiin baju?" selorohku yang langsung membuat wajahnya berubah menjadi pias. Sepersekian detik kami berdiam diri dengan posisi yang sama. Setelahnya, aku memajukan tubuh sedikit. Lista bergerak mundur hingga menabrak lemari berlaci banyak. Aku tersenyum saat melihat wajahnya semakin memucat. Sedikit demi sedikit aku memajukan tubuh hingga menempel dan tidak berjarak. Menurunkan tangannya tapi tetap dicekal dengan erat. Menatapnya dengan sorot mata lapar. Napas Lista semakin tidak beraturan. Dia mengalihkan pandangan saat aku menunduk dan mendaratkan kecupan di puncak kepalanya. "Ini hukuman karena bikin mas nggak bisa tidur tadi malam," bisikku. Aku menggeser bibir hingga menyentuh bagian dahinya. Berdiam di situ sedikit lebih lama. "Ini hukuman karena tadi membangunkan mas dengan cipratan air," lirihku. Aku menggeser bibir semakin ke bawah dan mengecup kedua mata indah itu dengan penuh perasaan. "Ini hukuman karena nggak mau ganti baju. Hukuman ini akan terus berlanjut ke bawah bila kamu nggak menurut," ucapku sembari melepaskan cekalan dan menjauhkan diri. Lista mengerjapkan mata beberapa kali. Pipi halusnya diwarnai semburat merah muda yang membuatnya bertambah menggemaskan. Gadis itu menggeser tubuhnya ke kanan, kemudian jalan dan membuka pintu lemari. Mengacak-acak isinya dan membuatku yakin bahwa dia sedang salah tingkah. Aku menunduk dan membuka koper, mengambil setelan terakhir yang tertinggal di sana, dan kembali masuk ke kamar mandi. Beberapa saat kemudian aku ke luar dan menemukan Lista sedang duduk di pinggir kasur. Ternyata dia sudah mengganti pakaian dengan setelan berwarna biru dan putih yang lebih tertutup. "Gitu dong, baju yang ini lebih sopan," pujiku sambil mengacungkan jempol. Lista membalasnya dengan seulas senyuman yang sepertinya sangat dipaksakan. "Ayo, kita keluar. Mas lapar," ajakku sembari memasukkan anak kunci dan memutarnya. Trrraaakkk. Aku seketika terdiam saat menyadari anak kunci patah di bagian dalam. Menoleh ke Lista yang memutar bola mata, mungkin kesal padaku. "Ehm, kita kekunci nih. Gimana, ya?" tanyaku sambil meringis. "Makanya jangan sok-sokan ngunci. Ngerepotin pisan!" omelnya. *** "Ini, buburnya," ujar Akhtar, adik bungsunya Lista dari balik teralis jendela yang terbuka. Lista mengambil dua gabus sintetis yang diulurkan sang adik. Memberikan satu padaku dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian menjauh dan duduk di atas bangku kecil di depan meja rias. "Ehh, mau ke mana, Dek?" tanya Lista saat pria kecil Itu membalikkan tubuh. "Mau ke depan," jawab Akhtar. "Tunggu dulu, temenin kakak," pinta gadis berambut panjang tersebut. Namun, sang adik sudah telanjur menjauh, tak memedulikan sang kakak yang mendengkus kesal. "Temenin?" tanyaku sambil mengaduk-ngaduk bubur hingga tercampur rata. Lista tidak menjawab, dia pura-pura sibuk mengunyah. "Kamu takut cuma berduaan sama mas?" Lista mendelik. "Jangan gitu, tambah gemas lihatnya." "Stop ngerayunya, Om. Aku nggak tertarik!" tegasnya. "Siapa yang merayu? Ge er!" balasku. "Itu tadi bilang gemas!" "Iya, gemas pengen jitak!" Dug! Dug! Dug! Suara palu dari pintu menghentikan perdebatan kami. Dibarengi obrolan beberapa orang yang menyarankan agar pintu didobrak saja. Suara palu akhirnya menghilang dan berganti dengan bunyi benda lain. "Lista, Kay, kalian minggir dari pintu, ya. Mau didobrak nih!" teriak suara yang sangat kami kenal. Brrraaakkk! Brrruuukkk! Brrruuukkk! Pintu terbuka paksa dan diiringi dengan dua tubuh pria yang jatuh bertindihan di lantai. "Aih, orang pada khawatir, tapi mereka malah lagi asyik makan bubur," celetuk seorang perempuan yang kukenal sebagai saudara sepupu Lista. "Atuh da laper, Teh. Nelepon ke Bunda nggak diangkat. Afgan juga sama. Cuma Akhtar yang mau bantu beliin bubur," sahut Lista sembari terus menyantap bubur. Kedua pria tadi bangkit dan bergegas ke luar. Bunda dan kedua tantenya Lista masuk sembari celingukan. "Kay, baju kotornya cuma segini?" tanya Bunda sambil memunguti pakaian di lantai. "Iya. Biarin aja di situ, Bun. Nanti mas yang nyuci," sahutku. "Nggak usah sungkan, kan ada Lista yang nanti bakal nyuciin pakaianmu," imbuh sang Bunda yang dibalas pelototan putrinya. "Ehm, spreinya kok bersih dan rapi, ya?" sela Tante Helni, adiknya Bunda. Aku memandangi Lista yang balik memandangiku dengan sorot mata bingung. Hadeuh, harus jawab apa nih, readers?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN