Zulfa kali ini membuatkan teh untuk Zul dengan campuran garam, bukan gula. Karena keinginannya yang sangat besar, bisa melihat dan mendengar Zul marah.
Diketuknya pintu kamar Zul.
"Pak, tehnya!" panggilnya dengan suara cemprengnya. Daun pintu terbuka, Zul muncul di ambang pintu, diambilnya cangkir berisi teh dari atas nampan ditangan Zulfa.
"Terimakasih."
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?"
"Tidak, terimakasih."
"Permisi, Pak."
"Ya."
Zulfa menyingkir dari depan pintu, Zul menutup pintu kamarnya. Zulfa menunggu reaksi Zul dengan duduk di ruang tengah. Tapi pintu kamar Zul tetap tertutup rapat, tidak ada terdengar suara apapun dari dalam kamar. Cukup lama Zulfa menunggu, tapi semua masih sama saja, ia masih setia menunggu, sampai akhirnya tertidur di sofa.
Sedang Zul sendiri, setelah meminum sedikit tehnya, dan merasa asin bukannya manis, ia memutuskan untuk membuang teh itu di wastafel kamar mandinya.
'Anak itu, benar-benar ingin kawin sepertinya. Mungkin aku harus bertanya lebih mendetail lagi. Kalau dia memang ingin cepat kawin, kenapa tidak segera kawin saja.'
***
Zul baru selesai sholat subuh, biasanya Zulfa sudah mengetuk pintu kamarnya disaat begini, tapi tidak juga terdengar ketukan di pintu kamarnya. Akhirnya Zul memutuskan untuk ke luar dari kamar. Ia tertegun, melihat Zulfa yang tertidur di atas sofa ruang tengah, televisi masih menyala.
"Fa," Zul menggoyangkan lengan Zulfa lembut.
"Fa," sekali lagi Zul berusaha membangunkan Zulfa. Zulfa menggeliatkan tubuhnya, perlahan ia membuka mata. Wajah Zul yang pertama kali dilihat, dan itu membuatnya melompat bangun dari berbaringnya.
"Maaf, Pak" Zulfa menyeka kedua sudut bibir, lalu mengusap kedua mata. Zul tersenyum melihatnya.
"Masih sempat untuk sholat subuh" ujar Zul lembut. Zulfa mendongakan wajah, Zul terasa begitu tinggi menjulang baginya. Matanya begitu lekat menatap wajah Zul yang masih memakai pakaian untuk sholat.
"Ani, dan Een benar, Bapak ganteng," gumamnya tanpa disadari.
"Kamu bilang apa, Fa?" Zul menatap Zulfa dengan kening berkerut dalam.
"Enghh, saya sedang tidak sholat, Pak. Itu, anu, lagi kedatangan tamu" jawab Zulfa tergeragap. Ia segera bangkit dari duduknya.
"Ooh"
"Saya ke dapur dulu Pak," ucap Zulfa dengan wajah merah.
"Iya" Zul menganggukan kepalanya, lalu ia beranjak menuju pintu depan, untuk mengambil koran paginya.
***
Zulfa menghempaskan pantatnya di kursi pantry.
"Pagi Fa, wajahmu kok begitu amat, lagi dapet ya, Fa?" Tanya Ani sambil menepuk bahu Zulfa. Ani dan Zulfa memang berbeda rute jemputan mereka.
"Hehmm" Zulfa menganggukan kepala.
"Een mana?" Zulfa mencari sahabatnya yang lain, karena Ani dan Een memakai jemputan yang sama.
"Masih di depan, jangan cemberut begitu dong Fa, tidak enak dilihat, tahu!" Ani mencubit pipi Zulfa. Hobinya yang satu itu memang sulit dihilangkan, pipi Zulfa persis bakpao katanya.
"Pagi!" Seru Een di ambang pintu pantry. Een datang bersama beberapa office boy, dan office girl lainnya.
"Pagi" sahut Ani, dan Zulfa.
"Kok cemberut Fa?" Tanya Een.
"Lagi dapet dia" Ani yang menjawab.
"Bukan cuma karena itu" sahut Zulfa tiba-tiba.
"Terus karena apa?" Ani saling tatap dengan Een.
"Aku sudah coba saran kalian, sengaja membuat kesalahan, makanan dan minuman beliau aku kasih banyak garam, biar bisa melihat kemarahan boss tua itu. Eeh, beliau tidak marah, tetap tanpa ekspresi, bikin sebelkan?"
Ani dan Een tertawa terbahak-bahak, mereka tidak menyangka kalau Zulfa akan berbuat senekat itu, hanya demi untuk melihat ekspresi berbeda dari Pak Zul.
"Hati-hati Fa, sepertinya kamu mulai ada perhatian sama Pak Zul, nanti bisa jatuh cinta" ujar Ani.
"Amit-amit jabang bayi, jangan sampai deh" Zulfa mengetuk meja dengan buku jarinya.
"Ani, Zulfa, Een, kerja, kerja, kerja. Jangan ngegosip saja!" Seru Bu Tinuk boss para OG dan OB.
"Siap, Bu!" sahut ketiganya dengan berdiri pada posisi siap.
"Cepat laksanakan!"
"Siap, Bu!"
Ketiga sahabat itupun langsung bergerak untuk mengambil peralatan kerja mereka masing-masing.
***
Beberapa hari kemudian.
Rasa penasaran Zulfa belum berakhir juga, ia tetap penasaran dengan ekspresi marah Zul. Sambil mencuci perabot bekas sarapan, ia memikirkan cara bagaimana lagi untuk memancing agar Zul memperlihatkan rasa marahnya. Karena melamun, satu gelas terjatuh ke lantai, dan pecah dengan menimbulkan suara nyaring.
"Ada apa, Fa?" Zul berdiri di ambang pintu dapur.
"Gelas Bapak, hadiah dari Mbak Devira pecah Pak, maaf... awwww!" Zulfa menarik tangan dari pecahan gelas yang ingin dipungutnya. Zul memegang tangan Zulfa, dibawanya Zulfa berdiri, dibersihkan luka dijari Zulfa dengan air, lalu dikeringkan. Setelah itu, Zul mengambil plester luka di dalam laci meja dapur, ia pasangkan di luka Zulfa. Zulfa terdiam, tidak mampu berkata sepatahpun juga. Matanya menatap ke tangannya yang dipegang Zul, lalu berpindah menatap wajah Zul. Ia bisa merasakan kelembutan seorang ayah dari sikap Zul. Tiba-tiba saja mata Zulfa terasa perih, ia ingin menangis mengingat ayahnya yang sudah tiada.
"Hari ini kamu istirahat saja, lukamu tidak boleh kena air dulu, ini biar saya yang bereskan" Zul berjongkok untuk memunguti pecahan kaca. Cepat Zulfa bergerak mengambil sapu dan serok sampah.
"Biar saya saja, Pak. Ehmmm, sekali lagi saya minta maaf, Pak. Padahal ini gelas pemberian mbak Devira."
"Tidak apa, gelas bisa dibeli lagi, Fa. Ingat ya, tanganmu tidak boleh kena air dulu."
"Tapi saya harus masak, harus mencuci pakaian, Pak"
"Pakaiannya nanti bisa di laundry, untuk makan bisa dipesan dari luar. Lukamu harus kering dulu, baru boleh kena air, paham Fa?"
"Paham, Pak" Zulfa menganggukan kepala, rasa bersalah tengah memenuhi dadanya.
Meski kesalahannya kali ini tidak ia sengaja, tapi ia merasa benar-benar merasa bersalah. Sedikitpun bossnya tidak memperlihatkan rasa kesal atau marah. Zul justru ingin meringankan pekerjaannya, bukan menghukumnya karena sudah memecahkan gelas hadiah putrinya.
Zulfa selesai membereskan dapur, ia segera ke kamar belakang untuk menyetrika pakaian yang sudah ia cuci kemarin. Hari libur begini ia memang masih bekerja, karena untuk pulang ke rumahnya itu sangat jauh jaraknya. Meski Zul tidak melarangnya pergi ke luar rumah saat libur, tapi Zulfa tengah malas untuk jalan-jalan, tamu yang datang tiap bulan, membuat moodnya jadi buruk karenanya.
BERSAMBUNG