PART. 4 INGIN KAWIN

911 Kata
Zulfa menyetrika pakaian di kamar belakang, sedang Zul duduk di sofa di ruang tengah sambil menonton televisi. Ingatan akan ayahnya kembali mengganggu pikiran Zulfa. Ayahnya yang sudah meninggal sejak usianya empat belas tahun. Ibunya harus bekerja untuk menafkahi ia, dan adiknya. Akhirnya ia memilih untuk tidak melanjutkan sekolah ke SMA, dan memutuskan untuk membantu ibunya bekerja, demi sekolah adik-adiknya. Satu tahun ia menjadi ART salah satu orang kaya di kampungnya, sampai akhirnya, Mahran, yang merupakan adik almarhum ayahnya pulang, dan membawanya untuk bekerja di Jakarta. Zulfa terpaksa memalsukan usianya, dari enam belas tahun, menjadi delapan belas tahun, agar ia bisa diterima bekerja di kantor tempat pamannya menjadi security. Kantor di mana ia bekerja sampai saat ini. Jadi usianya yang benar saat ini baru delapan belas tahun. "Fa, bau gosong, apa yang ...." Zulfa menatap kemeja Zul yang ia setrika, kemeja itu sudah bolong selebar seterikaannya. Cepat Zulfa meletakan setrikaan, lalu mengangkat kemeja yang bolong. Matanya melotot, menatap bolongan hasil dari pekerjaannya yang sambil melamun. "Maafkan saya, Pak. Maafkan saya, saya ...." "Tidak apa-apa, tapi sepertinya kita harus bicara. Tinggalkan saja itu, cabut kontak setrikanya, saya tunggu di ruang tengah." Zul melangkah meninggalkan Zulfa yang terlongo mulutnya. Tiba-tiba saja ada rasa takut, dan cemas, kalau bossnya akan memecatnya. 'Ya Tuhan, aku memang salah karena sengaja memberi garam terlalu banyak pada sayur lodeh kemarin. Aku juga bersalah, karena sengaja memasukan garam, dan bukan gula pada teh Pak Zul. Tapi sungguh, kejadian hari ini tidak ada yang aku sengaja. Sepertinya, aku benar-benar kualat sama beliau. Semoga saja Pak Zul tidak memecatku, aamiin.' Dengan hati berdebar, Zulfa menemui Zul di ruang tengah. "Duduklah" Zul menunjuk sofa kecil di dekatnya, sedang ia sendiri duduk di sofa panjang. "Zulfa, beberapa hari ini, saya rasa kamu tidak fokus dalam bekerja. Sayur yang terlalu asin, teh memakai garam, dan juga dua kejadian hari ini" "Maafkan saya, Pak. Saya ...." "Sudah saya maafkan, Fa. Tapi kalau memang ada yang kamu pikirkan, kamu bisa cerita sama saya, mungkin saya bisa membantu," ucap Zul dengan tatapan lembut ke wajah Zulfa. Kepala Zulfa menunduk dalam. "Tidak ada apa-apa, Pak." "Benar?" "Iya." "Mungkin saja kamu benar-benar ingin kawin." "Haah, ooh tidak Pak." Zulfa mengangkat wajah, tatapannya bertemu dengan tatapan Zul. Zulfa kembali menundukan kepala. Kelembutan sikap dan tatapan Zul membuat rasa bersalahnya semakin besar saja. "Kamu sudah bekerja di sini tiga bulan tanpa ada kesalahan, Fa. Kenapa tiba-tiba beberapa hari ini kamu selalu membuat kesalahan. Tidak mungkin tidak ada alasannya, kalau menurut pemikiran saya. Jujur saja Fa, ada apa. Kalau kamu ingin kawin, dan ada kendala, katakan saja, mungkin saya bisa bantu," ucap Zul lagi. Zulfa kembali mengangkat wajah, ia menatap Zul dengan intens, tebersit dipikirannya untuk mencoba mengerjai Zul lagi, agar ia bisa melihat ekspresi berbeda dari wajah dan sikap Zul yang terlalu datar. "Iya, Pak" "Iya apa?" "Saya ingin kawin" "Lalu masalahnya apa, calon suamimu tidak setuju kamu bekerja?" "Bukan itu, Pak" "Lalu apa?" "Calon suaminya belum ada, Pak" jawab Zulfa dengan mata lekat menatap wajah bossnya, menunggu reaksi apa yang akan diperlihatkan sang boss tua mendengar ucapannya. Keterkejutan tampak jelas di wajah bossnya, kening Zul berkerut dalam, Zulfa senang bisa melihat ekspresi terkejut Zul. "Jadi?" "Jadi, saya ingin kawin, tapi mau kawin sama siapa, belum ada calonnya, Pak" "Kalau belum ada calonnya, bagaimana bisa kawin, Fa. Kenapa ingin cepat kawin?" "Jadi jomblo itu tidak enak, Pak" "Haah, lalu?" "Kalau Bapak mau bantu saya, bisa tolong carikan saya suami, Pak. Enghh, atau Bapak saja yang kawinin saya?" Bukan hanya Zul yang terkejut mendengar kalimat terakhir Zulfa, tapi Zulfa sendiripun kaget juga dengan apa yang ke luar dari mulutnya. Mata Zul membesar mendengar pertanyaan Zulfa, ia terpana sesaat, tapi sesaat kemudian terlihat senyum di bibirnya, Zul menggeleng-gelengkan kepala. Hal itu yang kali ini membuat mata Zulfa membola, dan terpana melihat senyum, dan ekspresi Zul. "Zulfa, jangan bercanda seperti ini, ucapan itu adalah doa, bagaimana kalau kamu benar-benar ditakdirkan jadi istri saya, kamu mau, tidakkan? Usia kamu saja masih lebih muda dari usia putri-putri saya, iyakan?" Wajah Zulfa memerah jadinya, ingin membuat Zul salah tingkah dengan pertanyaan konyolnya tadi, tapi justru ia sekarang yang jadi tersipu malu. "Maaf, Pak. Saya hanya bercanda, saya juga tidak ingin kawin dengan pria yang lebih tua dari ibu saya. Uppsss, maaf Pak, bukan bermaksud ...." Ucapan Zulfa terhenti, karena Zul mengangkat telapak tangannya. "Hhhh Zulfa, sekarang katakan dengan jujur, apa yang sebenarnya membuat kamu tidak fokus bekerja? Kamu rindu keluargamu?" "Iya" Zulfa memilih mengiyakan saja, dari pada panjang pembahasan sola kawin. "Kamu bisa ijin beberapa hari untuk pulang" tawar Zul. "Tidak usah, Pak. Nanti saja kalau lebaran, baru saya pulang" sahut Zulfa, ia tidak ingin membuang biaya untuk perjalanan pulang kampungnya, lebih baik uangnya ia kirimkan untuk keperluan keluarganya di kampung. "Terserah kamu, tapi tolong lebih fokus lagi kalau bekerja, jangan sampai membahayakan orang lain ataupun dirimu sendiri." "Sekali lagi saya mohon maaf atas keteledoran saya, Pak. Saya berjanji untuk lebih berhati-hati lagi" "Kalau ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, kamu bisa ceritakan saja ke saya" "Terimakasih, Pak. Saya permisi ke belakang" Zulfa bangkit dari duduknya, ia menganggukan kepalanya pada Zul. "iya, hati-hati ya, jangan bekerja sambil melamun, jangan sampai kamu terluka atau celaka" "Iya, Pak, permisi" Zulfa melangkah dengan senyum di bibirnya, ini obrolan terpanjang mereka selama ia kenal dengan Zul. Langkah Zulfa terhenti, ia menepuk kedua pipinya. "Kenapa aku senyum-senyum sendiri, kamu sehatkan, Fa?" Zulfa bergumam pada dirinya sendiri, lalu meletakan punggung tangan di atas keningnya. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN