Hari menjelang siang, saat Zulfa diminta membawakan minumam ke ruangan Zul.
Zulfa berdiri di ambang pintu yang terbuka.
"Permisi, Pak. Minumannya," ucapnya.
"Masuk" sahut Zul sambil menatap Zulfa. Zulfa tersenyum dan menganggukan kepalanya pada Maura, yang ia ketahui sebagai orang yang sering mengunjungi Zul di kantornya.
"Silahkan Bu, maaf ada yang bisa saya bantu lagi?" Tanya Zulfa sopan.
"Tidak terimakasih, kamu bisa pergi" sahut Zul.
"Baik, permisi Pak" Zulfa meninggalkan ruangan Zul.
Zulfa kembali ke pantry.
"Pasti Bu Maura, iyakan?" Tanya Ani.
"Hmmm"
"Bawa makanan apa hari ini untuk Pak Zul?"
"Tidak sempat melihat" jawab Zulfa.
"Sering juga tidak Bu Maura datang ke rumah Pak Zul?"
"Selama aku bekerja di sana, belum pernah"
"Meruntuhkan hati Pak Zul pasti sulit ya" gumam Een, office girl yang lain.
"Memangnya bangunan, pakai harus diruntuhkan segala!" sahut Zulfa sembari tertawa.
"Bangunan hati, Fa" timpal Ani.
"Mungkin bangunan hati Pak Zul terbuat dari beton" ujar Een tertawa.
"Hissst, jangan menggosip orang tua, kualat nanti" Zulfa melotot ke arah kedua temannya.
"Biar tua masih ganteng loh, Fa. Aku ya, kalau Pak Zul tiba-tiba melamarku, aku siap jadi istrinya. Kamu bagaimana, Fa?" Tanya Ani.
"Amit-amit jabang bayi, usia boss tua itu empat puluh tujuh tahun. Selisih dua puluh sembilan tahun dengan aku. Bahkan beliau lebih tua dari orang tuaku." Zulfa mengetuk meja dengan buku jarinya.
"Tidak kelihatan tuh usianyanya empat puluh tujuh tahun. Wajah Pak Zul itu awet muda. Adem kalau lihat wajahnya, apa lagi kalau melihat senyumnya, nyess begitu, langsung sampai ke hati rasanya," tutur Een.
"Orang sholeh memang begitukan wajahnya, adem dilihat, bersinar meski tanpa cahaya, karena selalu bersih oleh air wudhunya, aku ikhlas kalau jadi makmun sholatnya, jadi teman tidurnya," sahut Ani.
"Ani benar, aku juga mau jadi istri Pak Zul." Een mendukung ucapan Ani.
"Sudah ah, jangan bahas boss tua lagi. Punya suami pendiam begitu apa enaknya. Tidak ada selera humornya sama sekali, pasti tidak romantis juga," gerutu Zulfa pada kedua sahabatnya. Ani dan Een tertawa.
"Hati-hati bicara, Fa. Sekarang berkata begitu, eeh besok kamu jatuh cinta sama Pak Zul!" Ani mencubit pipi Zulfa, diantara mereka Zulfa memang paling muda.
"Itu hal yang tidak mungkin, Ani" sahut Zulfa sambil menirukan nada dan intonasi sebuah film jaman dulu, yang pemerannya adalah idola ibunya.
"Ya kita lihat saja nanti, ingat ya, pepatah Jawa, witing tresno, jalaran suko kulino. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa," Een mengingatkan Zulfa.
"Nehi, imposibel, tidak mungkin, buktinya aku sudah dua tahun di sini, dan tiga bulan kerja di rumah Pak Zul, biasa saja, tidak ada apa-apa. Aku masih waras ya, masih doyan yang seumuran," cerocos Zulfa sambil menggoyangkan jari telunjuknya.
"Biar waktu yang akan menjawabnya, Zulfa." Ani kembali mencubit pipi sahabatnya itu.
"Aduuuh, kenapa masih membicarakan boss tua sih. Nanti beliau tersedak saat makan, karena kita bicarakan, sudah aah, kita makan siang juga, apa bekal kalian hari ini?"
Masing-masing membuka tas untuk mengambil bekal makan siang mereka. Dan hal yang wajib dilakukan di antara mereka bertiga adalah, bertukar lauk bekal antara satu dengan yang lainnya.
***
Zulfa tengah memasak makan malam, Zul belum ke luar kamar sejak pulang dari kantor. Tiba-tiba, Zulfa teringat akan pembicaraannya dengan Ani tadi pagi. Tentang makanan yang banyak diberi garam. Rasa penasaran akan reaksi Zul membuat Zulfa melakukan saran itu.
Lodeh terong dan tempe yang sudah ia masukan ke dalam mangkok, ia bubuhi garam lagi, lalu ia aduk dan ia cicipi. Zulfa bergidik karena rasa asin, ia jadi membayangkan bagaimana reaksi bossnya nanti.
'Aaa, tidak bisa dibayangkan. Boss tua terlalu lempeng wajahnya, jadi penasaran, bagaimana ya nanti ekspresinya, harus aku rekam nih. Ehmmm, aku bakal kena marah tidak ya. Tidak apa kena marah, asalkan bisa melihat ekspresi yang berbeda dari biasanya'
Makan malam sudah dihidangkan Zulfa. Sayur lodeh, nasi putih, air putih, dan ayam goreng. Ia mengamati Zul dari persembunyiannya, di dekat pintu dapur. Zulfa menunggu saat-saat Zul memakan sayur lodeh super asinnya.
Terlihat, Zul mengaduk sayur lodeh yang ada di mangkok. Lalu menyendok dan memakannya. Tapi hal yang paling ditunggu Zulfa tidak terjadi. Setelah mencicipi kuah sayur lodeh, Zul hanya meminum air putihnya, lalu mencicipi ayam gorengnya. Ayam gorengnya memang tidak dibuat asin. Dengan ayam goreng itulah akhirnya Zul makan, tanpa sayur lodeh yang keasinan.
Zulfa menghempaskan napas kecewa, ekspresi kemarahan Zul yang ditunggunya ternyata hanya sia-sia. Zulfa termangu di kursi dapur, ia semakin penasaran dengan Zul. Seumur hidupnya belum pernah bertemu orang sependiam itu.
"Fa" suara lembut dari belakangnya membuat Zulfa terjengkit berdiri.
"Ya, Pak."
"Maaf, sayurnya tidak aku makan. Mungkin kamu dua kali memberi garam," Zul meletakan mangkok berisi sayur di atas meja dapur.
"Asin ya Pak?"
"Lebih asin dari biasanya."
"Kata orang kalau masak keasinan, berarti saya ingin kawin Pak," sahut Zulfa tanpa disadarinya, ucapan itu terlontar begitu saja.
"Kamu ingin kawin?" Zul menatap Zulfa dengan tatapan lembut, seakan Zulfa adalah putrinya.
"Siapa yang tidak ingin kawin, Pak. Menjadi jomblo itu berat, mending kawin kalau ada yang melamar Pak," cerocos Zulfa. Zul kembali tersenyum, ia teringat Devira yang selalu bicara mencerocos seperti Zulfa.
"Kalau kamu ingin kawin, jangan beritahu mendadak, biar saya bisa cari ART baru dulu. Saya kembali ke kamar ya, terimakasih."
Zul berlalu dari hadapan Zulfa, Zulfa menatap punggung kokoh Zul. Ini interaksi terlama mereka sepanjang Zulfa kenal dengan Zul.
'Apa aku harus buat kesalahan dulu, biar si boss tua bisa diajak ngobrol seperti tadi. Haduuuh, boss, boss, kok ada orang sependiam itu. Saat berkumpul dengan anak menantu dan cucunya saja kadang tidak kedengaran suaranya, apa lagi dengan yang baru kenal'
BERSAMBUNG