Rezvan sudah tiba di lantai yang paling tinggi di fakultasnya, yakni lantai enam. Di lantai enam ini hanya ada ruangan dekan dan wakil rektor III, yang mana artinya itu hanya ada ruangan Bu Fatma dan Pak Taufan di sini. Rezvan mencari ruangan Bu Fatma, tempat di mana Ellen berada berdasarkan informasi yang didapatkan dari Bu Rani.
Ini pun baru pertama kalinya Rezvan menginjakan kaki di lantai enam, dengan suasana yang lebih sepi daripada lantai-lantai di bawahnya. Bahkan, toilet yang biasanya berada di pojok-pojok ruangan, kini tertutup rapat oleh kardus-kardus bekas instrumen. Bisa dikatakan, walaupun lantai enam adalah tempat ruangan dekan dan wakil rektor yang punya peran penting di kampus ini, nyatanya kondisi lantainya tidak sebegitu mewah dan bersih.
“Kenapa Bu Fatma dan Pak Taufan betah kerja di lantai ini, ya?” ujar Rezvan ketika melirik kardus-kardus yang menutupi pintu kamar mandi.
“Jadi kamu paham kan apa mau kami!” terdengar suara gertakan dari seorang perempuan paruh baya yang suaranya melekat di telinga Rezvan.
Rezvan segera mencari asal suara itu, di mana lagi kalau bukan di ruangan Bu Fatma.
“Tapi Bu, saya harus mendapatkan hak saya sebagai korban, Bu …” rengek suara perempuan yang begitu dikenal ole Rezvan. Perempuan itu tampak terisak dan napasnya terputus-putus.
“Ellen?! Iya, itu mirip suara Ellen!” Rezvan melirik ke dalam ruangan Bu Fatma.
Terlihat Ellen sedang duduk di kursi dan di depannya ada Bu Fatma yang berdiri sambil mengacak pinggangnya. Bu Fatma mencondongkan badannya ke Ellen, dan mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke wajah Ellen yang sudah penuh air mata. “Sekali lagi kalau kamu menolak, saya akan—“ tangan kanan Bu Fatma pun siap-siap mendarat sempurna di pipi kiri Ellen.
“CUKUP!” tukas Rezvan yang membuka pintu ruangan Bu Fatma dan membuat Bu Fatma terdiam.
“Re … Rez … Rezvan?!” ujar Ellen tak percaya ketika Rezvan sudah ada di hadapannya.
“Bu, apa maksud Ibu melakukan hal seperti itu kepada Ellen?!” gertak Rezvan yang berusaha mengatur napas yang sesak dadanya.
Bu Fatma segera membalikan badannya, ia menghampiri Rezvan yang berdiri di depan pintu ruangannya. “Berani beraninya kamu masuk ke ruangan saya tanpa permisi …” ujar Bu Fatma seraya kedua matanya yang memicik.
“Maafkan saya harus masuk, karena saya tidak ingin Bu Fatma melakukan kekerasan ke Ellen,” timpal Rezvan.
“Kamu jangan sok tahu, siapa yang melakukan kekerasan ke Ellen? Saya hanya memberi pilihan kepada dia agar bisa melanjutkan kuliah di kampus ini,” Bu Fatma mengelak.
Ellen yang berada di belakang Bu Fatma, terus menggelengkan kepalanya berharap Rezvan mengerti maksudnya. “Gak usah bohong, Bu. Semua akan terlihat jelas di CCTV ruangan Ibu,” kata Rezvan dengan yakinnya. “Saya pun tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga dan waktu untuk membuktika hal itu.”
“HAHAHAHAHA, dasar ketua BEM kampus yang begitu dangkal otaknya … terserahlah kamu mau ngomong apa tentang saya, tidak ada juga yang percaya sama kamu,” ungkap Bu Fatma.
Rezvan mulai kesal, baru kali ini ia melihat dekan yang kelakuannya seperti dakjal. Padahal, hubungan Rezvan dengan dekan di fakultas lainnya pun baik, tapi kenapa dengan Bu Fatma jadi naik pitam gini, ya. “Gak sepantasnya seorang pendidik yang bergelar Doktor sekaligus menjabat sebagai dekan itu berlaku kasar. Apalagi sampai hendak melakukan kekerasan fisik. Itu sangat diharamkan!” pekik Rezvan yang ingin sekali menceramahi Bu Fatma namun kayaknya butuh waktu yang banyak karena Bu Fatma pasti akan terus membantah.
“Gak usah sok menggurui saya,” Bu Fatma mengarahkan telunjuknya kini ke Rezvan.
Ellen yang enggan berlama-lama duduk di kursi panas itu, langsung beranjak berdiri dan bersembunyi di belakang bahu Rezvan. “Tolongin aku, Rez. Tolong! Dia orang jahat …” bisik Ellen dengan wajah yang berkeringatan dan penuh ketakutan.
“Tenang, Len. Aku akan bantu kamu sebisaku,” balas Rezvan sambil berbisik juga.
“Heh, Ellen! Ngapain kamu pakai acara bersembunyi di balik anak laki-laki ingusan ini? Kamu gak usah kabur deh, kamu yang membuat masalah di kampus ini memuncak, malah kamu yang menghindar. Jangan lempar batu sembunyi tangan, dong!” cerca Bu Fatma.
“Sekarang saya bertanya ke Bu Fatma, apa yang ingin Ibu harapkan? jangan pakai kekerasan, Bu!” tanya Rezvan.
“Sudah saya bilang kamu tidak perlu ikut campur. Kamu tidak bisa menjadi orang yang saya harapkan. Dan kamu Ellen, kemarilah,” jawab Bu Fatma.
Kedua mata Bu Fatma semakin melebar. Kedua tangannya merentang lebar-lebar untuk menyambut Ellen agar masuk ke dalam pelukannya. Langkah kaki Bu Fatma pun mengarah lebih dekat ke tempat di mana Rezvan dan Ellen berdiri. Dengan artian, gelagat Bu Fatma ini seperti hantu The Conjuring.
Karena pintu ruangan Bu Fatma masih terbuka lebar, Rezvan dan Ellen langsung membuat ancang-ancang bagaimana cara agar dirinya kabur tanpa tertangkap. Setelah Bu Fatma makin dekat berjalan mengarah ke mereka, mereka berdua lalu berlari kabur. Rezvan dan Ellen segera masuk ke lift yang syukurnya sudah terbuka. Cepat-cepat Rezvan menekan tombol pintu lift agar tertutup rapat, hingga akhirnya Rezvan dan Ellen sampai juga ke lantai satu.
“Ayo, kita langsung ke ruang pers mahasiswa kampus, Len!” cakap Rezvan yang menarik tangan Ellen.
Ellen tidak menyahut, namun tetap mengikuti langkah kaki Rezvan pergi. Ia sudah tidak bisa berpikir lagi, ia masih terngiang-ngiang kejadian mengerikan di lantai enam, ketika dirinya berada di ruangan Bu Fatma. “Asli deh, kayak nightmare dua minggu berturut-turut, seremnya bikin gak bisa tidur!” batin Ellen dengan rasa di kepalanya yang melayang-layang.
***
BRAK! Tubuh Ellen terkulai lemas ketika tiba di depan pintu ruang organisasi pers mahasiswa kampus. Rezvan yang terkejut, langsung mengangkat tubuh pacarnya itu. “Tolongin dong tolongin!” tangan Rezvan yang berada di punggung Ellen itu ikut bergetar karena khawatir dengan kondisi Ellen.
Ellen direbahkan di kasur kecil yang satu-satunya ada di ruangan tersebut. “Ini, kasih minyak kayu putih dulu di tengkuk dan hidungnya, Rez …” ujar Bu Rere yang memberikan sebotol kecil minyak kayu putih yang berwarna hijau muda itu.
Dengan bergasnya Rezvan membubuhi minyak kayu putih ke leher dan hidung Ellen. “Len … bangun Len …” Rezvan pun tampak cemas.
Tisya, Andin, dan Prabu yang turut menyaksikan pingsannya Ellen, ikut mengerubungi Ellen yang berbaring lemas tidak berdaya di atas kasur. “Kasihan banget Ellen, emangnya ada apa sih Rez?” tanya Andin dengan raut wajahnya yang begitu panik.
“Tisya, Prabu, dan Andin, tolong menghindar dari sini sedikit ya. Biar Ellen mendapatkan sirkulasi udara yang baik dan sejuk, sehingga gak sumpek,” Bu Rere meminta ketiga anggota yang lainnya itu untuk mundur perlahan.
Bu Rere memandangi Ellen, Bu Rere melepas kancing baju Ellen yang paling atas, menggulung lengan baju Ellen sampai ke siku. Tak lupa pula Bu Rere melepas jam tangan dan bando merah yang dikenakan oleh Ellen. “Semoga ini bisa sedikit melegakan tubuhnya Ellen,” ujar Bu Rere.
Sekitar sepuluh menit kemudian, Ellen belum juga sadar. Rezvan mulai panik dan berkata, “Bu Rere, apa kita panggilkan ambulan saja, ya? Saya khawatir dengan keadaan Ellen yang nantinya akan memburuk.”
“Tunggu dulu, Rez. Kamu yang tenang ya, jangan panik. Pasti Ellen akan baik-baik aja kok,” Bu Rere memberi sebuah penenangan diri untuk Rezvan.
“Mau tenang gimana, Bu? Dari tadi gak ada respon, sudah dikasih minyak kayu putih beberapa kali. Fix banget ini harus panggil ambulan,” Rezvan mulai mengeluarkan ponselnya dan mencari di internet nomor ambulan terdekat agar bisa didatangkan.
Bu Rere melengos. Bu Rere pelan-pelan membangunkan Ellen dengan berbisik di telinga Ellen. “Ellen cantik perempuan hebat, bangun, Nak …” Bu Rere menggoyangkan tubuh Ellen, dan berkali-kali meniupkan napasnya ke dalam telinga Ellen. Bu Rere pun memberikan rangsanga nyeri dengan mencubit leher Ellen dan meletakan es batu di wajah Ellen.
“HUAAAAA AMPUNNNNN BU!” seketika saja Ellen terbangun sembari berteriak kencang. Hal itu membuat seluruh orang yang ada di ruangan tersebut terkejut dan kembali mengerumuni Ellen.
“Len … Len … are you okay?” tanya Bu Rere pelan dan mengelus rambut hitam Ellen.
“Sayang … yang tenang ya Sayang …” timpal Rezvan yang kedua matanya masih nanar.
Ellen pun tidak menjawab pertanyaan dari kedua sahutan yang mengarah padanya. Ellen mengatur napasnya yang terengah-engah itu, dan memandang ke sekelilingnya. “Aku sudah gak di ruangan Bu Fatma, kan?” tanya Ellen ditengah-tengah kesunyian.
Semuanya saling pandang karena bingung. “Kamu ada di ruangan pers mahasiswa kampus kok, Len. Tempat di mana untuk berlindung dan mengasihi diri,” sahut Tisya dengan wajahnya yang ceria, guna mengirimkan sinyal kebahagiaan pada Ellen pula.
Bu Rere dan Andin saling memandang satu sama lain, mereka juga mengernyitkan dahinya. “Din, kamu ngerti apa yang ada di pikiran Ibu, kan?” tanya Bu Rere pada Andin yang di kedua bola matanya itu timbul tanda tanya.
Andin mengangguk pelan dan memepetkan tubuhnya ke Bu Rere. “Ada apa dengan Bu Fatma ya, Bu? Kok sadar-sadar si Ellen langsung ngomong soal Bu Fatma, ya?”
Bu Rere pun mengangkat kedua bahunya tak paham. “Kita bicarakan di luar saja nanti, tunggu semua masalah ini aman dan keadaan Ellen membaik.”
“Iya, Sayang … kamu sudah gak di ruangan Bu Fatma, kok. Semuanya sudah aman dan kamu bisa tenang sekarang. Di tempat ini, kamu bisa merasakan kehangatan,” ujar Rezvan sambil mengelus punggung tangan Ellen.
Ellen menarik napasnya lega. “Syukurlah kalau begitu. Terus … kalian semua kenapa pada kerumuni aku?” Ellen ikut bingung ketika banyak orang-orang yang berdiri di hadapannya dan memasang raut wajah bingung.
“Mereka kebetulan lagi ada di ruangan pers mahasiswa kampus ketika kita ke sini,” jawab Rezvan biar cepat.
“Oh gitu … maaf ya, Bu Rere, Andin, Tisya, dan …” ucapan Ellen berhenti di Prabu yang tidak mengenal namanya.
“Prabu Raja Kusuma Wahyu,” tukas Prabu sambil tersenyum.
“Dan Prabu … aku merasa hilang kendali ketika sampai di depan pintu pers. Jadi, aku tidak tahu kejadian setelahnya karena memang aku sedang drop dan pingsan,” jelas Ellen.
“Iya, gak apa-apa kok, yang penting sekarang keadaan kamu sudah membaik, Len,” balas Bu Rere yang melengkungkan senyumnya.
“Iya, Len. Gimana, sudah baik kan keadaanmu?” timpal Andin.
Ellen mengangguk dan tersenyum. “Syukurnya sudah membaik, kok. Terima kasih atas bantuannya hehe.”
“Iya, sama-sama. Ya udah kamu masih mau istirahat di sini atau diantarkan pulang?” tanya Bu Rere.
“Antar pulang aja ya, Sayang. Biar kamu bisa istirahat di rumah,” sahut Rezvan.
“Tapi setelah ini aku ada jam kelas lagi, Rez. Dua puluh tiga menit lagi di mulai,” cakap Ellen yang sempat melihat jam dinding di ruangan itu.
“Udah, gak apa-apa. Izin sekali itu dimaklumi kok, yang penting jangan sampai izin tiga kali aja,” tukas Rezvan.
Ellen menimbang saran dari Rezvan dan Bu Rere untuk mengantarkan dan mengistirahatkan Ellen di rumahnya. Ellen pun memegangi tengkuknya yang masih pegal dan berkata, “Ya udah deh, aku pulang ke rumah saja. Kayaknya leher belakangku masih nyeri,” Ellen mengusapnya pelan dengan satu tangannya.
“Oke deh, ayok segera, Sayang,” Rezvan bangkit dari duduknya dan menjulurkan tangan ke Ellen.
“Hati-hati ya, Rez!” pesan Bu Rere.
“Hati-hati jangan dibawa jalan kemana-mana, ke rumahnya Ellen loh ya!” pesan Andin.
“Iya, kalau sampai Ellen gak sampai ke rumah, urusannya sama aku nih!” giliran Tisya yang memberi pesan.
Ellen dan Rezvan ikut tersenyum geli mendengar pesan berantai dari Bu Rere, Tisya dan Andin itu. “Prabu, kamu gak titip pesan juga?” seru Ellen yang melihat hanya Prabu yang diam.
“Pesanku adalah jaga kesehatan saja dan kalau ada rasa sakit sedikit di badan, harus dilawan!” pesan Prabu yang berbeda dari tiga orang sebelumnya.
Rezvan pun merangkul pundak Ellen sambil keluar lewat pintu ruangan. Ya iyalah lewat pintu, emangnya mau lewat ke mana lagi? ke jendela? lemari? atau kolong tempat tidur? Serem amat kali. Lalu, Ellen melambaikan tangannya ke arah Bu Rere, Tisya, dan Prabu yang masih berada di dalam ruangan.
"Jangan lupa pakai sepatunya, Sayang. Di luar sangat panas, nanti kaki cantik kamu bisa terkelupas," ujar Rezvan yang sempat-sempatnya merayu Ellen.
"Sempat amat ngerayu hehe," tukas Ellen.
"Iya, habisnya udah jarang ngerayu nih, jadi gatel mulut aku hehe," celetuk Rezvan yang membuat Ellen senyum salah tingkah.