Keraguan

2045 Kata
“Senang bertemu dengan kamu, Prabu Raja Kusuma Wahyu. Dan selamat datang di pers mahasiswa kampus,” Bu Rere menyambut jemari tangan Prabu yang menjulur ke arahnya. “Bu … Bu Rere! Ibu yakin menerima Prabu menjadi anggota kita? Bu, kerjaan kita ini sulit dan membutuhkan orang yang benar-benar niat gak angin-anginan,” rupanya Andin masih sangsi dengan langkah Prabu itu. “Din, jadi kamu meragukan orang yang ingin berbuat baik?” Bu Rere tanya balik ke Andin. Andin menggeleng. “Nah ya sudah, kamu gak boleh meragukan orang yang belum kamu kenal dekat,” Bu Rere memberi nasihat. Andin menghembuskan napasnya dan berjalan mundur. “Kali ini aku berusaha positif thinking sama kamu, Prab. Awas aja kamu macam-macam di sini dan gak serius!” tukas Andin yang memberi peringatan di awal. “Tenang, Din. Kamu percaya saja sama aku, aku bisa ikut kontribusi atas kasus yang terjadi di kampus ini kok,” ujar Prabu agar membuat Andin yakin dengan pilihannya. “Ya kita lihat saja, aku tidak suka dengan orang yang penuh dengan omong kosong—“ “Din! Cukup. Sudahi rasa ragumu pada Prabu. Kita akan bekerja sama dengan dia, tolong tumbuhkan rasa percaya itu,” mohon Bu Rere. Andin pun tak dapat berkata lagi ketika Bu Rere sudah yakin dengan sikap Prabu itu. Andin pun menganggukan kepalanya namun masih tersimpan rasa berat di hatinya karena menerima Prabu di organisasi ini. “Kalau boleh tahu, apakah Ibu benar Bu Rere yang menjadi pembimbing di pers mahasiswa kampus ini?” tanya Prabu seraya tangannya terlepas dari tangan Bu Rere. Bu Rere menganggukan kepalanya, “Ya, benar! Bagaimana kamu bisa tahu?” jawab Bu Rere. “Padahal sebelumnya kita belum pernah bertemu, apalagi memperkenalkan saya sebagai pembimbing pers mahasiswa kampus.” “Halah, namanya Prabu itu suka nebak-nebak berhadiah, Bu …” timpal Tisya yang tidak sepenuhnya Prabu serius. “Gimana, Prab? Dari mana kamu tahu kalau saya adalah pembimbing di pers mahasiswa ini?” Bu Rere masih menunggu jawaban dari Prabu. “Saya lihat nama Ibu ada di depan pintu ini, hehehe,” jawab Prabu yang bikin semuanya menepok jidatnya. “Oh iya saya baru sadar ternyata nama pembimbing tiap organisasi ada di tiap pintu ruangan,” Bu Rere terkekeh. “Kamu bisa segitu detailnya ya, Prab!” Bu Rere menepuk pundak Prabu. “Hehehe, gak usah diambil serius banget, Bu. Saya di sini hanya mahasiswa biasa yang tidak memiliki jiwa detektif kuat kayak Conan, hehe,” timpal Prabu. “Tuh kan … pokoknya yang keluar dari mulut Prabu itu lelucon saja,” kata Tisya. Andin melengos dan menggelengkan kepalanya. “Oh ya, saya pun mau mengabari kepada kalian semua kalau kasus ini sudah terdengar ke telinga Reno dan Inka,” ujar Prabu memberikan kesaksian. “Bentar, bentar, Reno Chandra Putra mahasiswa semester akhir di jurusan kita bukan?” tanya Andin. “Iya, terus Inka Permata Indah yang juga kakak tingkat akhir kita, kan?” balas Tisya. “Dan … mereka berdua adalah aktivis perempuan eksternal kampus? Mereka berdua terkenal kritis dan sudah banyak membantu korban-korban pelecehan seksual,” tambah Bu Rere lagi. Mendengar jawaban yang bergantian dari Andin, Tisya, dan Bu Rere, membuat Prabu menganggukan kepalanya. “Iya, kalian semua benar. Inka dan Reno adalah kakak tingkat semester akhir yang aktif dalam kegiatan sosial ekstra kampus. Beruntungnya, mereka mau membantu banyak untuk menyelesaikan kasus ini,” terang Prabu. “Wah, ini seperti mendapatkan pertolongan dari Tuhan!!!” tukas Bu Rere kesenangan. “Iya, disaat banyaknya anggota kita yang dibungkam, justru aktivis eksternal ikut andil dalam pemecahan kasus ini,” ungkap Andin lagi. Bu Rere, Tisya, dan Andin langsung berpelukan kesenangan. “Semangat! Tenaga kita seperti diisi lagi!” bisik Tisya kemudian. “Hmm, saya gak diajak nih?” celetuk Prabu. “KAGAK!!!” balas Tisya, Andin, dan Bu Rere bersamaan. Prabu pun menggaruk-garukan rambutnya. “Nasib anak baru, begini kali ya ospek jurusan,” ungkap Prabu. *** Rezvan mempercepat langkahnya untuk menemui Ellen di kantin fakultas. Ellen sudah menelponnya berkali-kali, namun karena Rezvan sedang ada di kelas jadi tidak bisa mengangkat. Dalam hati Rezvan timbul rasa gelisah. “Semoga tidak terjadi apa-apa sama Ellen. Hati aku gak tenang banget!” batin Rezvan dengan dadanya yang berdetak keras. Ketika tiba di kantin fakultas, Rezvan sudah melihat Ellen yang duduk sendirian membelakanginya. “Oh itu ada Ellen di sana,” tukas Rezvan seraya memfokuskan padangannya pada perempuan berambut sebahu itu. “Sayang … nunggunya sudah lama, ya?” sapa Rezvan yang langsung mengacak-acak rambut indah perempuan itu. “HEH! KURANG AJAR KAMU YA!!!” perempuan itu marah dan membalikan wajahnya ke Rezvan. Rezvan pun auto loncat karena yang dilihatnya adalah dosen muda yang baru saja dimutasi dari kampus lain. “Bu … maaf ya Bu, saya gak sengaja. Saya kira pacar sa—“ “Halah! Kamu itu ya. Gak punya sopan santun sama dosennya, siapa nama kamu? Jurusan dan angkatan berapa kamu? Biar saya catat dan tandai!” dosen muda yang mempunyai name tag atas nama Rani itu semakin memuncakkan emosinya. “Eng … enggg … enggak, Bu. Saya gak bermaksud tidak sopan sama Ibu. Saya ke sini janjian sama pacar saya, dan dari belakang itu postur Ibu mirip dengan pacar saya. Bu saya mohon maaf banget, ya …” Rezvan sampai-sampai berlutut dan merapatkan kedua tangannya di depan Bu Rani. “Makanya lain kali itu dipastikan dulu apakah sudah benar ciri-cirinya atau bukan. Kalau kayak gini kan saya risih dipegang-pegang sama kamu!” ketus Bu Rani lagi sembari mengelap rambutnya dengan tisu. “Kamu gak bawa kuman mematikan kan?” Rezvan menggeleng, “Gak kok Bu. Sebelum ke sini pun saya sudah semprot pakai antiseptik. Jadi jangan khawatir Ibu kena penyakit macam-macam,” Rezvan pun meyakinkan Bu Rani yang menyemprotkan rambutnya dengan antiseptik cair. “Oh ya, ngomong-ngomong apakah nama pacar kamu itu Ellen?” tanya Bu Rani yang tiba-tiba suaranya melemah. Rezvan menengadahan kepalanya. “Iya, benar. Ibu kenal? Atau, Ibu lihat tadi pacar saya ada di sini?” Bu Rani mengangguk pelan. Ia menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan sesuatu sudah aman. “Sini saya bisikin, mana telinga kamu.” Rezvan pun memiringkan badannya dan menyondongkan kepalanya ke bibir Bu Rani. Bu Rani pun mulai membicarakan sebuah kalimat. “Tadi saya lihat pacar kamu itu duduk di meja sebelah saya. Dia tampak gusar dan berkali-kali seperti menelpon seseorang. Dan tidak lama kemudian, pacar kamu itu terkejut ketika melihat dekan fakultas, Bu Fatma datang. Pacar kamu berusaha menyembunyikan wajahnya dari Bu Fatma dengan cara menutupi wajahnya dengan tas. Namun, Bu Fatma tetap melihat dan menghampiri pacar kamu itu,” Rezvan mendengarkan baik-baik kata demi kata yang diinformasikan oleh Bu Rani. “Lalu, apa yang terjadi kemudian setelah Bu Fatma menghampiri pacar saya, Bu?” tanya Rezvan. “Yang pasti saya dengar adalah ….” “Kamu yang namanya Ellen, ya?!” ujar Bu Fatma dengan nada tinggi seraya mengacak pinggangnya. Bu Rani yang lagi santai di meja sebelahnya, auto menengok. “I … I … iya, Bu. Nama saya benar Ellen …” jawab Ellen dengan nada lirih dan bibirnya yang bergetar. “Ayo sekarang ikut ke ruangan saya!” pinta Bu Fatma. “Eng… eng … saya nunggu Rezvan dulu gimana ya, Bu?” ucap Ellen. “Tidak boleh!” Bu Fatma menggoyangkan telunjuknya ke kiri dan ke kanan. “Saya gak ada urusannya sama Rezvan. Saya hanya berurusan dengan kamu! Dan gak ada penting-pentingnya kamu menunggu Rezvan!” pekik Bu Fatma yang bola matanya kian membesar. “Ta … ta … tapi, Bu—“ Ellen mulai menjauhi kursinya dari Bu Fatma. “Gak ada tapi tapian! Cepat ikut saya sekarang, kalau tidak kamu akan saya drop out!” Bu Fatma langsung mengancam Ellen dengan kerasnya. Bu Fatma menarik tangan Ellen dengan paksa, seraya Ellen terus meraung tidak mau. “Jangan Bu! Saya gak mau sendirian, saya tunggu Rezvan dulu!” ujar Ellen memohon. “Jangan banyak omong! Ayo ikuti saya!” Bu Fatma makin menarik tangan Ellen dengan keras hingga cengkraman Bu Fatma yang ada di tangan Ellen itu memerah. Dengan adanya kejadian antara Ellen dan Bu Fatma itu, semua pengunjung di kantin ini tertuju pada hal tersebut. “Begitu, ceritanya …” kabar dari Bu Rani memberi informasi baru bagi Rezvan. “Berarti sekarang Ellen ada di ruangan Bu Fatma ya, Bu?” Rezvan memastikan kembali. “Iya, mungkin saja masih di sana. Kejadiannya masih dua belas menit yang lalu kok, belum lama,” jawab Bu Rani. “Terima kasih banyak ya, Bu atas informasinya itu sangat membantu saya banget!” Rezvan segera mencium punggung tangan Bu Rani. “Oh ya … kamu berarti yang namanya Rezvan, ya? Kan kamu pacarnya Ellen,” tanya Bu Rani. “Iya, betul sekali, Bu. Saya Rezvan pacarnya Ellen, kenapa Bu? Tolong jangan catat nama saya untuk ditandai ya Bu,” mohon Rezvan yang terlanjur overthinking. “Ah tidak jadi kok, sepertinya Ellen membutuhkan bantuanmu secepatnya, buktinya tadi dia terus-terusan menelpon dan menyebut namamu, kan?” kata Bu Rani. Rezvan menganggukan kepalanya, “Iya, dan salah saya tidak mengangkat telepon dari Ellen, saya lagi di kelas Bu, ada pelajaran.” “Ya sudah, sekarang kamu cepat ke ruangan Bu Rani, bantu Ellen di sana. Good luck ya!” ujar Bu Rani yang sudah jinak tidak seperti yang awal. “Baik, Bu, terima kasih ya Bu atas bantuan dan informasinya juga,” Rezvan tak henti-hentinya terima kasih. “Sama-sama, oh ya saya juga minta maaf karena tidak bisa menolong Ellen tadi, karena saya gak ngerti masalahnya dan gak mau ikut campur. Maaf ya, Rez!” giliran Bu Rani yang meminta maaf. “Tidak masalah Bu, sekarang saya mau ke ruangan Bu Fatma untuk menemui Ellen sebelum terlambat!” ungkap Rezvan. “Siap! Bye!” Bu Rani melambaikan tangannya ke arah Rezvan yang berlari menuju ruangan Bu Rani yang ada di lantai paling atas. “Tenang, Ellen Sayang! Aku datang untuk melindungimu!” batin Rezvan kian meronta seraya langkah kakinya terus dipercepat. Satu dua dan tiga lift yang ada di lantai bagian bawah itu masih sangat ramai. Rezvan harus mengantre panjang agar bisa menggunakan lift tersebut, untuk sampai lebih cepat. Namun, jam yang ada di tangan Rezvan itu makin lama makin berjalan. Rezvan khawatir kalau dirinya telat menghampiri Ellen. "Aduh, semoga masih sempat deh," gelisah Rezvan yang menghitung banyak antrean, masih ada sepuluhan orang lagi. Rezvan yang tidak kehilangan akal untuk sampai lebih cepat, ia berusaha mencari tangga darurat yang ada di pojokan fakultas. Rezvan melihat ke tangga darurat itu, ternyata aman. Akhirnya Rezvan menaiki tangga untuk sampai ke lantai paling atas, yakni lantai delapan. Rezvan menaiki anak tangga dengan tenaga kerasnya, namun ketika sampai di tangga lantai empat, banyak sekali tumpukan kardus yang menghalangi jalan. "Kayak gini gimana caranya lewat, ya?!" Rezvan berusaha berpikir dengan menggaruk kepalanya. Rezvan mencoba mengangkat kardus yang menghalangi jalannya, "HUAAAAA BERAT BANGET KAYAKNYA INI ISINYA BARBEL LIMA PULUH KILO DEH!!!!" Rezvan melepaskan kardus tersebut dan memijit-mijit tangannya yang pegal. "Ya udahlah balik lagi ke lantai bawah," Rezvan segera bertindak cepat untuk mengejar waktu. Rezvan bisa sedikit lega karena antrean sisa delapan anak lagi, Rezvan pun mengambil posisi antrean paling belakang dan berdoa. "Semoga masih sempat, ya Tuhan. Selamatkan Ellen, selamatkan Ellen, aku mohon, Tuhan," ucap Rezvan dalam hatinya yang begitu khawatir dengan keadaan Ellen saat ini. CLING! Pintu lift terbuka, untungnya ketiga pintu lift itu yang terbuka. Rezvan bergegas memasuki ruang lift tersebut dan menekan tombol lantai enam. Orang-orang yang berada di dalam lift tersebut memandang Rezvan heran. "Ngapain ke lantai enam, Mas? kan di sana gak ada kelas, cuma ada ruang dekan fakultas," tanya laki-laki berbadan gempal berambut keriting yang berdiri di samping Rezvan. "Iya, saya memang mau ke ruangan Bu Fatma," jawab Rezvan. "Wah, Masnya lagi ada kasus ya sampai-sampai dipanggil ke ruangan dekan? ih amit-amit deh, aku mah mau jadi mahasiswa baik dan teladan aja biar gak kasus kayak masnya. Lagipula cita-citaku kan mengharumkan kampus ini," tukas laki-laki itu yang semakin banyak membunyikan kata-kata. "Yakin mau mengharumkan kampus ini? kamu gak nyesal sudah berkata seperti itu?" balas Rezvan dengan tatapan sinis. "Yakin lah! Seratus persen yakin!" kata laki-laki tegas. CLING! Pintu lift terbuka di lantai lima, laki-laki berbadan gempal yang berdiri di samping Rezvan itu beranjak keluar lift. "HATI-HATI MENYESAL YA, MAS!" seru Rezvan sembari melambaikan tangannya dan pintu lift kembali tertutup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN