Dugaan Pertama

1200 Kata
Di atas motor yang tidak terlalu baru dan tidak terlalu butut itu, kedua tangan Ellen melingkar di pinggang Rezvan. Menyusuri suasana siangnya terik matahari itu, membuat keringan Ellen dan Rezvan turun dari masing-masing pelipisnya. Akan tetapi, panasnya sinar matahari yang memancar itu menambah rasa keharmonisan antar Rezvan dan Ellen. Emang deh ya, kalau sudah sama-sama bucin, mau dalam keadaan apapun tetap diasikin aja, he he he. “Gimana kondisi badan kamu, sudah enakan, Sayang?” tanya Rezvan. “Lumayan …” balas Ellen. “Mau mampir makan siang dulu gak?” tawar Rezvan yang menunjukan sisi perhatiannya. “Hmm, aku bingung mau makan di mana,” kata Ellen seraya merebahkan kepalanya di tengkuk Rezvan. “Aku ada tempat makan bakmi yang baru, enak, dan pastinya murah meriah cocok di kantong mahasiswa pas-pasan kayak kita!” Rezvan mengemukakan sebuah ide. “Makan mi ya? Aduh, aku kemarin baru makan mi. Hari ini jangan mi lagi deh, bahaya …” terang Ellen. Rezvan yang setiap hari kebiasaan makan mi, mengernyitkan keningnya. “Emangnya kenapa, Len? Aku pernah tiap hari makan mi dengan rasa yang berbeda-beda. Abisnya itu rasanya enak banget sih, apalagi kuahnya sluurrrrp,” jelas Rezvan yang menerangkan kenikmatan dari mi yang biasa dikunyahnya. “Jangan kayak gitu, Sayang. Makan mi itu harus jarang-jarang, karena kalau kebanyakan itu gak baik buat tubuh. Kalau dalam ilmu kedokteran nih ya, pantasnya makan mi hanya 1 – 2 kali dalam seminggu, atau malah maksimal dua kali dalam sebulan,” tutur Ellen memberi pemahaman untuk kekasihnya itu. Rezvan yang merasa tiap hari makan mi, jadi mangut-mangut mendengar ungkapan tersebut. “Lah, itu kan makanan ditanggal tua, lagian kalau makan yang bergizi gitu mahal di sini,” tepis Rezvan membela diri. “Beli di belakang kampus sama di deretan gang kost kamu, Sayang. Aku sering lihat bude-bude jualan nasi campur lengkap dengan empat sehat lima sempurna. Kamu harus jaga kesehatanmu mulai dari sekarang. Jangan pakai ditunda-tunda,” balas Ellen. “Hmmm, bukannya aku gak mau jaga kesehatan atau gak sayang sama diri sendiri, akan tetapi—“ “Udah, gak usah disangkal lagi ya, Sayang. Kamu yang keseringan makan mi itu pokoknya sangat sangat tidak dianjurkan. Tau gak sih, kalau kamu makan kebanyakan mi itu bisa meningkat resiko kanker, dan penyakit jantung. Mau kamunya?” kata Ellen. “Ya gak mau sih, tapi aku makan mi-nya pakai sayur kok. Biasanya juga aku tambahin kol, bayam, sawi, gitu. Jadi gak plek mi dan bumbu kuah doang,” terang Rezvan. “Pokoknya mulai minggu depan, dikurangi ya, Sayang. Soalnya itu jumlah gizi jumlah gizi sehat yang terdapat pada makanan mi tersebut terbilang sangat minim. Bahkan nih ya bisa meningkatkan risiko dari beberapa penyakit,” tambah Ellen lagi. “Kamu berniat menakuti-nakuti aku, ya, Sayang?” Rezvan memanyunkan bibirnya karena makanan kesukaannya dibilang minim gizi. “Bukan nakut-nakutin, tapi aku berusaha memberi kamu pemahaman biar gak kebanyakan makan mie terus, begitu Sayang …” Ellen mengklarifikasi. “Oh gitu …” Rezvan hanya mangut-mangut. “Jadi, kita mau makan di mana nih? Omongan kita sudah sampai kota sebelah, tapi memutuskan makan di mana saja belum tahu, hehe,” tanya Rezvan ketika pembahasan soal mie berakhir. “Kita coba makan nasi goreng Aceh, gimana Sayang?” jawab Ellen sekaligus memberikan penawaran. “Di mana itu? Aku gak tahu di mana jual nasi goreng Aceh,” seru Rezvan. “Tuh!” Ellen menunjukan jari ke arah seberang jalan, di mana tempat mereka saat ini menunggu lampu merah menjadi hijau. “Oh di situ, enak gak?” tanya Rezvan lagi. “Gak tahu sih, aku belum nyoba makan nasi goreng Aceh di situ. Tapi waktu dua tahun lalu aku idul fitri di keluarga Aceh, mereka kan masak nasi goreng kebanggaannya tuh, dan menurutku enak banget. Rempah-rempahnya kerasa sampai ke kerongkongan. Uhhh …” ungkap Ellen seraya memegangi kerongkongannya yang mengering dan lapar. Rezvan pun ikut hanyut dalam ucapan Ellen. Dan kebetulan perutnya sudah keroncongan terus, Rezvan akhirnya menyetujui. “Kayaknya enak sih kalau dari ceritamu, Sayang. Cuss lah kita coba.” Tak lama kemudian lampu lalu lintas berubah menjadi warna hijau. Rezvan menaikan gas motornya dan berjalan mencari tempat pemutaran arah. Untung saja sekitar lima ratus meter saja, sudah ada belokan. “Emang kalau lagi lapar banget, pasti ada aja jalan tercepat, hehe,” kekeh Rezvan. Ellen pun memeluk erat lagi pinggang Rezvan yang melajukan motornya menuju warung nasi goreng Aceh. Eh, by the way orang jualan nasi goreng kok bisa siang-siang, ya? Biasanya malam sih, hehehe. *** “Andin, Prabu, Tisya, tolong duduk melingkar di sini, Ibu mau ngomong sesuatu sama kalian,” tukas Bu Rere dengan wajahnya yang lirih. Tanpa bertanya apapun, ketiga nama yang disebutkan Bu Rere itu langsung duduk di depan Bu Rere. Mereka bertiga saling pandang dan sama-sama menanyakan apa yang terjadi pada Bu Rere. “Ada apa ya, Bu?” Andin membuka pembicaraan. Bu Rere menghela napasnya untuk ditenangkan terlebih dahulu. Sesekali pikirannya itu terus terbayang soal Ellen yang tadi terbaring lesu di kasur organisasi. “Kalian denger gak tadi Ellen nyebut nama Bu Fatma ketika ia sadar?” tanya Bu Rere kepada tiga anggota di depannya itu. Andin, Prabu, dan Tisya pun mengangguk bersamaan. “Iya, Bu. Kami bertiga mendengar kok. Apa ada sesuatu yang mencurigakan, Bu?” tanya Tisya lagi. “Menurut saya begitu. Ada satu hal yang menjanggal di hati saya ketika Ellen berkata seperti itu. Ellen tadi itu berkata bahwa sebelumnya ia berada di ruangan Bu Fatma … dan seperti yang kita ketahui—“ “Bu Fatma selalu memanggil mahasiswa ketika mahasiswa itu sedang dalam masalah,” timpal Rezvan yang mengagetkan Andin dan Tisya. “Jadi kamu bilang si Ellen itu ada masalah sama Bu Fatma?” tanya Andin ke Prabu. “Iya nih, jadi menurut kamu Ellen itu anak yang nakal dan melakukan kesalahan besar sehingga dia dipanggil oleh Bu Fatma?! Enggak, Prab!!!” tepis Tisya yang senada dengan ucapan Ellen. Prabu menggelengkan kepalanya, “Ya entah lah, mungkin itu hanya firasatku saja. Dan aku berharap semoga firasat itu salah besar.” “Salah ah kamu itu!” tegas Andin. “Iya, jangan ngadi-ngadi deh, Prab! Ini menyangkut Ellen loh, yang harusnya kita bantu malah kita tuduh. Gak boleh gitu!” pekik Tisya. “Diam, diam, diam,” Bu Rere menenangkan Andin dan Tisya yang sedang bergejolak. “Apa yang dikatakan oleh Prabu itu kemungkinan benar. Selama saya menjabat sebagai dosen pengganti di fakultas Bu Fatma, Bu Fatma memang mengeluarkan sebuah aturan untuk siapa saja yang boleh masuk ke dalam ruangannya. Pertama, orang-orang yang terlibat penting dalam proyek kampus, yang bisa menguntungkan dua belah pihak. Dan kedua, orang-orang yang memiliki masalah serius pada Bu Fatma,” terang Bu Rere yang menerangkan sedikit dugaan dari Prabu. “Serius, Bu?” Andin masih tak menyangka ada aturan aneh seperti itu. “Mungkin saja Ellen dipilih menjadi orang yang terlibat dalam proyek besar, makanya dia dipanggil ke ruangannya Bu Fatma,” Tisya pun berusaha positif thinking walaupun di kepalanya muncul dugaan lainnya yang cenderung negatif. “Eh tapi gak mungkin sih, soalnya Ellen gak punya kapasitas dan relasi khusus untuk menjalankan sebuah proyek kampus,” batin Tisya yang enggan ia keluarkan. “Jadi gini, anak-anaku sekalian …” Bu Rere pun menyampaikan argumennya.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN