Hening

1671 Kata
Bu Rere mengelilingi ruangan organisasi tersebut, diikuti dengan Andin yang ada di belakangnya. Bu Rere mengangguk-anggukan kepalanya seraya menelik buku-buku yang sudah tersusun rapi di raknya. Bu Rere membuka kaca dari lemari buku tersebut, dan mengambil buku berjudul, “Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, catatan pulau buru” karya Pramoedya Ananta Toer. “Dari mana kalian mendapatkan buku-buku seperti ini?” tanya Bu Rere dan mulai membuka halaman pertama dari buku yang diraihnya. “Setiap bulan, kami selalu mengadakan iuran buku yang menurut kami kritis, dan memiliki sudut pandang yang tajam. Terlebih, buku-buku yang berbau perempuan ini kami beli diperuntukan untuk teman-teman yang minat dengan isu-isu perempuan dan sejarah,” jelas Andin. “Lalu, sudah berapa buku ini dibaca oleh anggota di sini? Apa semuanya sudah membaca?” tanya Bu Rere yang kali ini mengalihkan pandangannya ke beberapa anggota yang bersila di lantai. Dan semuanya menggelengkan kepalanya. “Jadi, apa gunanya buku ini dibeli?” tanya Bu Rere yang tidak senang dengan jawaban tersebut. “Maaf Bu, lain kali kami akan membuat jadwal membaca untuk buku-buku tertentu agar semuanya bisa membaca dengan baik,” jawab Andin untuk meredam ketidaknyamanan Bu Rere saat itu. “Iya, benar. Nanti dibuat jadwal membaca buku, bukunya juga di rolling, ketika sudah selesai membaca, kalian semua harus review buku itu,” tambah Bu Rere. “Siap, Bu. Dengan senang hati akan kami kerjakan,” respon Andin. “Oke, saya senang mendengarnya,” Bu Rere semringah. Sementara itu, Tisya memasang wajah murung. Di dalam hatinya pun berkata, “Hmm, belum juga tugas mingguan dan bulanan selesai, sudah ada kerjaan membaca dan me-review buku. Mana ini bukunya kritis dan tebal-tebal sekali lagi, gimana mau selesai? Aduh, aduh, kerjaan di mana-mana, nih.” “Lalu, mana karya-karya kalian? Kalian di sini jurnalis semua, kan?” tanya Bu Rere lagi. Andin mengangguk tegas. “Iya, Bu. Kami semua di sini bergerak di bidang jurnalistik, yang pastinya menulis berita dan opini-opini juga. Ini Bu, ada koran mini yang sudah teman-teman buat di bulan sebelumnya,” Andin mengambil tumpukan koran mini yang berada di atas meja, yang sudah tersusun rapi. Lalu, diberikannya ke Bu Rere. Bu Rere membaca judul-judul dan isi dari koran mini hasil karya anggota pers mahasiswa kampus ini. Lalu, Bu Rere menyeritkan dahinya dan dengan cepat mengembalikan lagi ke tangan Andin. “Kalau saya sih, membaca judulnya saja tidak berminat, apalagi membaca isinya?” tegas Bu Rere sambil menggelengan kepalanya. Semua anggota yang hadir di situ, begitu juga dengan Andin, merasa ada yang tidak beres dengan kinerja anggotanya. Semua anggota memandang satu sama lain. Alhasil, Bu Rere bisa dengan mudahnya berkata seperti itu. “Hmm, maaf Bu atas kekurangan kami dipenulisan berita. Lain kali akan kami buat semaksimal mungkin dan sebagus mungkin,” tukas Andin. “Eh beneran deh, kalian semua di sini sudah dilatihkan untuk mencari isu, bekerja di lapangan, dan menulis berita?” Bu Rere melempar pertanyaan kembali. “Sudah, Bu,” jawab Andin singkat. “Tapi kenapa berita yang kalian tulis di koran mini itu banyak berita yang tidak penting?! Kalian kalau cari berita itu pakai mikir gak sih?” amarah Bu Rere memuncak, ini pertama kalinya ia mendatangi ruang organisasi dan langsung memaki anggota yang hadir pada saat itu. Semua anggota menunduk lesu, begitu juga dengan Andin yang masih berdiri di belakang Bu Rere. “Berita macam apa ini?! Coba lihat deh, dari judul saja banyak yang gak penting. Mengandung click bait dan gak nyambung semua,” Bu Rere kembali mengambil koran mini itu dan melemparkan ke pintu. “Apa ada, jurnalis professional itu nulis judul gak sesuai PUEBI? Terus ada juga judul berita Anak Baru Kampus Ini Mendapatkan Gelar Mawapres, Kenapa Itu Bisa Terjadi?” tukas Bu Rere. PUEBI: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia, berguna sebagai sarana petunjuk ataupun pedoman yang akan membuat penulis-penulis bisa membuat tulisan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dengan panduan dan menaati PUEBI ini, maka tulisan para penulis bisa lebih mudah dipahami oleh pembaca. “Apalagi ini nih, Lima Fakta Tentang Mantan Rektor yang Sungguh Menakjubkan. Gak penting nih! Gak penting!!!!” lanjut Bu Rere kembali setelah sekilas membaca judul-judul yang tertera di koran mini. “Apa pentingnya kalian mengungkapkan fakta mantan rektor?! Judul saja sudah tidak menarik, terus isinya pun kayak koran-koran mainstream. Harusnya itu, kalian menulis kinerja rektor atau mantan rektor yang sampai saat ini mangkrak!” Bu Rere pun memberi sekelumit contoh. “Kalian tahu gak sih cara membuat judul berita yang tepat itu kayak gimana? Udah berapa lama kalian belajar di sini?! Atau jangan-jangan kalian hanya menulis seenaknya tanpa ada pesan penting yang disampaikan ke pembaca. Apa benar begitu?!” cerca Bu Rere lagi. “Ti … tidak begitu, Bu. Maaf ya Bu, lain kali kami akan bekerja sebaik mungkin lagi dan melakukan evaluasi kembali dengan rekan-rekan yang lain,” hanya maaf yang bisa diucapkan Andin. Karena bagaimana pun koran mini tersebut sudah tersebar dan tidak bisa ditarik kembali hanya karena judul yang kurang menarik menurut Bu Rere. “Setelah ini, saya tidak mau melihat berita dengan judul dan isi yang seperti tadi, ya. Tidak ada penting pentingnya sama sekali dan hanya membuang waktu untuk membaca,” tegas Bu Rere. “Paham semuanya?!” Bu Rere melempar pandangan ke anggota lainnya. “Paham, Bu … “ koor mereka semua. “Oke, saya mau semua anggota pers mahasiswa di kampus ini untuk berkumpul besok. Saya akan mengevaluasi hasil kerja kalian terutama berita-berita yang sudah kalian tulis sebelumnya. Dan, saya akan tipis-tipis memberikan isu yang berkaitan dengan kampus ini. Mungkin, isunya cukup sensitif, tapi sangat percaya kalau kalian bisa mengatasi itu,” tutur Bu Rere sambil meraih kursi yang kosong, oh rupanya Bu Rere juga lelah berdiri melulu. “Siap, Bu, akan saya akan siapkan tempat untuk acara besok,” ungkap Andin. “Oke, baik. Tapi kalian harus janji sama saya, kalau mau berubah demi menciptakan kembali tulisan-tulisan yang bermanfaat dan kritis bagi orang lain, mengerti?” tanya Bu Rere. “Mengerti, Bu … “ koor seluruh anggota pers mahasiswa tersebut. “Oh iya saya sampai lupa, kebanyakan ngomong malah gak memperkenalkan nama. Hehe,” Bu Rere menepok jidatnya. “Perkenalkan nama saya Rere Andarswari Intan Permata, kalian bisa panggil saya Bu Rere. Saya di sini sebagai pembimbing pers mahasiswa kampus menggantikan Pak Joseph Antonious Harahap. Maaf kalau kesan pertama saya datang ke sini sangat berbanding terbalik dengan Pak Joseph, karena pembawaan saya yang agak tegas. Senang bertemu kalian semua di sini, dan selamat berproses!” jelas Bu Rere mengenai dirinya. Kemudian, semua anggota pergi *** “Eh, Din … siapa sih yang nyariin pembimbing baru kita kayak Bu Rere itu?” tanya Tisya dengan rasa sebal di dadanya. Untungnya saja siang ini Tisya bisa makan bareng sama Andin, sambil dikit-dikit gosipin Bu Rere lah. “Biasanya sih Kepala Kemahasiswaan kampus sih, tapi aku gak tahu lagi gimana penilaiannya hingga Bu Rere terpilih menjadi pembimbing pers mahasiswa kampus yang baru,” jawab Andin yang mengetahui seadanya, Andin bukan tipe orang yang sok tau. “Tapi, gak ada yang lebih baik dari Bu Rere apa ya?” celetuk Tisya. “Sssttt, kamu ngomong apa sih Tisya?!” Andin cepat-cepat menutup mulut Tisya yang asal celetuk itu. “Kita gak tahu kenapa Bu Rere bisa menjadi pembimbing, tapi kita lihat saja kedepannya, bagaimana Bu Rere membimbing kita,” ujar Andin. Tisya melepaskan tangan Andin yang ada di mulutnya. “Aduh Din, habisnya Bu Rere itu baru aja perkenalan sudah ngelakuin hal yang aneh-aneh yang bikin kita jatuh mental, contohnya saja dia mempermasalahkan judul berita kita di koran mini, lalu dibuang lagi. Pak Joseph aja gak pernah begitu loh, dia malah fine fine aja sama apa yang kita tulis,” beber Tisya. “Tis … kalau Bu Rere mengkritik tulisan kita, itu artinya kita harus bisa lebih baik lagi. Lagipula kan besok Bu Rere mau mengadakan evaluasi, nah dari situ kita bisa lihat kesalahan kita dalam menulis berita,” balas Andin. “Kalau terus terusan dievaluasi, tulisan kita pasti banyak suntingannya tuh. Atau bahkan ngulang-ngulang nulis terus sampai akhirnya gak terbit,” Tisya mulai menggemas. “Ingat, practice makes perfect, Tis!” Andin pun melanjutkan makannya. Sementara itu Tisya masih menggerutu dengan sikap Bu Rere. “Gak asik ah, gak asik!” tukas Tisya yang manyun. Kemudian Tisya juga melanjutkan makannya. Asyik menghabiskan semangkuk mie ayam spesial buatan Bulek Markonah, suara Prabu yang cempreng dan sangat tak asing di telinga Andin dan Tisya pun datang kembali. “Selamat siang, Andin … kok kamu makannya sama Tisya, sih? Tadi pagi aku ajakin makan gak mau,” ujar Prabu. Sontak saja Andin dan Tisya menghentikan makannya, dan melirik ke Prabu yang duduk di kursi samping Andin. “Kamu mau ngapain di sini? Ganggu aja!” picik Tisya. “Mau makan lah, kan ini kantin mahasiswa, sudah pasti makan adalah tujuan utamanya. Dan gak sengaja aja sih langsung ketemu sama Andin. Ini hadiah banget, hehe,” ujar Prabu. “Hadiah apaan, emang kamu lagi ulang tahun?” sewot Tisya lagi. Tapi Andin malah menghabiskan makannya saja. Menurut Andin, kedatangan Prabu dan berbicara dengan Prabu itu hanya buang-buang waktu dan tidak ada hal penting yang patut dibicarakan. “Kenapa sih kamu jawab mulu? Habisin tuh mi ayam!” balas Prabu. “Ya Tuhan … kenapa sih siang siang gini malah bertemu Prabu yang sok kegantengan dan hobinya ngintilin Andin?! Mending pertemukan aku dengan Jeon Jung Kook atau Park Ji Min yang tampan menawan paripurna ya Tuhan … “ tukas Tisya. “Husssst! Mimpi kamu ketinggian. Awas jatuh di atas tumpukan kotoran sapi!” celetuk Prabu yang mulai kesal dengan Tisya. “UHUK!” Andin pun tersedak. “Eh, Prabu! Kamu kalau ngomong jangan gitu dong, kita berdua lagi makan nih. Pergi gak kamu?!” Tisya beranjak dari duduknya dan mengacak pinggangnya. Kedua matanya melotot ke arah Prabu. “Huh!!!!!” Prabu yang tidak ingin kena bogeman dari Tisya, langsung pergi saja tanpa mengobrol dengan Andin lebih lama lagi. “Kasihan banget si Prabu, mau deketin kamu, malah ada Buldog penjaga di samping kamu, hahaha,” cakap Tisya yang membuat perut Andin tergelitik.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN