Datangnya Bu Rere

1105 Kata
I want it this love I want it real love Nan noegeman jipjunghe Jom do sege nal ikkune Techoui DNA ga nol wonhanunde Igon piryoniya I Love Us Urimani True Lovers Gunyorul bol ttemada sosurachige nolla Singihage jakkuman sumi mojnun ge cham isanghe solma Suara lagu Bangtan Boys boyband asal Korea itu muncul dari ponsel Tisya. Tisya pun mengikuti aluran lagu tersebut sambil membayangkan dirinya mampu berdansa ala boyband Korea idolanya itu. Maklum saja lah, Tisya yang memiliki tubuh lebih besar dari personil Bangtan Boys tersebut, sadar diri kalau tidak bisa mengikuti gerakan yang super cepat itu.  Asyik berimajinasi menjadi artis idola papan atas, Andin pun mengacaukan kehaluan Tisya itu. “Tis! Ayo cepetan masuk ke ruang pers, pembimbing baru mau datang sebentar lagi. Coba kamu lihat jam deh,” sontak saja Andin sudah menarik-narik tangan kanan Tisya. Padahal, Tisya saja tidak melihat kapan Andin menghampirinya. Aduh Tisya! Kefokusan lihat ponsel sama Bang Tan Boys, sih! “Din … Din … ganggu aku menghalu aja sih,” balas Tisya manyun dan segera mematikan lagi dari ponselnya. “Ayo Tis, cepetan, berdiri yuk berdiri,” Andin pun menarik kembali tangan Tisya yang mengisyaratkan untuk bangkit dari duduknya. Dan akhirnya Tisya pun berdiri. Dengan Andin yang terus menarik tangan kanannya, Tisya mengikuti ke mana Andin berjalan. Tisya mah orangnya ikut-ikutan aja, hehehe. Tak lama kemudian, wanita berumur tiga puluh sembilan tahunan itu memasuki gedung Student Center. Wanita yang memakai jas dan celana berwarna putih gading itu, menelik ke sekitaran gedung tersebut. Wanita serba berpakaian putih itu mengitari sebentar gedung Student Center. Ini pertama kalinya wanita itu memasuki kampus, terutama gedung yang diisi oleh beberapa mahasiswa yang sedang berorganisasi. “Hari pertama menginjakan kaki di gedung ini, auranya sih kayak anak-anak kuliahan pada umumnya ya. Pastinya tidak begitu bersih, ada bagian fotokopi di setiap sudut, ada kamar mandi yang berada di pojok-pojok gedung,” ujar wanita itu mangut-mangut ketika melihat ke sekitar gedung Student Center. “Nah, pasti di sini ada para mahasiswa yang lebih mementingkan organisasi dibandingkan tugas kuliahnya. Ada yang lama lulus kuliah, ada juga yang setengah-setengah mengikuti organisasi hanya untuk mengisi waktu luang. Dan … pasti ada yang dari pagi sampai malam nangkring di sini sampai lupa mandi,” lanjut wanita tersebut. Drrttt … ddrttttt …. Ddrtttt …. Ponsel wanita itu bergetar, segeralah ia meraih ponsel yang ada di dalam tas berwarna putihnya dan mengangkat telepon dari nomor yang belum ia simpan. “Hallo, selamat pagi?” sapa wanita tersebut. “Selamat pagi kembali, Bu Rere. Maaf mengganggu waktunya, saya Andin dari organisasi pers mahasiswa kampus mendapatkan kabar dari Kepala Kemahasiswaan kampus kalau Bu Rere menjadi pembimbing baru di organisasi kami. Dan maaf Bu mau bertanya, Ibu sudah sampai di mana, ya? Apa hari ini jadi berkunjung ke ruang pers mahasiswa kampus?” ungkap Andin dari balik telepon, yang ternyata ia sedang menelpon Bu Rere. “Oh iya benar. Saya sudah berada di gedung Student Center, nih. Ruangannya di sebelah mana, ya? Dari tadi saya keliling-keliling tapi gak nemuin mana itu pers mahasiswa,” tukas Bu Rere yang masih celingak-celinguk berusaha mencari di mana letak ruangan yang dimaksud oleh Andin. “Ruangannya ada di pojokan gedung, Bu. Ibu masuk saja ke gedung Student Center, langsung mengarahkan ke kiri, lurus sampai mentok, belok kanan lagi, dan lurus terus. Ruangan kami memang tidak ada papan nama organisasi seperti di pintu-pintu organisasi lainnya, Bu. Di pintunya hanya ada tulisan Keadilan Untuk Kami,” jelas Andin yang menuntun Bu Rere untuk sampai ke ruang organisasi. “Oke terima kasih, saya akan segera sampai, ya. Semua anggota apa sudah berkumpul?” tanya Bu Rere kembali. “Sudah, Bu … “ jawab Andin antusias. “Baik, lima menit lagi saya sampai di sana, tunggu ya,” kata Bu Rere. Kemudian telepon tersebut ditutup. Bu Rere segera mengikuti arahan yang dijelaskan Andin lewat telepon tadi. “Saya harap ruangan yang berada di pojok ruangan ini beda dari yang lainnya ya, contohnya saja tidak ada aroma-aroma kamar mandi yang menyengat sampai ke dalam ruangan. Aamiin,” harap Bu Rere. Hingga tibalah Bu Rere di depan pintu yang bertuliskan “Keadilan untuk Kami”. Bu Rere menaikan kedua alisnya, dan mengetuk pintu yang tertutup itu. TUK … TUK … TUK … Perempuan berbadan kurus membuka pintu tersebut dengan senyuman di bibirnya, “Selamat pagi, Bu Rere, ya? Perkenalkan saya Andin, bu,” ujar Andin yang segera menjulurkan tangan kanannya ke Bu Rere. Bu Rere pun membalas suguhan tangan dari Andin. “Hallo Andin, iya saya Bu Rere,” balas Bu Rere dengan senyumannya juga. “Baik Bu Rere, silakan masuk, Bu,” Andin pun membuka pintu ruangan tersebut menjadi lebih lebar. Bu Rere melepas sepatu putihnya dan masuk ke dalam ruangan yang sudah diisi beberapa anggota organisasi. Bu Rere tampak menghitung jumlah anggota yang hadir saat itu. “Semua anggota di organisasi pers kampus ini hanya lima belas orang? Saya dengar di Kepala Kemahasiswaan, ada sekitar lima puluh tiga orang loh. Ke mana yang lainnya?” tanya Bu Rere ketika ada ketidaksamaan antara laporan Kepala Kemahasiswaan dengan apa yang dilihatnya saat ini. “Maaf Bu, kalau untuk jumlah anggota kita sih makin lama makin menurun, Bu. Awal mula ketika ospek, ada sekitar llima puluh lima anggota, namun berjalannya beberapa bulan ya hanya tersisa lima belas orang. Namanya juga seleksi alam, Bu, hehe,” jelas Andin dengan rasa prihatin di dadanya. Menunggu respon Bu Rere, semua anggota pun memasang wajah ketakutan. Takut kalau Bu Rere menganggap organisasi ini tidak sehat, karena banyaknya anggota yang mengundurkan diri secara perlahan. Bu Rere pun menganggukan kepalanya mendengar penjelasan dari Andin, “Itu sudah biasa sih sama yang namanya seleksi alam, waktu saya mengikuti organisasi selama kuliah pun begitu. Malahan sampai dua tahun organisasi berjalan, hanya lima orang yang bertahan,” kabar Rere. Andin pun ikut menghela napasnya lega, disertai tatapan mata antar anggota lainnya yang merasa bahwa Bu Rere bisa memaklumi dengan keadaan anggota dan organisasi pers mahasiswa kampus. “Boleh saya lihat-lihat apa saja yang ada di ruangan ini, tidak?” Bu Rere meminta izin. Bukan namanya Bu Rere kalau tidak memeriksa secara detail, hehe. “Oh boleh, boleh, Bu,” Andin memperbolehkan dan beranjak dari duduknya mengikuti Bu Rere dari belakang. Dan saat Andin melewati Tisya, Tisya pun berbisik, “Menurut kamu, pembimbing baru kita, baik apa jahat?” Andin tidak mengindahkan pertanyaan Tisya yang terlalu tidak penting itu. Andin hanya fokus melayani Bu Rere sebagai pembimbing baru organisasinya. Andin ingin menambah kesan pertama dan chemistry yang baik antar dirinya dan Bu Rere. Karena menurut Andin, organisasi yang baik itu ketika antar anggota memiliki jalinan kepedulian satu sama lain dan saling memiliki satu sama lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN