Rentan

1705 Kata
Rezvan tak mau masalahnya dengan Ellen terus berlanjut. Maka dari itu ia cepat-cepat mencari keberadaan Ellen. Seperti biasa, Ellen adalah orang yang selalu meng-update cerita di media sosialnya. Rezvan pun memanfaatkan kesempatan tersebut, untuk membuat perjanjian dengan Ellen. “Nah, kebetulan nih! Ini waktu yang sungguh-sungguh tepat!” ujar Rezvan yang sedang membuka media sosial Instagramnya dan melihat ada username Ellen yang baru saja mempublikasikan ceritanya hari ini. “Halo, Len. Bagus banget pemandangannya, kamu sekarang lagi ada di situ?” ucap Rezvan di kolom komentar ceritanya Ellen. Ellen menampilkan bahwa dirinya sedang berada di sebuah pantai yang baru saja dibuka seminggu kemarin. Pantai yang masih sepi pengunjung itu, menghembuskan angin-angin segar dan nampak dari dedaunan pohon kelapa yang melambai. Selang dua menit kemudian, notifikasi masuk dari ponsel Rezvan, tepatnya di bagian pesan pribadinya. Ternyata itu adalah pemberitahuan dari Ellen, yang mengirimkan sebuah balasan. Spontan saja kedua mata Rezvan terbelalak senang. Akhirnya, Ellen masih mau menggubris komentarnya. Akan tetapi, setelah Rezvan membuka komentar tersebut, hanya stiker berbentuk jempol kaki yang dikirimkan oleh Ellen. Rezvan menghela napasnya. Kegalauan kembali menyelimuti lantaran Ellen tidak merespon baik komentar dari Rezvan itu. Rezvan melangkahkan kakinya pilu karena tidak mendapatkan yang semestinya ia inginkan. Rezvan menuju ruang BEM kampus, yang mana di jam-jam segini (jam sepuluh pagi), suasana di sana sepi sekali karena anggota lainnya sibuk di mata kuliah masing-masing. CEKLEK! Rezvan mengernyitkan dahinya ketika mengetahui pintu ruangan tersebut tak terkunci. Dengan perasaan sedikit curiga, Rezvan memasuki ruangan sambil menengok ke kiri dan ke kanan. Ditakutkan ada orang-orang yang merusak tatanan ruang atau mengambil barang berharga lainnya. Maklum, ruangan yang berada di gedung student center itu tidak dilengkapi Closed Circuit Television alias CCTV kalau dalam bahasa kerennya. Jadi, jikalau ada barang berharga yang hilang, Rezvanlah yang bertanggung jawab selalu ketua BEM mahasiswa. “Apa ada orang di dalam?” seru Rezvan sambil mengendap-endap melihat seisi ruangan BEM itu. Sssssk! Sssssskkkkkk! Ssssk! Rezvan mencoba memelankan langkahnya lagi guna menangkap siapa yang menciptakan bunyi seseorang yang sedang menarik ingusnya. “Jangan-jangan ini dia pelaku yang membobol pintu ruangan,” pikir Rezvan sembarangan. Rezvan semakin waspada, ia menapakan salah satu kakinya ke depan dan satunya lagi ke belakang sambil membentuk garis lurus. Lalu, Rezvan mengeyampingkan kaki belakang dengan arah keluar dan menumpuk berat badannya ke arah bagian depan. Alhasil, Rezvan pun berhasil melakukan gaya kuda-kuda depan hanya dalam beberapa detik. Itu pun hasilnya mengingat-ingat pelajaran pencak silat yang didapatnya di sekolah menengah pertama atau disebut SMP. Seorang perempuan berdiri dari kursi di paling belakang ruangan, dan menghampiri Rezvan. “Rezvan?” ujar perempuan itu dengan tatapan nanar di kedua matanya. “Ellen?” seru Rezvan balik. Rezvan yang tadinya sudah memasang siaga terakhir, kini kuda-kudanya dihentikan. Rezvan menegakan badannya dan tersenyum ke Ellen. “Yap! Syukurlah Ellen ada di sini, ini adalah waktu aku minta maaf ke Ellen,” batin Rezvan yang memang sudah merencanakan itu sebelumnya. “Aku benci lihat kam—“ “Len! Dengerin aku dulu, boleh?” sahut Rezvan sembari memegang tangan kanan Ellen dan melayangkan suara lembut. Ellen tak menjawab dan hanya menatap kedua mata Rezvan. “Dia memang tampan, tapi kenapa aku merasa jengkel tiap kali mengingat bentakannya di kafe itu, ya?” pikir Ellen. Ellen menggeleng-gelengkan kepalanya. “Buat apa dengerin kamu?” “Len …” Rezvan semakin mendekatkan tubuhnya ke Ellen dan lebih memegang erat tangan Ellen. Ellen yang sebelumnya memang mendambakan sosok Rezvan si ketua BEM kampus itu, jadi salah fokus melihat mata Rezvan yang mengarah tajam padanya. Ellen jadi tak berkutik, padahal ia sudah mengancang-ancang kalau ingin drama sedikit soal kekesalahannya pada Rezvan. Lah, sekarang malah Ellen yang sibuk dengan kesalah tingkahannya ke Rezvan. “Aku tahu aku bukan manusia yang sempurna, baik, dan selalu menjaga perasaan orang lain. Akan tetapi, aku manusia yang memiliki kesadaran yang tinggi, rasa tanggungjawab dan empati yang tak ada habisnya. Maka dari itu, dari perselisihan kita di kafe tadi, aku merasa bersalah sama kamu. Tidak seharusnya aku melakukan hal kasar seperti itu,” tutur Rezvan. Tangan Ellen tiba-tiba saja bergetar. Ada rasa yang menggelitik sekaligus membuatnya tak berkutik di depan Rezvan. Tutur kata yang keluar dari mulut Rezvan itu, membuatnya kayak mannequin challenge. That girl is a real crowd pleaser, Small world, All her friends know of me. HAP! “Jadi aku memohon penuh kepadamu untuk bisa memaafkan kesalahanku. Aku gak mau lagi bertengkar sama kamu, Len. Kita ini sudah lama dingin-dinginan, cuek, tapi entah kenapa kali ini ada rasa yang mengguncangku, untuk berteman bersama kamu,” lanjut Rezvan. Rezvan emang pandai memainkan kata-kata, semua yang keluar dari mulutnya itu pure dari lubuk hatinya paling dalam. Walaupun sesekali Rezvan selalu lihat referensi di Google yang memiliki keyword “Nasihat Cinta Para Remaja” Antara sadar tak sadar, Ellen menganggukan kepalanya pelan. Dirinya seperti dihipnotis oleh pandangan dan kata-kata maut yang keluar dari mulut Rezvan itu. Rezvan tak tinggal diam, ia tersenyum lebar sekali sampai gusi-gusinya yang merah muda itu nampak. “Seriusan Len, kamu maafin aku?” tanya Rezvan lagi saking kesenangannya, siapa tahu dia salah dengar, gitu. “Iya, serius. Kapan sih aku gak serius sama kamu?” Ellen ikutan tertawa. “YES! Terima kasih banyak ya, Len. Kamu memang perempuan yang baik hati dan tidak sombong,” balas Rezvan. “Hmm, ada maunya aja ngomong gitu. Biasanya juga kamu yang nge-julidin aku,” sewot Ellen. “Kan kalau ini beda cerita hehe. By the way kamu ada jam free gak hari ini?” tanya Rezvan. “Enggak ada, kenapa?” jawab Ellen seraya menggelengkan kepalanya. “Mau ke pantai yang tadi kamu pasang di cerita i********:, gak?” ajak Rezvan. Seketika saja seyuman terpancar hangat dari bibir Ellen. Ellen merasa dirinya beruntung bisa bersama Rezvan saat ini, di mana inilah salah satu keinginan Ellen. Berduaan bersama Rezvan, tanpa ada seorang pun yang mengganggu. Tidak perlu basa-basi atau memikirkan hal berat, Ellen langsung menganggukan kepalanya dengan spontan. “Mau! Mau! Mau!” tukas Ellen pakai nada Upin dan Ipin ya bacanya. *** Di sebuah pantai, dipenuhi dengan pasir putih yang langsung hangat di bawah terik matahari. Pasir tersebut sangat touchable karena tidak dipenuhi oleh kotoran apapun. Bisa dibilang, pantai yang baru saja diresmikan itu tidak banyak orang yang tahu. Maka dari itu, pengunjungnya masih sedikit. Jadi, kondisi lingkungannya pun masih bersih sentosa. “Kamu sering ke sini, Len?” tanya Rezvan yang berjalan di samping Ellen, melewati pepasiran putih tersebut. “Baru dua kali sama ini. Yang pertama itu dua hari lalu, dan baru aku abadikan di story i********: aku,” jawab Ellen mangut-mangut. “Terus kemarin itu ke sini sama siapa, Len?” tanya Rezvan lagi, pokoknya pembicaraan itu harus bisa berlangsung lama. “Sendiri, karena saat itu aku lagi pengen sendirian aja,” jawab Ellen sembari menendang pasir putih hangat di depan kakinya. Dari tendangan itu, tampak wajah Ellen berubah. Awalnya semringah, kini melesu. Tapi, Ellen tetap memaksakan senyumnya untuk diperlihatkan pada Rezvan. “Oh gitu … eh kalau kamu mau ke sini lagi lain kali, ajak aku ya. Kayaknya aku suka dengan suasana di sini deh. Dan kamu pun benar, kalau di suasana ini sangat sepi, tentram, dan pastinya hangat. Cocok banget untuk mengatasi kesendirian atau healing setelah pikiran riuh menghadang,” tukas Rezvan. “Iya itu memang benar. Selama menghilangkan healing, inilah tempat yang paling nyaman menurut aku. Rupanya selera tempat healing kita sama, ya,” balas Ellen. Rezvan ikut tertawa mendengar hal itu. Seperti yang kita ketahui dalam ilmu psikologis, healing itu termasuk cara untuk menyembuhkan diri secara pikiran (psikologis), perasaan, batin, dan apapun yang terdapat dalam diri. Dalam bahasa inggrisnya yang disebut penyembuhan diri. "Rez, aku boleh bicara sesuatu sama kamu, gak? Kayaknya hanya dengan kamu, aku bisa menceritakan semuanya dengan detail," ujar Ellen tiba-tiba. "Boleh. Mau cerita di mana? Di gazebo ujung itu bagus kali ya?" ajak Rezvan yang menunjuk ke gazebo kosong di ujung timus sisi pantai. Ellen mencoba tenang, ini saatnya ia melakukan kejujuran kepada Rezvan, yang diyakini sebagai orang yang tepat untuk menceritakan hal yang cukup sensitif ini. Dan sesampainya di gazebo tersebut, Ellen duduk di samping Rezvan. Dengan angin sepoi-sepoi yang menghembuskan ke rambut Ellen, Rezvan menatap jelas wajah milik Ellen yang begitu bulat nan bersih. "Sekarang kamu mau cerita apa, Len?" tanya Rezvan yang menagih perkataan Ellen. "Kamu kenal Pak Taufan, gak?" balas Ellen. "Kenal, dia salah satu dosen yang mengajar di kelasku. Memangnya ada apa, Len?" jawab Rezvan dengan wajahnya yang biasa-biasa saja. Sebenarnya, Rezvan sudah malas sih dengan topik pembicaraan yang mengarah pada Pak Taufan, orang yang selama ini melukai hatinya, hati kakanya Kinan, dan banyak lagi. "Orangnya gimana? Baik atau m***m?" tanya Ellen lagi dan Rezvan cukup terkejut mendengar pilihan dari Ellen. "Entah ya, aku gak begitu kenal dekat, hanya sebatas mahasiswa dan dosen yang berkaitan dengan tugas dan kuis-kuis yang ada. Tidak pernah lebih," tutur Taufan. Ya, Rezvan berhasil menyembunyikan hal lainnya yang berkaitan dengan Pak Taufan, yakni soal kejadian pilu yang dialami oleh kakaknya sendiri, Kinan. Kejadian yang masih betul-betul diingat di kepala Rezvan, dan tidak akan pernah hilang sampai keadilan memihak ke Kinan (kakaknya). "Tapi, aku kok merasa ada yang aneh sama Pak taufan, ya. Aku merasa gak aman, Rez," seru Ellen seraya memelankan suaranya. Spontan saja Rezvan membelalakan kedua matanya, ada perasaan aneh yang menjalar di kepalanya setelah Ellen melakukan hal demikian. "Emangnya kenapa, Len? Kamu boleh cerita ke aku kok. kalau tidak keberatan sih," tutur Rezvan. Ellen memegang tangan Rezvan, "Justru itu aku mengajak kamu duduk bersama di gazebo ini untuk membahas hal itu. Aku mendapatkan tindaka senonoh dari Pak Taufan, Rez," ungkap Ellen sembari menatap Rezvan dengan tatapan yang nanar. "Maksudnya? Coba kamu bisa jelaskan lebih detail, Len," pinta Rezvan. Di kepala Rezvan sudah mulai muncul rasa iba terhadap Ellen, si perempuan yang awalnya mengesalkan itu. Rezvan pun yakin sekali jika Ellen mengalami kasus yang sama seperti Kinan. "Pak Taufan pernah memegang p******a aku dengan sengaja, dan disitu aku benar-benar syok!" terang Ellen sambil mengelus dadanya untuk menenangka dirinya saat bercerita. Rezvan memegang erat tangan Ellen, "Aku paham apa yang kamu rasakan. Jangan dilanjutkan, aku tahu bagaimana kondisi mental kamu setelah kejadian itu menimpamu. Len, kamu gak perlu takut sama orang kayak gitu, ya. Kamu masih punya aku, yang bisa membantu kamu untuk menyelesaikan kasus ini," kata Rezvan berbicara penuh arti pada Ellen.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN