Sebelum benar-benar pergi latihan sepak bola malam ini, Prabu mengonfirmasi terlebih dahulu anggota-anggota komunitasnya. Dikhawatirkan, jika Prabu sudah sampai di tempat malam tidak ada orang sama sekali alias libur latihan. Berhubung Prabu gak mungkin main sepak bola sendirian sama setan, Prabu pun mengirim pertanyaan di grup w******p komunitas sepak bolanya.
Hai, guys! Hari ini kalian pada latihan gak? Kalau pun latihan, jam berapa kalian berangkatnya? Mohon informasinya ya, kaki aku gatel banget pengen nendang bola, hehehe.
Pesan tersebut terkirim sempurna. Setelah lima belas menit kemudian, tidak ada yang membalas pesan Prabu digrup. Hanya ada tanda centang biru di samping pesannya, yang menandakan bahwa pesan tersebut sudah dibaca oleh seluruh anggota grup.
Prabu menghela napasnya. “Gini nih, penyakitnya orang-orang di grup w******p. Suka banget ngacangin …”
Tidak mendapat jawaban dari grup komunitas sepak bolanya, Prabu memutuskan bertanya pada Reno saja. Terkhusus, malam ini tujuan Prabu latihan sepak bola ya untuk bertemu Reno. Kalau Renonya gak datang kan sia-sia juga, lebih baik dihubungi saja dulu.
Hai, Ren. Ini aku Prabu. Malam ini komunitas sepak bola ada latihan, gak? Aku mau ikut dong, sudah lama gak peregangan kaki.
Pesan yang ditujukan untuk Reno itu, langsung dibacanya dengan ditandai centang warna biru. Prabu pun menunggu Reno mengetikan sesuatu untuk mendapatkan jawaban. Namun, tidak ada tanda-tanda Reno ingin mengetikan sesuatu untuk Prabu. Lagi lagi Prabu menghela napasnya kecewa. Ia meraup wajahnya dengan kedua tangannya.
“Ya sudahlah, mungkin mereka memang gak lagi latihan,” seru Prabu yang sudah tidak ada hasrat lagi untuk latihan. Untung saja Prabu belum mengganti pakaiannya menjadi pakaian timnas dan kaos kaki selutut. Ternyata, boxer dan kaos oblong hitamnya cukup menemani kekecewaan Prabu malam ini.
Prabu mengetukan jarinya di atas meja sambil memikirkan cara bagaimana secepatnya ia bisa mendapatkan informasi dari Reno. Drttttt …. Ddrrtttt … ddrtt … ponsel yang sedari tadi digenggam oleh Prabu itu menghasilkan getaran yang membuat Prabu terkejut.
“Reno?” serunya dengan wajah yang semringah. “Halo, Bro! gimana, malam ini jadi latihan sepak bola?”
“Halo, Prab! Iya jadi. Maaf ya aku gak bisa balas chat kamu soalnya tadi lagi buang air besar. Eh seriusan kamu mau ikut latihan malam ini?” seru Reno.
“Ya iyalah! Aku akan mengisi amunisi lagi agar bisa mengalahkanmu, hahaha,” balas Prabu.
“Tumbenan banget mau latihan pakai acara ngalahin aku. Padahal kalau latihan juga kamu banyak istirahatnya, udah gitu paling banyak habisin air mineral lagi!” celetuk Reno yang tak akan lupa kebiasaan Prabu selama latihan sepak bola.
“Sssst, itu kan dulu. Sekarang mah sudah beda cerita. Kamu pasti terkesima melihat permainan kakiku yang gak kaleng-kaleng ini,” ucap Prabu dengan sombongnya. Padahal, sudah lebih dari enam bulan ia tidak pernah melatih kakinya. Jalan pagi aja mager, apalagi main bola.
“Oke lah kalau gitu, kita buktikan omonganmu. Masih tahu kan di mana lapangan kita?” tanya Reno sebelum menutup teleponnya.
“Iya, masih ingat. Lapangan yang ada di Gang Mulia nomor 234 itu, kan? Yang warna gerbangnya itu hijau lumut dan memang hampir dibaluri lumut?” jawab Prabu yang agak mengingat.
“Hmm, tuh kan. Gini nih manusia yang jarang latihan plus jarang banget mantau grup. Lapangan kita sudah pindah, kali! Sekarang di Jalan Pramuka Gang Dua Kelinci, gedung paling pojok gang, yang lapangan parkirnya paling lebar. Dah, di situ lapangan baru kita tiga bulan terakhir,” terang Reno. “Tapi kalau kamu kurang paham rincian tempatnya, aku ngasih kamu share location, kok.”
Prabu menganggukan kepalanya. “Oke, kayaknya aku tahu deh di mana tempat itu. Oh iya, kalau boleh tahu kenapa lapangan latihannya pindah? Kan enak di tempat yang lama, sudah banyak yang jualan, luas, dan deket juga sama kos aku,” tanya Prabu.
“Lapangan yang lama itu habis kebakaran. Mau kamu main sepak bola di tengah-tengah bangunan yang sudah terbakar?!” jawab Reno.
“Eh … serius yang kamu omongin? Aku kok baru tahu ya. Hhuhu, turut berduka cita deh bagi Mbah pemilik lapangan yang suka nasehatin kita-kita kalau berantakan parkir motor, hiks,” Prabu malah ikutan mellow.
“Udah, gak usah mellow gitu napa. Lapangan itu sedang proses pembangunan kembali, kok. Dan Mbah pemilik itu juga senang karena dapat banyak donasi dari pemain bulu tangkis lokal kayak kita-kita ini,” jelas Reno.
“Oh gitu … ah, syukurlah. Aku juga jadi gak sedih lagi. Oh ya sekali lagi terima kasih ya Ren, sudah infoin latihan malam ini di mana. Gak kayak anggota di grup tuh, hobinya ngacangin mulu,” tukas Prabu yang masih menyentil anggota-anggota lainnya yang mengacangi isi pesannya di grup.
“Hahaha, sama-sama. Maaf ya Prab, sebenarnya kita-kita ini punya grup w******p yang baru sih, khusus anak-anak yang aktif dan member tetap. But! Kamu jangan khawatir, secepatnya akan aku masukin ke grup yang baru,” terang Reno yang ternyata isi dari grup tersebut adalah anggota-anggota yang pasif cenderung fiktif.
“Pantesan gak ada yang bales! Ah, gak perlu, gak perlu, aku memang gak bergitu aktif kok. Gak usah repot-repot masukin ke grup, ya,” ucap Prabu.
“Yakin, kamu? Hehe. Ya sudah deh, nanti aku kabarin ke teman-teman yang lain pokoknya,” cakap Reno lagi.
“Oke deh, daripada kita berdua banyak bacot di telepon, sampai jumpa di lapangan baru, ya! Dan … jangan lupa share location-nya,” pungkas Prabu dan mengakhiri teleponnya.
Setelah mendapatkan informasi kalau hari ini anggota tim latihan sepak bola, Prabu segera mengganti baju dan celananya. Prabu membuka lemari plastiknya yang penuh dengan baju-baju yang tidak digosok apalagi dilipat. Ia menarik baju bola (jersey) yang paling bawah berwarna merah itu. Jersey merah yang kini dipegang Prabu itu sangat identik dengan warna Indonesia, yang dibubuhi sedikit warna putih di bagian belakang kerah. Adapula gambar Garuda sebagai lambang Indonesia di bagian d**a sebelah kiri. Kali ini baju sepak bola Prabu itu berbeda dari sebelumnya, adanya motif sayap Garuda yang sangat besar. Hal itu bisa dipandang di sebelah kiri dan kanan seragam, serta membentuk vertikal dari atas ke bawah.
“Sudah cakep dan tampan! Sekarang giliran pakai parfum peredam bau ketiak!” Prabu segera menggapai satu botol parfum bermerk terowongan. Srat .. sret … srat … semprotan dari parfum tersebut sudah tercium menusuk-nusuk hidung Prabu.
Prabu mengambil botol minuman alumunium yang diletakannya di atas meja. Sambil mengisi air dari galon birunya, Prabu berpikir, “Sepertinya sebentar lagi aku akan mendapatkan sesuatu hal yang tak terduga. Salah satunya informasi perihal Bu Fatma, dan akan menambah rasa ketampanan aku di depan Andin, ye ye ye la la la.”
Semuanya sudah kelar dilakukan oleh Prabu. Mulai dari rambut sampai ujung kaki yang berbalut kaos kaki dan sepatu bola mahalan itu, tampak menawan di diri Prabu. Lantas saja Prabu mengambil kunci motornya dan mengacir ke parkiran kosnya untuk menyalakan motor.
BRUM ... BRUM ... BRUM. Prabu mulai menyalakan motor matic-nya yang terdengar seperti baru karena habis diperbaiki. Sambil memanasi motornya sebentar, Prabu mendengar suara klakson motor yang begitu mengganggunya.
TIN! TIN! TIN! Klakson motor itu makin menyaring dan membuat Prabu menutup kedua telinganya. "Jangan bikin aku marah deh ya. Ini gak lucu malam-malam disuruh dengerin klakson motor yang menjengkelkan itu."
"HEY PRABU!" suara seorang perempuan memanggil nama Prabu. Telinga Prabu yang kebisingan karena mendengar mesin motor yang berisik, Prabu tak mendengar ucapan itu.
"HEYYYYY PRABUUUUUUUUUUU" suara itu semakin melengking dan membuat Prabu membalikan badan.
Prabu melihat ada Andin di atas motor matic-nya. Prabu mengucek kembali kedua matanya, siapa tahu itu hanya setan jelmaan Andin. Eh tapi kok gak hilang-hilang ya. Andin pun melambaikan tangannya, dan membuat Prabu yakin kalau itu beneran Andin. Andin menghampiri Prabu dengan motornya ke parkiran tersebut.
"Kamu baru mau pergi untuk bertemu Reno?" Tanya Andin yang masih duduk di atas motornya yang menyala.
Prabu menganggukan kepalanya. "Karena aku baru dapat info kalau mereka latihan di lapangan baru. Oh ya, kamu kenapa datang ke kos aku malam-malam gini? Apa sekalian lewat ya?" Tanya Prabu. Prabu berharap dalam hatinya kalau tujuan Andin ke sini adalah untuk bertemu dirinya.
"Ah enggak. Aku ke sini memang mau nemani kamu melakukan wawancara dan mencari data lewat Reno. Kira-kira kamu memperbolehkan aku, gak?" Balas Andin.
"Hmm gimana ya ..." Prabu tampak bingung dan mengetukan jemarinya di atas bibirnya. "Bukannya aku gak mau ditemani Andin sih. Tapi, ini kan pertama kalinya Prabu mewawancarai seorang narasumber penting, pastinya gagu dong. Prabu gak ingin saja kegaguannya itu dilihat oleh Andin. Bisa malu tujuh turunan dan menghilangkan sisi kharismatik Prabu," Batin Prabu yang waspada.
"Kok lama mikirnya? Udah deh, aku ikutan ya ..." Andin mulai mematikan motornya dan melepaskan kunci itu dari tempatnya. Andin yang melempar kunci motornya secara vertikal itu, segera naik ke jok belakang motor Prabu.
"Gak usah banyak bacot ya, Prab. Aku tahu kamu suka sama aku, jadi ... Kamu harus mengiyakan apa yang aku mau," Bisik Andin.
"Din ... Tapi Din, aku khawatir kalau misalnya aku--"
"Hey! Seorang wartawan tidak boleh khawatir. Kamu harus melatih dirimu untuk lebih percaya diri. Udah ah jangan bawel. Cepetan kita cuss ke tempat latihan kamu, lebih cepat lebih baik!" Andin terus memaksa Prabu.
Prabu tak bisa mengindahkan permintaan Andin yang jelas-jelasnya Andin sudah naik di atas motornya. Andin juga melirik gelagat aneh Prabu dari kaca spion sambil terkekeh. "Kenapa diam aja? Ayo dong ... Time is money!" Seru Andin yang menepuk-nepuk pundak Prabu.
Tanpa perlu menunggu waktu lama dan keburu malam mulai larut, Prabu pun menjalankan motornya dengan hati-hati ke tempat latihan yang dimaksud Reno lewat telepon tadi.
"Din, boleh minta tolong gak, bukain ponsel aku dan cari kontaknya Reno di sana," Pinta Prabu yang asyik nyetir. Prabu adalah tipe orang yang tidak mau diganggu kalau lagi nyetir. Dan lebih baik ia menyuruh teman boncengan nya untuk melihat ponsel daripada dirinya yang nanti akan kehilangan fokus mengemudi.
"Oke, ponsel kamu ada di saku celana sebelah kanan, bukan?" Tanya Andin yang memang sudah melihat barang berbentuk persegi panjang, timbul jelas dari balik saku celana kanannya.
"Nah iya bener. Hati-hati ya ngambilnya, awas jatuh di jakan," Ujar Prabu mengingatkan Andin yang biasanya ranggas (baca:kasar).
"Iya, Prab. Aku orangnya memang penuh dengan kehati-hatian kok, tenang aja," seru Andin.
"Kalau sampai kamu gak hati-hati dan ponsel aku jatuh ke jalan, gimana dong?" tanya Prabu.
"Ya gampang, bisa beli baru, hehe," jawab Andin dengan santainya.
"Terus, kamu yang mau beliin ponsel baru untuk aku?" celetuk Prabu.
"Ya enggak! Gak mau. Ponsel aku aja gak pernah ganti sejak SMA, eh kamu malah minta beliin! mikir!" Andin mulai menggemas.