“Kapan sih ide saya gak bagus, Bu?” Prabu mengelus poninya ke belakang rambut. Prabu pun sambil melirik nakal ke arah Andin.
Andin melengos. Ia berusaha menutupi senyumnya karena mendapat gerlingan mata dari Prabu.
“Hehehe, saya baru menyadari ide kamu bagus, Prab. Coba dari tadi kamu masuk ke anggota pers mahasiswa kampus dari awal semester satu …” tukas Bu Rere.
“Hmm, sepertinya jiwa-jiwa kritis saya baru muncul ketika semester sekarang ini. Dan untuk semester awal kuliah itu saya cenderung fokus ke olahraga, untuk memikat perempuan-perempuan cantik seperti ….” Kedua mata Prabu pun melanjutkan fokus ke Andin.
Andin menunduk, tidak ingin kedua kalinya mendapatkan gerlingan nakal dari Prabu.
“EHEM! EHEMMMMM HEM HEM HEM!” seru Tisya yang pura-pura tersedak sambil mengelus-elus lehernya.
Bu Rere mengernyitkan dahinya. “Emangnya ada apa sama Prabu dan Andin, Tis?” tanya Bu Rere.
“Hmm, jadi tuh ya Bu, Prabu dan Andin sudah lama kenal dan dekat selama kuliah. Dari semester awal sampai kuliah, mereka berdua selalu mengambil mata kuliah di dosen dan jam yang sama. Lalu, lama kelamaan karena witing jalaran soko kulino, mereka berdua ini timbul benih-bening cinta yang—“
“Ssssttttt Tisya! Jangan ngomong yang aneh-aneh loh! Kamu ini ya …” untung saja Andin cepat-cepat menepuk paha Tisya dan Tisya memberhentikan kalimatnya.
“Hehehehe,” Tisya nyengir seraya menutupi giginya yang dipenuhi behel merah.
“Awas kalau kamu ngomong macam-macam sama Bu Rere, aku sumpahin itu behel merah di dalam mulut kamu bakal jadi batu mata dan bikin gigi kamu tambah maju!” ancam Andin sembari menaikan telunjuknya ke depan wajah Tisya.
Tisya yang masih sibuk dengan tawanya itu menurunkan tangan Andin. “Santai aja kali, Din. Kamu ini mudah emosi ya orangnya, hati-hati loh nanti jodohnya jauh, wle!” Tisya semakin mengejek Andin. Tisya yang duluan beranjak dari duduknya, tidak berhasil disentil telinganya oleh Andin.
“WLE! Gak kena … kamu mau sentil telingaku, kan? Gak kena, Din … kamu belum beruntung, hahaha,” Tisya tertawa terbahak-bahak.
Andin pun membunyikan kedua tangannya sampai bunyi “krak krek krak krek”
“Awas ya lo, Tis. Sampai kamu nyebarin gosip-gosip sembarangan ke Bu Rere. Hmm, ini nih ancamannya!” Andin mengepal tangan kanannya, Andin yang terkenal jago bogem di kampus itu selalu melayangkan satu bogeman agar musuh-musuhnya pada ciut.
“Sudah, sudah, kok Andin dan Tisya saling ejek-ejekan sih?” Bu Rere meredamkan Andin dan Tisya. Namun, Tisya memilih duduk di kursi yang agak jauh dari Andin.
“Prabu, berarti nanti malam kamu harus menemui Reno ya, saya minta tolong sekali pada kamu untuk mencarikan informasi sejelas-jelasnya soal Bu Fatma. Jangan lupa siapkan ponsel kamu untuk merekam,” pesan Bu Rere.
“Tapi, ponsel saya full memory, Bu. Apa gak bisa saya mereka ucapan Reno dari kepala saya sendiri?” tawar Prabu yang membuat Tisya cekikik.
“Prab! Kamu jangan sempat-sempatnya menawar sesuatu yang konyol, dong! Kamu gak bisa merekam jelas perkataan Reno. Manusia itu tempatnya salah dan lupa, percaya diri banget kamu mau merekam pakai isi kepalamu,” timpal Tisya.
“Iya nih, kamu aja hapalan tabel unsur periodik aja lama banget, lah ini mau hapalin ucapan orang lain,” ujar Andin yang senada dengan Tisya.
“Tenang, saya punya kartu memori ponsel yang bisa kamu pakai untuk merekam nanti malam. Nih,” Bu Rere pun mengeluarkan sebuah chip berukuran kecil dari samping ponselnya. Chip itu langsung diserahkannya ke Prabu.
“Ah, terima kasih banyak ya Bu Rere. Gini lah pembimbing yang jadi idola anggota organisasinya, selalu memfasilitasi kerja tim, top banget Bu Rere!” tukas Prabu yang langsung memasukan chip memori tersebut ke ponselnya. “Sempurna!”
“Halah, bilang aja kamu gak ada modal, Prab! Pakai acara muji Bu Rere segala, huuu!” rupanya Tisya tidak berhenti untuk mencari masalah dengan Prabu.
“Berisik!” tepis Prabu. “Oh ya Bu Rere, apa sekarang saya boleh ke luar ya? Saya mau mengumpulkan tugas ke ruang ketua jurusan,” izin Prabu yang beranjak dari duduknya.
“Hah? Ada tugas apa, Prab? Aku kok gak tahu ya, padahal kan kita sekelas,” Andin tampak bingung.
“Ada, Din. Sebenarnya ini tugas untuk aku saja sih, karena nilai ujian tengah semesterku banyak yang gak lulus. Hehe,” terang Prabu yang menggaruk rambutnya karena malu sudah menyatakan aibnya sendiri.
“Oalah … ternyata kamu langganan remedial alias gak lulus ya?” Tisya mangut-mangut dan berusaha menyulut kekesalan Prabu.
Akan tetapi kali ini Prabu tidak meladeni ocehan Tisya yang padahal membuat kepalanya pening ingin mengamuk. Prabu akhirnya keluar dari pintu organisasi dan berpamitan, “Andin, Bu Rere, saya pamit ya. Nanti malam akan saya kabari gimana kelancarannya dalam mendapatkan informasi,” tukas Prabu sebelum menjauh.
Prabu sudah melangkahkan kakinya ke tujuan yang ia kehendaki, ruangan ketua jurusan. Tak lama kemudian, Bu Rere menatap Andin dan Tisya secara bergantian. Bu Rere melengkungkan senyuman sambil menyipitkan kedua matanya ke Andin dan Tisya. Lantas, hal itu membuat Andin dan Tisya cengo (baca: bengong).
“Bu … Bu Rere kesambet apaan, sih? Kok ngelihatin kita berdua kayak gitu ya. Atau … ada sesuatu yang menggelikan dari kita berdua?” tanya Tisya sembari memeriksa penampilannya, namun tampak aman-aman saja, kok.
“Hmm, kalau saya melihat nih dari tingkah laku dan pandangan kalian berdua pada Prabu, kayaknya kalian berdua itu suka sama Prabu deh …” terang Bu Rere yang membuat Andin dan Tisya begitu kaget.
“Ih enggak Bu! Saya gak suka Prabu! Tisya kali yang demen,” Andin buru-buru mengelak.
“Apalagi aku! Aku gak suka sama orang yang bego kayak Prabu. Prabu pun gak masuk dalam kriteriaku. Aku kan butuh pasangan yang kayak Jeon Jong Kook, tampan, tinggi, putih, bertalenta, cerdas, dan idaman banget. Beda seratus delapan puluh derajat banget sama Prabu!” cerocos Tisya yang tak ada hentinya menjelek-jelekan Prabu.
“Hati-hati loh ya kalau kalian ngomong. Pernah dengar gak sih ada yang bilang kalau cinta itu lahir dari kebencian yang teramat sangat?!” Bu Rere melempar pertanyaan.
“Iya, tahu, Bu. Tapi itu benar-benar gak berlaku di aku!” Andin menepis sekali lagi.
“Sama deh! Gak ada tuh hubungannya sama kehidupan nyatanya aku. Kalau cinta ya cinta, kalau benci ya benci,” Tisya pun menekankan.
“Andin, Tisya … seringkali kita tidak dianjurkan untuk terlalu membenci suatu hal. Karena benci dan cinta itu satu hal yang sangat beda tipis! Hati-hati loh ternyata nantinya kalian berdua rebutin Prabu!” kata Bu Rere.
Spontan saja Tisya dan Andin perutnya mules. Ada sesuatu yang berbunyi dari balik perutnya. Udah gitu, mulut Tisya dan Andin ingin sekali memuntahkan sesuatu karena mendengar pernyataan kurang mengenakan dari bibir Bu Rere.
“Bu, jangan bicara begitu ya, kasihan ini perut aku gak mampu menerima itu!” tegur Tisya memegangi perutnya yang mules.
“Iya, tiba-tiba saja perut aku jadi mules nih. Apa jangan-jangan …” kata Andin.
“KITA TELAT MAKAN!” seru Tisya dan Andin bersamaan karena mereka berdua punya penyakit maag. Jadi, jikalau ada sesuatu tidak mengenakan di dalam perutnya alias mual ingin muntah, itu artinya asam lambung mereka naik.
“Wah, asam lambung kalian bermasalah tuh!” Bu Rere panik dan mencari obat-obat yang berada di dalam kotak obat.
Tangan Bu Rere mengeluarkan seluruh obat-obat yang masih tersisa di dalam sana. Sesekali ia membaca tanggal kadaluarsa, mana obat yang masih bisa dikonsumsi, mana tidak. Akhirnya, Bu Rere menemukan obat Mylanta yang baru dibeli dua hari lalu di apotek sebelah.
“Kalian berdua segera kunyah ini, ya. Biar perut kalian tidak nyeri lagi,” ucap Bu Rere sembari mengambil dua tablet Mylanta dan diberikannya ke Tisya dan Andin.
GLEK! GLEK! GLEK! Kunyahan demi kunyahan dirasakan di dalam mulut Andin dan Tisya. Walaupun perutnya masih nyeri meronta-ronta, mereka berdua tetap harus menahan sampai obat Mylanta tersebut bereaksi sempurna.
“Tunggu obatnya bereaksi dulu ya, Din, Tis. Kalian duduk yang manis dulu di sini,” ujar Bu Rere.
Kondisi nyerinya perut di bagian atas itu merupakan ciri-ciri penyakit asam lambung yang sudah biasa diderita oleh mahasiswa seperti Andin dan Tisya. Nyeri yang dirasakan itu akibat naiknya asam lambung ke esophagus alias kerongkongan. Nah, itu artinya kondisi saluran pencernaan penghubung mulut dan lambung itu sedang iritasi. Maka dari itu, sakitnya hanya di sekitaran ulu hati atau mulas pada area d**a bagian bawah. Masalah ini disebut juga dengan Gastroesophageal reflux disease (GERD).
“Oh ya, kalian minum dulu deh ini,” Bu Rere tak lupa memberikan segelas air putih pada Tisya dan Andin yang badannya masih lemas.
GLEK! Untung saja Tisya dan Andin tetap mengikuti arahan dari Bu Rere. “Sekarang, kalian berdua rebahan dulu, kaki kalian di atas, pokoknya luruskan kaki kalian dengan sedikit naik melebihi kepala.” Pinta Bu Rere dan mereka berdua langsung mengikuti.
“Aduh … aku nyesel deh tadi pagi gak makan sedikit roti. Padahal sudah aku baluti selai kacang cokelat. Entah kenapa aku gak mood makan,” ujar Tisya.
“Kalau aku sih memang kebiasaan gak sarapan pagi, karena perutku bisa mules dua kali lebih sakit dari ini. Tapi … dengan cara tidak sarapan pun tidak menjadi jalan terbaik, huhu,” timpal Andin.
“Kalian berdua ini kan aktivis kampus sekaligus menjadi mahasiswa yang ditugasi banyak tugas-tugas. Kalian harus tetap menjaga kesehatan dengan makan yang cukup, minum air yang banyak, dan pastinya istirahat. Sangat tidak dianjurkan menunda-nunda makanan jika kalian punya riwayat penyakit maag. Maka dari itu, makanlah sedikit makanan di pagi hari guna mengisi kekosongan perut. Kalau ujung-ujungnya kayak gini, kalian sendiri yang merasakan sakit,” terang Bu Rere yang sudah seperti seorang Ibu yang memberi nasihat kepada dua anak kembarnya.
“Iya Bu Rere, terima kasih banyak atas perhatiannya. Ini perutnya sudah lumayan membaik,” balas Andin.
“Iya, perut aku juga nih. Terima kasih ya Bu Rere. Pantes banget deh Bu Rere jadi dokter, pinter banget penanganannya, hehehe,” timpal Tisya.