Langkah di Mulai

1204 Kata
Andin, Tisya, dan Prabu masih memperhatikan Bu Rere yang akan memberikan mereka sebuah informasi penting. Wajah Bu Rere tampak murung karena menyimpan satu pikiran negatif yang akan menimpa Ellen kedepannya. Apalagi pikiran itu akan terus bergulir jika dugaan-dugaan yang dipaparkan Bu Rere itu nyata adanya. “Jadi gini anak-anakku sekalian … sebelum saya menjadi pembimbing organisasi pers mahasiswa kampus ini, saya pernah beberapa kali melewati ruangan Bu Fatma, yang ada di lantai enam itu. Memang, pada dasarnya Bu Fatma hanya menerima dua kemungkina tamu, yakni orang penting untuk menjalankan proyek, dan orang yang dianggap bermasalah. Dan salah satu orang yang pernah dipanggil ke ruangan Bu Fatma adalah Reno, yang disebutkan Prabu tadi,” terang Bu Rere sambil menatap Andin, Tisya, dan Prabu satu per satu. “Tapi, kalaupun Ellen adalah orang yang dianggap bermasalah, dari segi apa, coba? Setahu aku, Ellen sama sekali tidak pernah mencari masalah sama Bu Fatma,” pikir Tisya sambil mencari-cari kesalahan yang mungkin dilakukan Ellen. “Iya, aku pun sudah berpikir luas, tidak ada satupun kegiatan yang dilakukan Ellen, yang menyangkut Bu Fatma,” timpal Andin. Prabu pun berdecak, “Aku tahu …” dan hal itu membuat Andin dan Tisya mengarah spontan ke Prabu. “Halah tau apa lo—“ “Sssst! Tisya, biarkan Prabu berterus terang dulu. Jangan dipotong kalau Prabu mau ngomong,” Bu Rere menghentikan Tisya yang selalu memotong Prabu berbicara. “Gimana, Nak Prabu? Bagaimana asumsimu mengenai hal ini?” tanya Bu Rere dengan tatapan penuh keyakinan kalau Prabu memiliki asumsi yang out of the box. “Menurutku, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum kampus di sini sudah terdengar ke telinga dekan alias Bu Fatma. Terlebih lagi, kasus ini sudah mencuat hingga pers mahasiswa kampus seperti kita ikut andil dalam menuntaskan kasus ini. Dan Ellen yang berposisi sebagai korban, dianggap sudah menyebarkan aib ini ke beberapa golongan, salah satunya kita,” terang Prabu dengan wajah serius. Baru kali ini melihat wajah serius dari Prabu yang dibaluti amarah. “Betul. Yang dikatakan oleh Prabu itu betul. Berhubung kabar pelecehan seksual yang dilakukan Pak Taufan itu sudah menjadi buah bibir atasan penting, Bu Fatma sedang membuat rencana agar kasus ini bisa hilang di permukaan. Salah satu caranya bagaimana? Ya komunikasi lewat Ellen. Cuma, saya belum tahu bagaimana jenis komunikasi yang dilakukan Bu Fatma terhadap Ellen,” balas Bu Rere. “Sepertinya Bu Fatma berkomunikasi dengan nada yang tinggi deh, Bu. Coba saja lihat respon Ellen ketika siuman, dia begitu kaget jika masih berada di ruangan Bu Fatma, kan?” tukas Prabu yang mengulang memori itu. “Iya, betul juga ya,” Bu Fatma menganggukan kepala. “Pasti Bu Fatma sudah melakukan hal yang membuat Ellen begitu takut.” “Akan tetapi, karena kita belum bisa membuktikan hal tersebut, bagaimana kalau kita cari narasumber lain?” Andin memberi saran. “Bagaimana itu?” tanya Prabu. “Kita cari saja Reno, salah satu mahasiswa yang pernah berurusan dengan Bu Fatma. Kita tanya pada Reno, apa yang sempat Bu Fatma katakan ketika ia dipanggil ke ruangannya,” jawab Tisya di sela-sela. Tisya pun menjentikan jarinya. “Berhubung aku hanya punya satu ide untuk diterapkan, aku rasa tadi itu jalan yang bagus.” Anggukan kepala pun diikuti oleh Andin dan Bu Rere. “Tumben kamu bisa mikir, Tis …” giliran Prabu yang menyeletuki Tisya. “Tiap hari aku suka mikir, kali!” Tisya sewot. “Masa? Bukannya tiap hari kamu hanya fangirling lihat Bangtan Boys joget-joget, ya?” Prabu tak mau kalah mengejek Tisya. “Ih, kamu ini apaan sih, Prab!” Tisya kesal. “Sudah, sudah, gak ada untungnya kalian berdua berkelahi seperti itu. Kalian ini sudah dewasa dan harusnya paham situasi kalau mau bercanda. Ingat, kita sedang berada dalam kondisi yang menekan kita dan juga pers mahasiswa kampus,” pesan Bu Rere yang berusaha dengan nada rendah. Padahal, kalau Bu Rere mau ngomel dengan nada tinggi seperti singa ya bisa saja.   “Ma … ma … maaf, Bu Rere,” tukas Tisya sembari menundukan kepalanya. “Iya, Bu. Maaf, habisnya Tisya biasanya ngejek saya, Bu …” terang Prabu kemudian. “Masalah itu bisa kita selesaikan di luar topik ini ya. Sekarang, kita menjalankan ide yang dikasih Tisya, kalian semua setuju, kan?” Bu Rere lebih menekankan pada Andin dan Prabu. Mereka bertiga mengangguk bersamaan membuat Bu Rere tersenyum karena Andin, Tisya, dan Prabu cukup kompak. “Siapa diantara kalian yang mengenal Reno?” tanya Bu Rere. Dengan cepat ketiga orang yang ada di hadapan Bu Rere itu mengangkat tangan kanannya. “Baguslah, sudah seharusnya anggota pers mahasiswa kampus mengenal narasumber-narasumber lebih dini sebelum diwawancarai,” kata Bu Rere. “Baik, jadi kalia bertiga—“ “Mewawancarai Reno?” balas Andin, Tisya, dan Prabu bersamaan. Bu Rere menepok jidatnya, bisa-bisanya di suasana genting seperti ini, trio macan yang ada di depannya itu membuat perut Bu Rere tergelitik. “Ya Tuhan, ada ada saja kalian ini. Bisa gak sih ngomong yang bener dan gak bikin saya ketawa-ketiwi kayak gini?” Bu Rere mengelus perutnya yang keram karena tertawa itu. “Hehehe, iya deh Bu, sekali lagi maaf. Kita bertiga bakal dengeri arahan dan perintah dari Bu Rere dengan baik dan benar. Gimana, Bu Rere? Apakah yang harus saya, Andin, dan Prabu lakukan demi terjalannya misi berharga kita?” tanya Tisya yang kali ini beneran serius, loh ya. “Oke, berhubung kalian kenal semua dengan Reno, saya akan memilih satu diantara kalian untuk mewawancarai Reno. Dan saya berharapnya sih tiga diantara kalian yang sering komunikasi dan kenal banget sama Reno. Kira-kira, siapa?” jelas Bu Rere yang mulai memberi perintah pada ketiganya. Andin dan Tisya spontan saja menunjuk ke arah Prabu. Prabu mangut-mangut dan tidak menepis apapun ketika ditunjuk oleh Tisya dan Andin. “Prabu, apa kamu benar-benar mengenal dekat soal Reno?” tanya Bu Rere mengonfirmasi. Prabu menganggukan kepalanya lagi, “Benar, Bu. Reno itu kakak tingkat saya di satu komunitas sepak bola dan bulu tangkis. Intensitas sama dan Reno bertemu itu empat sampai lima hari dalam seminggu, apalagi kalau mau ada perlombaan,” jawab Prabu yang memang mempunyai kedekatan pada Reno. Bu Rere pun makin yakin kalau Prabu lah yang bisa ditugaskan untuk mencari informasi lewat Reno. “Sip, sepertinya pilihan yang tepat bagi saya untuk memilih kamu. Jadi, kamu saya tugaskan untuk mencari tahu apa yang terjadi saat itu pada Reno, kenapa dia sampai dipanggil oleh Bu Fatma. Mengerti, kan?” Bu Rere mulai mengemukakan arahannya. “Mengerti sih Bu, tapi … kedekatan aku dan Reno itu hanya ketika aku semester satu. Berarti sudah satu semester ini aku tidak banyak bertemu Reno. Maklum, tahun ini adalah tahun terakhir Reno untuk kuliah,” terang Prabu lagi. “Tidak masalah, biasanya kalau laki-laki itu mau berapa lama tidak bertemu pun tetap akrab kok. Laki-laki pasti tahu lah gimana caranya membangun chemistry kembali ketika lama tak jumpa. Kamu pasti bisa kok, Prab!” Bu Rere mempercayai Prabu dan menepuk-nepuk pundak Prabu. “Oke deh, kalau gitu nanti malam aku mau latihan sepak bola saja. Biasanya sih Reno bakal datang kalau hari Jumat gini,” tukas Prabu yang sudah merencanakan aksinya. “Nah, itu ide bagus, Prab! Cepat juga kamu berpikirnya, hehehe,” tegas Bu Rere.  Prabu pun kesemsem karena pertama kalinya dipuji oleh Bu Rere.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN