Akhir pekan telah tiba. Seperti janji mereka beberapa hari yang lalu, Nara dan Mingyu kini sudah ada di mall, berkencan. Mereka hendak menonton film yang akhir-akhir ini sedang banyak ditonton oleh masyarakat. Namun, karena filmnya masih akan diputar agak menjelang sore nanti, mereka pun memutuskan untuk bermain di wahana permainan. Mereka melakukan banyak hal di sana, seperti bermain basket, berkaraoke, berfoto di photo box, dan lain sebagainya. Intinya, mereka banyak bersenang-senang siang itu.
Karena lelah, Nara mengajak Mingyu pergi ke food court untuk membeli makanan dan minuman. Nara memesan spaghetti, sementara Mingyu memesan burger.
"Enak tidak?" tanya Mingyu sambil menikmati burger-nya.
Nara mengangguk dan menyunggingkan senyum manisnya.
Mingyu ikut tersenyum dan mengacak pelan surai Nara, membuat senyum manis gadis itu berubah menjadi senyum sipu.
Setelah makan, Nara dan Mingyu memutuskan untuk kembali berjalan-jalan sambil makan es krim. Mereka saling menyuapi dan tertawa pada satu sama lain. Tingkah laku mereka yang manis tampak seperti sepasang kekasih.
"Aduh!" Nara memekik cukup kencang saat ada seseorang yang tak sengaja menabraknya hingga menyebabkan es krim yang sedang ia suapkan pada Mingyu jatuh mengotori jaket pemuda itu.
Nara mengeluarkan tissue dari tasnya lalu membersihkan noda es krim di jaket Mingyu. "Maaf, Mingyu aku tidak—“
"Tidak apa-apa, Nara. Sini, aku saja yang membersihkannya di toilet. Kau tunggu saja di sini."
Mingyu mengambil alih tissue dari tangan Nara dan mencoba membersihkan jaketnya sendiri. Ia tersenyum singkat sambil berlalu ke toilet.
Nara menoleh pada pelaku penabrakannya dengan wajah kesal. Gadis itu lantas mengejar seorang pemuda tinggi berbahu lebar yang berjalan dengan terburu-buru. Ia harus menagih permintaan maaf dari pemuda yang memakai topi dan kaos ketat lengan panjang itu.
"Hei, Tuan!" Nara menarik lengan pria itu sedikit kasar. Namun, raut kesalnya seketika berubah menjadi keterkejutan luar biasa saat pemuda itu berbalik.
"Ada apa?" tanya pemuda itu dengan sedikit nada datar yang terselip dalam setiap silabel yang ia lontarkan.
Nara membeku di tempatnya. Bahkan untuk sekedar menarik napas saja ia seolah tak mampu. Eksistensi pemuda di depannya membuat setiap persendian Nara lumpuh.
Oh Sehun, batin Nara tak percaya. Ya, Nara yakin pemuda itu adalah Oh Sehun, pemuda yang dulu pernah menyelamatkan nyawanya. Pemuda yang dulu sempat ia kagumi setengah mati kemudian membuatnya muak hanya dalam waktu singkat. Kacamata yang kini menghiasi wajah rupawan pemuda itu tidak lantas membuat Nara lupa pada sosoknya.
Penampilan Sehun kini memang sudah tampak berbeda dari segi wajah dan postur. Pengaruh usia, sepertinya. Tapi Nara masih ingat dengan jelas pada sosok itu. Ia ingat wajah malaikat dan raut seolah tak berdosa yang tampak jelas pada pemuda itu.
Sehun menatap Nara yang terdiam dengan tatapan heran. Ia menjentikkan jarinya di depan wajah gadis itu, membuat Nara akhirnya tersadar.
Sehun mendengus sedikit kasar. "Maaf, tapi kenapa kau memanggilku?"
Nara masih tampak terkejut untuk beberapa saat. Namun keterkejutan itu tak bertahan lama. Ia berdeham pelan kemudian memasang wajah kesalnya yang tadi sempat hilang.
"Sepertinya kau terburu-buru sekali, ya hingga tak sadar telah menabrak seseorang?" sindir Nara dengan nada sinis.
Sehun mengerutkan dahi tak mengerti. "Kau bicara apa? Apa aku menabrakmu tadi?"
Nara mendengus keras. "Ya, kau menabrakku hingga es krimku jatuh mengenai pakaian temanku!"
Sehun mengernyitkan dahi semakin dalam. Tak lama setelah itu, ia tertawa.
Giliran Nara yang mengernyit melihat tawa pemuda itu. Apanya yang lucu? batin Nara sedikit kesal.
"Jadi kau mengejarku hanya karena itu? Astaga!" Sehun menggeleng tak percaya. Ia kembali tertawa, tapi tidak lama. Setelah puas, ia menatap Nara dengan tatapan datarnya. "Kau membuang-buang waktuku."
Sehun berbalik dan berjalan cepat lagi. Nara melongo tak percaya melihat reaksi pemuda itu. Dengan sedikit geram, ia kembali mengejar Sehun dan merampas sebuah goodie bag yang dibawa oleh pemuda itu. Sehun menatap Nara terkejut dan marah.
"Hei!"
"Minta maaf dulu padaku dan temanku baru aku akan mengembalikan ini padamu!"
Sehun melongo mendengar permintaan Nara. Seketika ia tergelak dan menatap Nara sebal. "Kau pikir kau siapa? Berani-beraninya memerintahku. Kembalikan!"
Sehun mencoba merampas kembali goodie bag miliknya dari tangan Nara. Namun, Nara berhasil mengelak.
Nara menggeleng keras. "Tidak akan sampai kau meminta maaf pada kami."
"Tapi aku tidak merasa telah menabrakmu. Lagi pula es krimmu, kan yang mengenai baju temanmu? Jadi kau yang harusnya minta maaf padanya, bukan aku."
"Kau yang menabrakku hingga es krimku terjatuh. Jadi kau yang harusnya meminta maaf padanya dan juga padaku."
Sehun menggeram. Ia tampaknya sudah muak pada gadis di hadapannya. "Dasar anak kecil!"
Nara melongo mendengar ucapan Sehun.
"Enak saja! Aku bukan anak kecil. Aku—“
Cup!
Satu ciuman kecil mendarat dengan begitu mulusnya di pipi Nara, membuat gadis itu langsung melotot terkejut dan terdiam di tempatnya. Tubuh Nara membeku mendapat ciuman dari Sehun. Bahkan jantungnya berdetak kencang tanpa ia sadari.
Sehun menyeringai lalu dengan santai merampas goodie bag miliknya dari tangan Nara.
"Coba sejak tadi saja, ya aku menciummu?" cibir Sehun sambil menatap Nara sengit.
Nara tersadar kemudian melayangkan tatapan marahnya pada pemuda di hadapannya. Ia meraih tas selempangnya kemudian menggunakannya untuk memukuli Sehun. Sehun memekik kesakitan karenanya.
"Rasakan ini! Dasar c***l!" umpat Nara pada Sehun.
"Hei, dasar gadis gila! Berhenti memukuliku!" Sehun berusaha berkilah. Namun, Nara tak gentar. Gadis itu tetap memukuli Sehun sekuat tenaga.
"Tidak sebelum kau mati, Oh Sehun!"
Di tengah usahanya menghindari pukulan Nara, Sehun mengernyitkan dahi heran. Ia tidak menyangka bahwa Nara mengetahui namanya. Siapa gadis ini sebenarnya?
"Nara!"
Suara Mingyu terdengar memanggil. Seketika Nara menghentikan pukulannya. Mingyu menarik Nara menjauh dari Sehun.
Lagi-lagi, Sehun tampak mengernyit heran. Nara? Gadis di hadapannya itu bernama Nara? Mungkinkah dia ....
"Ada apa ini, Nara?" Mingyu bertanya lembut.
Sambil mengatur napasnya Nara menjawab, "Dia bersikap kurang ajar padaku."
"Hei, kau yang sejak tadi bersikap tidak sopan padaku! Tadi aku hanya memberimu sedikit pelajaran—“
"Pelajaran apa, hah?! Kau yang harusnya kuberi pelajaran karena tidak mau meminta maaf pada kami."
"Aku minta maaf, puas?!"
Nara dan Sehun saling terdiam sambil menatap kesal pada satu sama lain. Tatapan yang mereka lancarkan pada sang lawan adalah jenis tatapan membunuh.
Mingyu segera mencairkan suasana tegang di antara mereka dengan menenangkan Nara. "Nara, sudahlah! Aku tidak apa-apa. Kita pergi saja, ya? Filmnya sudah akan dimulai."
Nara hendak memprotes. "Tapi Mingyu-"
Mingyu menggeleng. Nara pun terbungkam. Wajahnya ditekuk sempurna.
Kemudian, Mingyu beralih pada Sehun. Ia mengangguk sopan pada pemuda itu kemudian berujar, "Maafkan kami, Tuan. Kami sudah tidak apa-apa. Karena kami ada acara, jadi kami permisi dulu."
Sehun tidak membalas perkataan Mingyu. Wajahnya tampak datar.
Lantas, Mingyu menarik Nara agar pergi dari hadapan Sehun. Nara awalnya sedikit menolak, tapi Mingyu terus memaksanya. Alhasil, Nara pun menurut. Ia pikir akan lebih baik jika ia pergi saja daripada harus berlama-lama di hadapan Sehun, bukan?
Setelah Nara dan Mingyu pergi, Sehun masih betah berdiri di tempatnya kini. Ia terus mengamati punggung Nara yang menjauh sambil terus berpikir dan mengingat-ingat. Apakah ia pernah bertemu dengan gadis itu? Kenapa gadis itu sedikit familiar baginya?
Nama dan wajah gadis itu membuatnya harus memutar otak.
"Ah, masa bodoh!" Sehun mendengus dan hendak melangkahkan kakinya pergi. Oh, ia sudah terlambat untuk kencannya dengan Sora saat ini.
Namun saat berbalik, ia tak sengaja menginjak sesuatu. Sehun mengernyit saat mendapati sebuah gantungan kunci berbentuk kelinci di bawah sepatunya. Sehun membungkuk dan mengambil gantungan kunci itu.
"Apa ini milik gadis itu?" Sehun bertanya-tanya. Sekali lagi ia menatap arah perginya gadis aneh bernama Nara dan teman lelakinya itu.
Perlahan, ingatan Sehun menjadi jelas.
*****
Nara masih saja cemberut saat berada di dalam bioskop. Ia masih kesal pada Sehun. Nara menyesali keputusannya mengejar pemuda itu tadi. Andai saja ia dapat mengontrol emosinya, maka ia tak perlu bertatap muka lagi dengan pemuda menyebalkan itu. Padahal dulu ia sudah berdo'a agar tidak dipertemukan lagi dengan Sehun, tapi kini justru ia sendiri yang datang untuk bertatap muka lagi dengannya. Sial!
Nara terkesiap pelan saat Mingyu mencubit pelan pipinya. Nara menoleh dan balas mencubit lengan Mingyu, membuat pemuda itu meringis kecil sambil terkekeh pelan.
"Sudah, jangan pikirkan orang itu lagi! Nanti yang ada kau hanya akan merasa kesal. Lebih baik, kita nikmati saja filmnya yang sebentar lagi akan dimulai."
Nara tersenyum lebar lantas mengangguk setuju.
Setelah hampir dua jam menonton, filmnya pun usai. Karena hari mulai gelap, Mingyu pun memutuskan untuk mengantar Nara pulang. Namun, di tengah perjalanan tiba-tiba turun hujan. Mingyu dan Nara pun berteduh di halte terdekat.
"Tidak apa-apa jika kita berteduh dulu?" tanya Mingyu sedikit khawatir. Ia khawatir hujannya akan berlangsung lama sehingga nanti mereka akan pulang terlambat.
Nara tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa. Lebih baik kita kita berteduh dulu daripada kehujanan lalu sakit, bukan?"
Mingyu mengangguk mengiyakan.
"Terima kasih untuk hari ini," ujar Nara pelan.
Mingyu menoleh dan tersenyum sebagai jawaban. "Seharusnya aku yang berterima kasih padamu. Aku kan yang mengajakmu pergi."
Nara tersenyum kemudian menunduk malu-malu.
Angin malam berhembus sedikit kencang. Hujan membuat angin yang berhembus menjadi semakin dingin. Nara mengeratkan lengan ke sekeliling tubuhnya demi menghangatkan tubuh. Diam-diam, ia sedikit merutuk dalam hati karena memakai baju yang dipakainya kini pada saat yang sangat tidak tepat.
Tiba-tiba tubuh Nara merasa hangat saat Mingyu memakaikan jaketnya pada dirinya. Ia terkejut.
"Aku tidak apa-apa, Mingyu. Lebih baik kau saja yang—“
"Kau saja yang memakainya, Nara. Aku laki-laki, aku kuat. Kulitku lebih tebal dari kulitmu, jadi aku pasti akan lebih tahan dengan rasa dingin dibandingkan dirimu."
"Hm, kalau begitu terima kasih."
Mingyu hanya mengangguk.
Duarrr! Tiba-tiba petir menyambar.
"Aaaa!"
Nara memekik lalu beringsut memeluk Mingyu dengan begitu erat. Gadis itu gemetaran. Ia terisak dalam pelukan Mingyu. Mingyu kebingungan dengan reaksi Nara. Sepertinya gadis itu begitu takut pada petir.
"Nara, kau baik-baik saja? Kau takut petir?" Mingyu terdengar khawatir.
Pelan-pelan, Nara mengangguk. Dengan sesenggukkan ia menjawab, "Astraphobia. Ak-Aku fobia terhadap petir. Aku mengalaminya sejak kecelakaan yang menimpa aku dan ayahku sehingga menyebabkan ayahku meninggal tujuh tahun yang lalu."
Mingyu tampak terkejut dengan fakta yang Nara beberkan padanya. Ia tidak menyangka bahwa gadis yang terkenal tangguh seperti Nara mempunyai fobia semacam itu. Gadis yang sedang memeluknya itu tampak begitu rapuh. Mingyu mengeratkan pelukannya pada Nara. Ia mengusap punggung Nara, menenangkan.
"Sst, tenanglah Nara! Aku ada di sini untukmu. Kau tidak perlu takut."
Nara mengangguk dan semakin mengeratkan dekapannya.
"Nara, mungkin ini adalah waktu yang sangat tidak tepat. Tapi kurasa aku harus mengungkapnya sekarang padamu."
Perkataan Mingyu mau tak mau membuat Nara mendongakkan kepalanya. Ia menatap Mingyu dengan raut penasaran dan mata sembabnya.
"Apa yang ingin kau ungkapkan padaku?" Nara bertanya dengan suara sedikit bergetar karena takut.
Mingyu menatap Nara dalam saat berkata, "I love you. Would you be girlfriend?"
Nara tampak sedikit terkejut saat mendengar pernyataan cinta dari Mingyu itu. Namun, sudut bibirnya terangkat tinggi dan ia pun mengangguk.
Mingyu tersenyum lebar. Perlahan, kedua tangannya terangkat guna merangkum wajah Nara. Ia mengusap pipi Nara pelan lalu mendekatkan wajahnya. Nara memejamkan matanya saat napas Mingyu menerpa kulit wajahnya.
Saat kedua material basah itu bertemu, tak ada yang mereka lakukan kecuali memejamkan mata masing-masing dan menikmati sensasi menggelitik yang menyerang jantung dan perut mereka.
*****
Setelah hujan sepenuhnya reda, Nara dan Mingyu memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju rumah Nara. Kedua sejoli yang baru saja meresmikan hubungan mereka itu tak henti-hentinya menyunggingkan senyum bahagia di wajah mereka.
"Sudah sampai," ujar Mingyu sambil menghentikan laju motornya. Nara segera turun dari jok belakang motor itu.
"Terima kasih," ujar Nara sedikit malu-malu.
Mingyu terkekeh pelan sambil mengacak surai Nara, kebiasaan favoritnya pada kekasihnya itu. "Sudah berapa kali mau berterima kasih padaku, hm? Kau tidak perlu mengatakannya, Nara. Jangan berterima kasih terus padaku."
Nara hanya menyunggingkan senyum manis andalannya. Mingyu mencubit kedua belah pipinya, gemas.
"Astaga, kekasihku ini manis sekali!"
"Mingyu, sakit!"
Nara memukul tangan Mingyu. Mingyu terkekeh dan melapaskan tangannya dari pipi gadis itu.
"Ya sudah, sana masuk! Bibi mungkin saja sedang menunggumu."
Nara mengangguk. "Selamat malam!"
"Selamat malam, Nara! Sampai jumpa besok Senin di sekolah!"
Nara mengangguk.
Mingyu pun segera melajukan motornya menjauhi rumah Nara. Nara menatap punggung Mingyu yang menjauh dengan senyum manis terukir di wajahnya.
Setelah Mingyu tak tampak lagi, barulah Nara melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah. Ia sedikit mengernyit heran mendapati lampu rumahnya yang sudah padam. Apakah ibunya sedang tidak ada di rumah? Sebab, seingatnya tadi pagi Sora tidak bilang akan pergi. Belum lagi Bibi Jung memang sedang pulang kampung ke Busan. Jadi, bisa dipastikan keadaan rumahnya itu memang sepi.
Nara mulai memasukkan kode rumah dan masuk ke sana. Namun, baru saja melangkahkan kakinya hendak melewati ruang tamu, tiba-tiba ada sebuah suara menjijikkan yang membuatnya berhenti berjalan. Nara meneguk ludahnya dengan susah payah. Dengan langkah ragu dan pelan, ia mencoba memasuki ruang tamu yang temaram.
Suara-suara itu semakin terdengar keras, membuat Nara merinding seketika. Apalagi saat melihat sepasang manusia tengah bergumul mesra di atas sofa.
"Se ... Hun ...."
Deg!
Suara dan nama yang disebut itu ....
Dengan buru-buru Nara menyalakan saklar terdekat. Betapa terkejutnya ia saat mendapati sang ibu—yang nyaris topless— sedang ditindih oleh seseorang yang begitu ia kenal. Seseorang yang baru beberapa jam lalu ia temui secara tidak sengaja di mall—
"Na-Nara?!"
"Kau?!"
— Oh Sehun.