Kegelapan tak lagi menyapa. Sinar mentari mulai memasuki celah gorden yang rupanya sudah terbuka lebih dulu dalam sebuah kamar bernuansa biru. Nara masih setia berbaring di ranjangnya sambil memeluk sebuah bingkai foto yang menampilkan sosok rupawan sang ayah kandung, Kim Junmyeon. Jejak air mata menghiasi pipi pualamnya, menunjukkan bahwa ia habis menangis beberapa saat lalu.
Tidak perlu bertanya lagi semua orang juga pasti sudah tahu bagaimana perasaan gadis cantik bernama Kim Nara itu. Ia hancur. Ia begitu sedih. Rencana pernikahan yang sang ibu dan kekasihnya buat itu begitu melukai perasaannya.
Ya, usai terpergok melakukan hal tidak senonoh di ruang tamu rumahnya, Sora akhirnya mengakui Sehun sebagai calon suaminya dan itu membuat Nara sangat marah. Ia kecewa dan memilih untuk segera pergi dari sana tanpa perlu mendengarkan penjelasan sang ibu secara lebih lanjut.
Nara sudah berjanji pada dirinya sendiri jauh sebelum ini bahwa ia tidak akan pernah setuju jika sang ibu menikahi pria lain. Siapa pun orangnya, Nara tidak akan pernah mau. Ia tidak suka jika posisi mendiang ayahnya tergantikan oleh siapa pun. Sebaik apa pun pria itu tidak akan pernah bisa menggantikan sosok Junmyeon di mata dan juga hatinya. Apalagi jika kelakuan pria itu minus seperti Sehun. Ugh!
Katakanlah Nara egois, tapi memang begitulah keadaannya. Rasa sayangnya yang begitu besar pada sang ayah benar-benar membuatnya tidak rela melihat sang ibu bersanding dengan pria lain.
Ketukan di pintu membuat Nara sedikit tersentak dari lamunannya. Namun, gadis itu enggan beranjak dari posisinya dan memilih untuk tetap berdiam diri di atas ranjang empuk itu. Ia tidak perlu khawatir si pengetuk pintu kamarnya akan masuk tanpa dipersilakan. Toh ia sudah mengunci pintu kamarnya rapat-rapat, menandakan kalau ia memang sedang tidak ingin diganggu oleh siapa pun untuk saat ini.
"Sayang, tolong buka pintunya! Ibu ingin bicara." Nara mendengar suara Sora mengalun dari balik pintu. Sekali lagi, Nara ingin bersikap seolah tak peduli. Gadis itu menggeleng seraya memejamkan kedua matanya erat. Dekapannya pada foto sang ayah tercinta ia perkuat.
Lama tak mendengar sahutan sang putri tercinta membuat Sora kembali berujar, "Ibu tahu kau pasti marah dan kecewa pada Ibu sekarang. Tapi paling tidak keluarlah dari kamarmu untuk sarapan, Sayang. Ibu tidak ingin kau jatuh sakit."
Lagi-lagi tidak ada jawaban yang Nara lontarkan pada Sora, membuat wanita itu harus menelan rasa kecewa yang begitu besar. Namun tanpa Sora tahu sebenarnya Nara juga tidak tega mengabaikan ajakan tulus sang ibu. Mau bagaimana lagi? Ia masih sedih dan kecewa pada wanita yang selama tujuh belas tahun eksistensi hidupnya ia panggil dengan sebutan 'Ibu' itu. Jadi tak ada yang bisa ia lakukan selain diam sekarang.
"Baiklah kalau kau memang tidak mau sarapan sekarang. Ibu tidak akan memaksamu. Sepertinya akan lebih baik jika Ibu pergi dari sini dengan begitu kau akan merasa lebih tenang."
Kata-kata Sora yang terdengar begitu sedih membuat Nara terenyuh. Lapisan kaca bening kembali menghiasi netranya. Namun ia menahan lapisan kaca itu agar tidak berubah menjadi sungai air mata. Oh, ia benci sekali pada dirinya yang banyak menangis sejak semalam. Ia bukanlah sosok gadis yang banyak menangis sebelumnya. Terakhir kali ia menangis adalah saat pemakaman ayahnya. Selebihnya ia banyak diam jika sedang dilanda kesedihan yang begitu mendalam.
Suara Sora tak lagi terdengar setelah sekian lama, membuat Nara yakin kalau sang ibu sudah tidak lagi berada di depan pintu kamarnya.
Lantas Nara kembali menikmati kesendirian, kesedihan, serta kekecewaannya di dalam kamar itu seorang diri.
*****
"Aku tidak mau makan."
Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Nara begitu Jaehyun duduk di tepi ranjangnya. Gadis itu masih setia berbaring sembari memeluk bingkai foto Junmyeon. Posisinya sekarang membelakangi Jaehyun.
Tadinya Jaehyun datang untuk sekedar menjemput Nara untuk pergi main basket, tapi rupanya Sora meminta tolong padanya untuk sekalian membujuk gadis itu agar mau makan.
Jaehyun berdecak. "Hei, kita akan bermain basket! Tidak mungkin kau bermain dalam keadaan belum makan seperti ini. Ayo makan dulu!"
"Maafkan aku, sepertinya hari ini aku sedang tidak dalam mood yang baik untuk bermain basket."
Jaehyun hendak menimpali perkataan Nara, tapi urung ia lakukan. Ia bingung dengan perilaku sahabatnya. Sebenarnya apa yang membuat gadis itu bersikap seperti ini?
"Nara—"
Kata-kata Jaehyun terputus saat Nara menerjang tubuhnya dalam sebuah pelukan. Punggung Nara bergetar. Isakan terdengar jelas dari bibirnya. Jaehyun semakin dilanda kebingungan. Namun hal itu tak membuatnya ragu untuk membalas dekapan Nara lalu mengelus punggung gadis itu dan membisikkan kata-kata penenang di telinganya.
"I-Ibu punya kekasih baru dan berencana menikahinya, Jae."
Perlahan mata Jaehyun membulat terkejut. Oh, sebenarnya ia tidak terlalu terkejut mendengar berita itu karena ia sudah menduganya sejak beberapa hari yang lalu. Yang membuatnya lebih terkejut adalah fakta bahwa ibu dari sahabatnya itu akan menikah lagi.
"Kau sedih karena Bibi mau menikah lagi?" tanya Jaehyun pelan.
Nara menarik diri dengan sedikit kasar. Wajahnya mengeras di balik air mata yang membasahi pipinya. "Bukan hanya sedih, tapi aku marah. Aku tidak suka Ibu menikah lagi. Apalagi calon suaminya itu ...." Nara menggeleng tak suka.
"Kenapa dengan calon suami Bibi?" Jaehyun penasaran.
"Calon suami Ibu bukanlah orang yang baik. Sekalipun ia orang baik, aku juga tidak akan pernah setuju jika Ibu menikah lagi. Aku tidak ingin posisi Ayah tergantikan oleh siapa pun."
Jaehyun tersenyum maklum melihat sikap keras yang ditunjukkan oleh sang sahabat. Ya, ia mengerti sekali betapa Nara menyayangi mendiang ayahnya. Ia juga masih ingat dengan jelas bagaimana hancurnya Nara saat harus menerima kenyataan bahwa sang ayah telah tiada.
Sejujurnya Jaehyun juga merasa bahwa sikap Nara sedikit egois. Menurutnya, Sora juga pantas meraih kebahagiaannya kembali dengan menikah lagi. Namun saat mendengar bahwa salah satu alasan Nara tidak setuju dengan pernikahan itu adalah karena tabiat calon ayah tirinya yang buruk, Jaehyun tidak mampu lagi berkomentar dan memilih untuk diam.
"Sudah, jangan marah dan sedih lagi! Kau jelek sekali saat memasang wajah seperti itu," canda Jaehyun sambil mengulurkan tangannya menghapus air mata di pipi Nara.
Nara langsung cemberut dan memukul lengan Jaehyun sebal, membuat tawa Jaehyun seketika pecah.
"Ayo makan dan setelah itu kita main basket!" ajak Jaehyun dengan nada ceria. "Kita sudah janjian sejak beberapa hari yang lalu dan aku juga sudah ada di sini. Masa kau tega membuat kedatanganku di sini menjadi sia-sia?" Jaehyun mengerucutkan bibirnya, pura-pura marah.
Nara bergidik ngeri melihat ekspresi Jaehyun saat ini. Ia kembali melayangkan pukulan main-main ke lengan Jaehyun.
"Jangan memasang wajah seperti itu! Kau membuatku ingin muntah."
Jaehyun terkekeh. "Kalau begitu lakukan apa yang kusuruh! Kalau kau tidak mau melakukannya, aku akan kembali memasang wajah seperti tadi."
Ancaman Jaehyun rupanya berhasil sebab kini wajah Nara tampak waspada. Jaehyun terkekeh lagi sambil mengacak surai Nara pelan.
"Sana makan!"
Nara menekuk wajahnya lalu mengangguk lesu. "Aku akan makan. Tapi sekarang aku mau mandi dulu. Sejak tadi aku belum mandi—"
"Astaga, jadi kau belum mandi?! Pantas saja aku mencium bau yang tidak sedap sejak tadi. Rupanya itu kau?"
"Jung Jaehyun!"
Melihat Nara merajuk membuat Jaehyun kembali tertawa keras. "Aku bercanda, Nara. Sana cepat mandi! Aku akan menunggumu di ruang makan."
Nara mengangguk lalu turun dari ranjangnya. Tak lupa ia membenahi letak bingkai foto sang ayah tercinta di atas nakas lantas segera masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya.
Jaehyun menggeleng pelan sambil memperhatikan gerak-gerik sahabatnya itu. Lantas setelah Nara sudah tidak terlihat lagi batang hidungnya, ia pun keluar dari kamar itu dan pergi ke ruang makan.
*****
Suara tawa dan decitan sepatu itu terdengar dari sebuah lapangan basket yang terletak di tengah kompleks perumahan. Adegan kejar-kejaran dan saling merebut bola basket terjadi di antara kedua anak manusia berbeda gender itu.
"Jaehyun, aku lelah." Nara menyerah dan langsung jatuh terduduk di tempatnya. Dadanya naik turun karena lelah. Napasnya memburu.
Jaehyun yang berada beberapa meter di depannya kini menoleh. Ia tersenyum lalu berbalik menghampiri Nara. Sebelum menghampiri gadis itu, Jaehyun lebih dulu mengambil sebotol air minum yang telah ia siapkan sejak dari rumah. Lantas, ia memberikannya pada Nara yang tampak lelah.
"Terima kasih." Nara tersenyum sambil mengangsurkan botol minuman Jaehyun kepada sang empunya. Jaehyun menerimanya kemudian meneguk isinya.
"Bagaimana? Apa kau sudah merasa lebih baik sekarang?" Jaehyun bertanya.
Nara tersenyum tipis. "Lumayan. Terima kasih sudah menghiburku."
Jaehyun mengulurkan tangan untuk mengusak surai Nara. "Tidak perlu berterima kasih padaku. Aku sahabatmu. Apa pun akan aku lakukan untuk membuatmu tersenyum lagi."
Nara dan Jaehyun saling tersenyum manis setelah itu. Namun, Jaehyun segera memutuskan kontak mata dengan Nara lantaran jantungnya yang berdegup kencang.
"Omong-omong, bagaimana kencanmu dengan Mingyu kemarin?" tanya Jaehyun guna mengusir rasa gugup yang menggelayuti hatinya. Akan tetapi, sedetik kemudian ia sedikit menyesali pertanyaan yang terlontar dari bibirnya itu saat melihat rona merah yang muncul di pipi Nara ketika ia menoleh. Well, sepertinya ia akan mendapatkan berita buruk—atau mungkin berita baik bagi Nara tapi tidak bagi dirinya.
"Aku dan dia sudah resmi menjalin hubungan."
Saat Nara benar-benar membuat praduganya terbukti benar, Jaehyun hanya bisa menghela napas sedikit lesu. Tapi tidak lama, sebab kini senyum manis yang sebenarnya sedikit dipaksakan ia berikan sebagai respon atas ucapan Nara.
"Selamat kalau begitu!" Jaehyun merangkul bahu Nara erat. "Aku senang karena sekarang kau sudah memiliki seorang kekasih. Dengan begitu, aku bisa mengandalkan Mingyu untuk ikut andil dalam menjagamu."
Nara tersenyum lantas membalas rangkulan Jaehyun dengan sebuah pelukan dari samping. Tangan rampingnya melingkari perut Jaehyun, membuat pemuda itu harus sedikit menahan napas akibat rasa gugupnya.
"Terima kasih telah menjagaku selama ini, Jaehyun. Walau kini aku sudah memiliki seorang kekasih, bagiku kau tetap guardian angel-ku. Aku sayang sekali padamu. Kau bukan hanya seorang sahabat, melainkan juga seorang kakak bagiku."
Jaehyun tersenyum getir. Dadanya sesak mendengar kata-kata indah yang meluncur dari bibir ceri Nara. Ya, kata-kata Nara memang terdengar indah di telinga orang lain, tapi tidak di telinganya. Kendati sesak, ia akan mencoba menerima ungkapan hati sang sahabat sebagai ungkapan rasa sayang khusus untuknya.
Ya, Jaehyun tidak perlu menjadi kekasih Nara untuk menjadi orang spesial di hati sahabatnya itu. Sebab, Nara sendiri sudah menganggapnya sebagai orang yang begitu spesial dalam hidupnya.
Deringan ponsel milik Jaehyun menyapa rungu kedua insan yang masih saling mendekap tubuh satu sama lain itu. Mereka pun saling menjauh agar Jaehyun bisa menjawab panggilan.
"Iya, Bu?" sapa Jaehyun pada orang di ujung sambungan. Rupanya itu ibu Jaehyun yang menelepon.
"Hah?!" Jaehyun berseru kaget lalu memeriksa jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya. Helaan napas panjang seketika keluar dari mulutnya. Raut heran langsung menghiasi wajah Nara.
"Oke, aku akan segera ke sana, Bu."
Jaehyun pun mengakhiri panggilan. Ia menatap Nara dengan tatapan meminta maaf. "Sepertinya aku harus segera pergi. Ibu—"
"Bibi Jungah kenapa? Beliau baik-baik saja, kan?"
Jaehyun tersenyum menenangkan. "Ibuku baik-baik saja. Aku lupa kalau hari ini aku sudah janji akan menemaninya pergi ke acara temannya. Ibu sudah lama menungguku, jadi ...."
Giliran Nara yang tersenyum menenangkan. Ia menepuk bahu Jaehyun seraya berujar, "Tidak apa-apa, Jae. Kau pergi menemui Bibi saja. Nanti aku akan pulang sendiri."
Jaehyun menatap Nara sangsi. Agak sedikit curiga kalau-kalau gadis itu tidak pulang ke rumahnya, melainkan kabur entah kemana sepeninggalnya nanti. Walaupun sudah bisa tertawa lepas bersamanya tadi, Jaehyun tahu bahwa Nara masih merasa sedih dan marah pada sang ibu. Jaehyun takut Nara masih tidak ingin bertemu dengan Sora lalu melakukan hal-hal yang nekad.
"Aku tidak akan melakukan apa yang kau pikirkan, Jae. Aku masih waras," Nara bergumam datar.
Jaehyun gelagapan. "Iya, aku tahu. Pokoknya setelah aku pergi nanti kau harus segera pulang. Mengerti?"
Nara mengangguk patuh. Jaehyun mengulas senyum lega. "Aku pergi," pamitnya yang langsung diangguki oleh Nara.
Selepas kepergian Jaehyun, Nara menghembuskan napasnya lesu. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian kembali membukanya. Pandangannya berpendar. Gadis itu kembali bangkit dan mengambil bola basket yang tadinya menganggur. Ya, itu memang bola basket milik Jaehyun. Tetapi bola itu selalu Jaehyun titipkan padanya agar saat mereka bermain basket seperti tadi pemuda itu tidak repot membawanya.
Nara bermain basket sendirian. Ia masih belum berniat untuk pulang. Mungkin setengah sampai satu jam lagi, pikirnya. Ia masih belum siap bertemu dengan Sora. Gadis itu masih berusaha meredakan amarah dan kesedihannya pada sang ibu.
Nara melempar bolanya ke arah ring. Bukannya masuk, bola itu justru mengenai tepian ring dan memantul cukup keras. Alhasil bola itu terlempar jauh dari tempat Nara berada kini. Sambil setengah menggerutu, Nara beranjak mengambil bola itu. Akan tetapi, Nara langsung berhenti berjalan saat ia sudah berada dekat dengan tempat bola itu jatuh. Matanya membulat saat mendapati sosok yang paling ia benci saat ini tengah berdiri angkuh di depannya sambil memegang bola yang ia cari. Dengusan kasar Nara berikan sebelum ia berbalik.
"Kenapa kau begitu membenciku?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulut Sehun, membuat Nara urung melangkahkan kaki.
Derap langkah pelan yang berasal dari belakang tubuhnya membuat Nara yakin bahwa saat ini Sehun sedang mendekatinya. Pemuda itu kini berdiri di depannya.
"Kenapa kau begitu membenciku, Kim Nara? Apa salahku padamu?" ulang Sehun tapi dengan penuh penekanan. Tatapannya yang setajam elang ia hunuskan pada gadis yang berdiri di hadapannya itu.
Semalam saat Sora menjelaskan perihal status Sehun pada Nara, gadis itu bilang benci padanya. Itu sebabnya Sehun bertanya begitu.
Nara mendengus. Tanpa ragu ia membalas tatapan Sehun dengan sama tajamnya. "Sama seperti seseorang yang mencintai orang lain tanpa alasan, aku juga tidak punya alasan khusus yang membuatku membencimu."
"Apa ini karena kejadian kemarin? Kalau begitu aku minta maaf padamu. Jika benar kejadian di mall kemarin yang membuatmu menilai diriku sebagai orang b******k hingga membuatmu membenci diriku, maka kumohon maafkan aku. Aku sungguh hanya ingin—"
"Jauh sebelum itu aku memang sudah antipati padamu, Oh Sehun. Dan kini setelah kau dan ibuku mendeklarasikan hubungan kalian, aku jadi semakin membencimu. Kau b******k dan kau sama sekali tidak pantas menggantikan posisi ayahku."
Sehun memicing. Sesungguhnya ia merasa geram dan tersinggung sekarang, tapi deretan kalimat yang dilontarkan Nara lebih membuatnya penasaran alih-alih marah. "Tolong jelaskan padaku, kenapa kau bisa berkata seperti itu? Apa aku pernah melakukan sesuatu yang salah di matamu—Tidak! Apa kita pernah bertemu jauh sebelum ini?"
Pertanyaan Sehun kali ini membuat air muka Nara langsung berubah. Nara bergerak gelisah. Gelagat gadis itu sungguh mencurigakan, membuat Sehun menaikkan sebelah alisnya. Lantas, pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya dan mengacungkannya di depan wajah Nara.
"I-Itu ...." Nara mengerjap kaget mendapati gantungan kunci miliknya ada pada Sehun. Sehun hanya tersenyum miring melihat keterkejutan Nara.
"Ini benar milikmu, kan? Kemarin jatuh saat di mall."
Nara hendak menyambar gantungan kunci itu dari tangan Sehun, tapi Sehun kembali menarik tangannya dan membuat gadis itu mendelik tak terima.
"Jawab dulu pertanyaanku, Nara! Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"
Nara menghela napas kasar sambil menyugar rambutnya. Tampak begitu kesal pada pemuda di hadapannya. "Apa pentingnya hal itu bagimu?"
"Aku ingat dulu aku pernah menyelamatkan nyawa seorang murid sekolah dasar yang hampir saja tertabrak mobil karena gantungan kunci berbentuk kelinci ini. Kalau anak itu adalah kau, harusnya kau menunjukkan sikap yang baik padaku, bukannya bersikap sebaliknya dengan membenciku karena dulu aku sudah menolongmu."
Nara tergelak sinis. Ia menatap Sehun dengan tatapan yang terkesan mencemooh. "Hm, jadi kau adalah tipe orang yang suka mengingat-ingat kebaikan diri sendiri, ya? Seharusnya kalau kau memang orang baik, kau tidak lantas mengingat-ingat kebaikanmu lalu meminta balas budi, Oh Sehun."
Sehun balas tersenyum sinis. "Kau bahkan tahu namaku sebelum aku sempat memperkenalkan diri. Aku semakin yakin kalau kau pasti tahu banyak tentang diriku. Benar begitu?"
Dengan geram Nara menjawab, "Ya, aku memang anak itu. Aku sudah mengenalmu jauh sebelum kejadian di mall kemarin dan aku tahu semua kebusukanmu. Sejak aku tahu betapa brengseknya dirimu, aku jadi membencimu." Nara mengakhiri kalimatnya dengan d**a yang naik turun karena emosi. "Puas kau? Sekarang kembalikan gantungan kunciku!"
Nara hendak menjangkau kembali tangan Sehun yang memegang gantungan kunci miliknya. Namun Sehun dengan sigap menghindar, membuat Nara kembali menggerutu kesal.
"Akan kukembalikan jika kau mau menyetujui pernikahanku dan ibumu."
Nara melongo tak percaya mendengar syarat yang Sehun ajukan. Sungguh, sepertinya pemuda di hadapannya itu sudah tidak waras. Akan tetapi, gantungan kunci itu sangat berharga baginya, tapi ia juga tidak mungkin menerima syarat Sehun begitu saja sekalipun ia menginginkan gantungan kunci itu agar kembali padanya.
Tidak! Ia tidak boleh masuk ke dalam jebakan yang Sehun buat. Pemuda itu memang hobi mengambil kesempatan dalam kesempitan, jadi Nara tidak boleh kalah.
"Dalam mimpimu!" Nara mendesis tak terima lalu berusaha mengambil gantungan kunci miliknya. Sehun lagi-lagi berhasil menghindar. Adegan yang terjadi saat di mall kembali terulang. Bedanya, kini mereka bertukar posisi.
Lelah dengan situasi yang terjadi antara dirinya dan Nara, Sehun refleks membuang gantungan kunci itu ke jalanan, membuat Nara mendelik tak percaya.
"Oh Sehun!" pekik Nara sambil menatap Sehun tak terima. Gadis itu mendorong d**a Sehun kasar. "Apa-apan kau ini?! Dasar b******k! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menyetujui pernikahanmu dengan ibuku. Camkan itu!"
Sehun hanya diam saat Nara memaki dan menunjuk-nunjuk wajahnya. Sungguh, ia lelah menghadapi Nara yang kini berlari ke jalan demi mengambil gantungan kunci miliknya. Masa bodoh dengannya, batinnya jengkel.
Sehun hendak berbalik, tapi mata elangnya menangkap sesuatu yang sedang melaju kencang ke arah Nara yang kini sedang membungkuk mengambil apa yang ia cari. Seketika matanya membulat dan ia pun refleks berlari ke arah gadis itu.
"Kim Nara, awas!"
Nara yang merasa terpanggil langsung membalik badan. Ia mengernyit heran mendapati Sehun yang kini sedang berlari ke arahnya. Ia baru akan menjawab saat tiba-tiba telinganya menangkap suara klakson. Nara menoleh ke asal suara itu lalu membelalak terkejut.
Sebuah dorongan yang kuat menyapa tubuh Nara, membuatnya tersungkur ke tepi jalan. Lengannya bergesekkan dengan aspal dan mengucurkan darah segar.
Namun, ada satu hal yang membuatnya terkejut dan langsung berteriak, "Oh Sehun!"
Tubuh Sehun tertabrak mobil dan kini jatuh terpelanting di atas kerasnya aspal.