Suara decitan sepatu yang beradu dengan lantai ruang olahraga SMA Hannam itu terdengar begitu jelas bahkan hingga radius beberapa meter dari ruangan tersebut. Siang ini ada sebuah pertandingan satu lawan satu antara Jung Jaehyun dan Kim Mingyu, dua punggawa tim basket sekolah elit itu. Mereka bertanding bukan tanpa alasan. Mereka bertanding demi seorang gadis.
Kim Nara.
Nara bukanlah sosok gadis paling diincar di sekolah. Dia bukan seorang queenka yang biasa diperebutkan oleh para murid lelaki. Nara hanyalah seorang murid biasa yang mudah bergaul dengan siapa saja. Sifatnya yang tomboy dan periang membuat semua orang nyaman dengannya. Nara cukup populer, tentu saja. Tapi itu bukan alasan yang cukup untuk membuat dirinya diperebutkan oleh murid-murid tampan seperti Jaehyun dan Mingyu.
Lantas, untuk apa kedua murid paling diincar di sekolah itu rela bertanding demi dirinya? Well, mereka punya alasan masing-masing.
Jaehyun menantang Mingyu untuk bertanding karena pemuda itu hendak mendekati Nara. Bukannya apa-apa, Jaehyun hanya ingin mengetes Ace tim basketnya itu perihal keseriusannya dalam mendekati sang sahabat. Nara belum pernah berkencan dan memiliki kekasih sebelumnya, ia khawatir jika Mingyu hanya ingin main-main dengan sahabatnya. Apalagi, Mingyu juga terkenal sering bergonta-ganti pasangan.
Peluit panjang berbunyi, menandakan pertandingan itu sudah berakhir. Sorak-sorai para murid yang menonton pertandingan itu pun menggema, terutama teriakan dari para pendukung Mingyu. Mingyu melempar asal-asalan bola yang sedang dipegang olehnya sambil bersorak girang. Poinnya dan poin yang didapat oleh Jaehyun hanya berbeda tipis, tapi ialah yang berhasil memenangkan pertandingan.
Jaehyun mengumpat dalam hati. Wajahnya menunjukkan kekecewaan yang tidak ia tutup-tutupi. Sebenarnya ia tidak rela jika Mingyu mendekati Nara. Bukan hanya karena takut Mingyu berniat main-main dengan sang sahabat, melainkan juga karena ia cemburu. Ya, Jaehyun menyukai Nara dan ia tidak sanggup membayangkan jika gadis itu menjalin kasih dengan orang lain.
Dengan senyum yang mengembang di bibirnya, Mingyu mendekati dan merangkul akrab bahu Jaehyun. "Jadi, bagaimana? Kau mengizinkanku untuk mendekati Nara, kan?"
Jaehyun melayangkan tatapan curiga pada salah satu teman dekatnya itu. "Kau serius dengan perasaanmu?" tanyanya.
Mingyu menghela napas lelah. "Apa perlu kubuktikan lagi bahwa aku memang menyukainya? Ayolah, Jaehyun! Percayalah padaku! Aku tidak main-main dengan perasaanku ini, oke? Aku benar-benar menyukai Nara."
Jaehyun masih menatap Mingyu sangsi.
Lagi-lagi Mingyu menghembuskan napas lelahnya. Ia menepuk bahu Jaehyun cukup keras dan meremasnya. Ia berujar, "Percayalah padaku, Jung Jaehyun! Kalau aku tidak serius dengan perasaanku, untuk apa aku meminta izin darimu yang notabene nya adalah sahabat Nara? Bisa saja aku langsung mendekatinya dan menyatakan perasaanku padanya, bukan? Aku lebih dulu meminta izinmu karena aku tahu kau selalu menjaganya dengan baik. Aku hanya ingin menghormatimu. Aku ingin kau tahu bahwa aku memang benar mendekatinya karena aku menyukainya, bukannya untuk sekedar main-main."
Jaehyun sibuk berpikir. Ya, kalau dipikir-pikir ini pertama kalinya Mingyu harus meminta izin terlebih dahulu untuk mendekati seorang gadis. Sebelum-sebelumnya, pemuda itu selalu mendekati dan mencampakan seseorang sesuka hatinya. Kalau Mingyu hanya ingin mencampakkan Nara di kemudian hari, untuk apa pemuda itu harus repot-repot meminta izin serta menerima tantangan darinya? Tidak masuk akal sama sekali, bukan?
Jaehyun menghembuskan napasnya pelan. Dengan sedikit tak rela, ia mengangguk. "Karena aku sudah berjanji sebelumnya, maka ya, aku mengizinkanmu mendekati Nara. Tapi ingat! Jika kau membuatnya menangis, maka bersiaplah tulang-tulangmu itu kuremukkan. Kau mengerti?"
Mingyu kembali bersorak kemudian memeluk Jaehyun singkat. Wajahnya tampak begitu gembira.
"Terima kasih, Bro! Kau memang kapten terbaik tim kita!" Mingyu mengacungkan ibu jarinya.
Jaehyun mendengus dan hanya mengangguk singkat. Sungguh, sebenarnya ia masih setengah hati mengizinkan Mingyu mendekati Nara. Namun, bagaimana lagi? Sebab ia sendiri telah berjanji sebelumnya. Lelaki sejati adalah lelaki yang menepati janjinya, bukan?
"Kalau begitu, aku pergi menemui Nara dulu. Sampai nanti, Kapten!"
Dengan wajah berbinar, Mingyu berlari meninggalkan ruang olahraga. Jaehyun hanya mampu menatap punggung Mingyu yang menjauh dengan tatapan sendu. Tak lama setelah itu, bahunya merosot lesu.
*****
Nara dan Yeri berjalan santai ke kelas mereka. Sesekali kedua sahabat itu tampak tertawa dan saling memukul satu sama lain dengan gerakan main-main. Mereka sudah berada di ambang pintu kelas saat tiba-tiba Mingyu muncul dan menepuk lembut bahu Nara.
Nara menoleh dan tersenyum manis pada pemuda itu. "Kenapa, Mingyu?" tanyanya dengan senyum manis yang menghiasi wajah cantiknya.
"Eh, aku masuk dulu, ya?" pamit Yeri yang seolah mengerti dengan tujuan kedatangan Mingyu di tengah-tengah mereka. Sedikit banyak telah mendengar kabar soal kemenangan pemuda itu atas Jaehyun.
Nara dan Mingyu sama-sama menoleh pada Yeri dan mengangguk pada gadis bertubuh mungil itu. Setelah Yeri sudah sepenuhnya masuk kelas, atensi Nara dan Mingyu sama-sama beralih pada satu sama lain.
"Jadi, ada apa?" tanya Nara kemudian.
Mingyu menggaruk tengkuknya gugup sebelum bertanya, "Akhir pekan nanti kau ada agenda tidak?"
Nara mengernyit untuk beberapa saat, mungkin sedikit bingung dengan maksud pertanyaan itu. Namun, ia tidak mengatakan apa pun mengenai rasa herannya dan mencoba mengingat-ingat.
"Sepertinya tidak ada. Kenapa?"
Senyum lebar menghiasai wajah tampan Mingyu. "Kalau begitu, kau mau tidak pergi berdua denganku?"
Nara membulatkan mata terkejut. "Maksudmu, kau ingin ... mengajakku berkencan?"
Rona merah langsung menghiasi kedua pipi Mingyu. Gerak-geriknya menunjukkan kalau ia sedang gugup saat ini. "Ah, itu ...."
"Aku mau."
Jawaban Nara yang terlontar dengan begitu santainya membuat Mingyu melotot tak percaya. Sepertinya pemuda itu tak menyangka jika respon Nara akan secepat dan sebaik ini padanya. "Serius?"
Nara mengangguk. "Tentu saja! Untuk apa aku bercanda?"
Mingyu menahan diri untuk tidak bersorak girang saat ini.
"Oke, aku jemput akhir pekan ini jam sembilan pagi, ya?"
Nara mengangguk. "Jangan terlambat, oke?"
Mingyu terkekeh dan mengacak gemas surai Nara. "Tentu saja!"
Sejenak, Nara tampak membeku mendapat perlakuan manis dari Mingyu itu. Debaran jantungnya begitu terasa hingga ia merasa sepertinya jantungnya hampir copot. Nara merona, tapi enggan menyembunyikannya.
Bel masuk berdering, pertanda sesi terakhir dari kegiatan belajar-mengajar di sekolah itu akan segera dimulai. Mingyu pun pamit undur diri hendak masuk ke kelasnya sendiri.
"Sampai jumpa akhir pekan nanti!" Mingyu berujar sambil beranjak ke kelasnya.
Nara merespon dengan senyuman. Padahal sejak tadi yang ia lakukan hanyalah sibuk meredakan debaran jantungnya yang menggila.
Tanpa Nara tahu, sejak tadi Jaehyun melihat dari jauh percakapan dua insan yang sedang dilanda kasmaran itu. Benar, tak hanya Mingyu yang menyukai Nara, gadis itu juga mempunyai perasaan yang sama sepertinya. Jaehyun mengetahuinya, maka dari itu kekhawatirannya terhadap hubungan mereka nanti terasa semakin nyata. Namun, melihat rona bahagia di wajah Nara membuatnya berusaha lupa akan semua keraguannya terhadap Mingyu serta rasa cemburunya.
Kalau Nara bahagia, aku bisa apa? batin Jaehyun pasrah pada kuasa takdir.
*****
Sore ini suasana kafe itu sedang lumayan ramai. Seorang wanita berpakaian cukup sederhana tapi terlihat modis itu duduk di salah satu meja favoritnya di kafe tersebut. Netranya tertuju pada jalanan yang terpampang jelas dari tempatnya duduk kini. Tampaknya ia bosan karena menunggu seseorang.
"Hai, Sayang!"
Sapaan dari suara maskulin itu membuat sang wanita menoleh ke sumber suara. Namun, ia dibuat terkejut saat mendapat sebuah ciuman singkat di pipi. Seketika, ia menatap sang pelaku dengan tatapan tajamnya. Rautnya merengut tak terima.
"Sehun! Kukira kau lelaki c***l suka yang main cium seenaknya," Sora menghela napas sedikit lega.
Sehun hanya tersenyum miring sambil meletakkan pantatnya di kursi seberang kekasihnya duduk. "Kau ini aneh, Yoon Sora. Sudah hampir dua tahun bersamaku kenapa kau belum hafal juga dengan suara dan kelakuanku?"
"Itu tadi karena aku sedang melamun dan tidak sedang dalam keadaan waspada. Maka dari itu aku terkejut."
"Baiklah, aku minta maaf, ya karena telah mengagetimu." Sebelah tangan Sehun terulur untuk merangkum wajah sang kekasih yang usianya jauh di atasnya itu.
Walaupun usia Sora sudah hampir kepala empat, wajah dan penampilannya masih terlihat cantik dan segar seperti seorang gadis seumuran Sehun. Padahal, Sora adalah seorang ibu dari seorang anak berusia remaja.
Sehun ingat, dua tahun lalu saat pertama kali berkenalan dengan Sora ia sempat mengira kalau wanita itu hanya terpaut dua sampai empat tahun darinya. Rupanya usia mereka terpaut hingga empat belas tahun. Saat itu, Sora pulang kerja hampir larut malam. Ia hampir saja mengalami perampokan. Sehun yang saat itu baru saja pulang dari kerja paruh waktunya datang menolong. Hingga akhirnya mereka berdua dekat dan memutuskan untuk menjalin kasih. Perbedaan usia yang cukup jauh tidak lantas membuat mereka gentar dalam menjalani hubungan serius.
Sora tersenyum lembut dan mengangguk. Ia menggenggam tangan Sehun yang terulur untuk menyentuh wajahnya itu. Kemudian, ia menurunkan tangan mereka yang bertautan ke meja.
"Aku rindu sekali padamu, " ujar Sehun sambil menatap wajah wanitanya dengan begitu intens.
"Aku juga, Sehun. Selama berada di Tokyo aku begitu merindukanmu di samping aku merindukan Nara."
Mendengar sang kekasih menyebut nama sang putri tercinta, membuat dahi Sehun berkerut penasaran. "Bicara soal putrimu itu, kapan kau akan memperkenalkanku padanya?"
Pertanyaan Sehun membuat Sora berubah gugup. Wanita itu tanpa sadar menarik tangannya dari genggaman Sehun. Sehun mengernyit heran.
"Ada apa?"
"Sehun, apa kau serius dengan perkataanmu seminggu yang lalu?" Sora balik bertanya. Keraguan menghiasi wajahnya dengan begitu jelas.
Sehun tergelak sebentar kemudian rautnya berubah serius. Tangannya kembali terulur untuk menggenggam tangan sang kekasih hati. "Tentu saja aku serius, Sora. Aku serius ingin menikahimu dan menjadi ayah bagi Nara. Aku ingin menjaga kalian. Maka dari aku ingin kau memperkenalkanku dengan calon anak tiriku."
Seminggu yang lalu, Sehun melamar Sora. Namun, sampai saat ini Sora belum memberikan jawaban apa pun pada kekasihnya yang masih menempuh pendidikan di bidang hukum itu. Alasan utamanya adalah sang putri tercinta.
"Masalahnya, aku tidak yakin jika Nara akan mengizinkanku menikah lagi, Sehun. Dia terlalu menyayangi mendiang ayahnya. Aku tidak yakin apakah dia akan setuju atau tidak jika aku menikah lagi."
Sehun menghela napas lelah. Ia menatap wanitanya itu dengan tatapan sendu. "Lalu bagaimana denganmu? Secara pribadi, kau ingin menjawab apa soal lamaranku itu?"
"Tentu saja aku ingin menjawab 'ya', Sehun. Tapi—"
"Kalau begitu jelaskan pada Nara kalau kau memang ingin menikahiku! Aku yakin dia pasti akan mengerti dengan keinginanmu kalau dia memang menyayangimu sebagai ibunya. Kalau dia benar menyayangimu, dia pasti juga ingin kau bahagia."
"Tapi aku akan lebih bahagia jika dia bahagia, Sehun. Kalau pernikahan kita tidak membuatnya bahagia bagaimana?"
"Maka dari itu kita harus mencobanya dulu, Sora. Kita coba jelaskan dulu padanya. Kita tidak akan tahu reaksinya sebelum kita mencoba menjelaskan padanya, bukan? Lagipula dia juga belum mengenalku."
Sora terdiam. Perkataan Sehun sedikit banyak memang benar. Sora sama sekali belum pernah bercerita tentang hubungannya dengan Sehun pada putri semata wayangnya itu. Alasannya lagi-lagi karena ia takut sang putri tercinta tidak setuju jika ia menjalin kasih dengan pria lain. Selama dua tahun ini ia selalu menyimpan rapat-rapat soal hubungannya dengan Sehun.
"Sora."
Sora menatap Sehun yang kini menatapnya dengan sendu.
"Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Aku tahu kau juga merasakan hal yang sama padaku, bukan? Apa kau mau hubungan kita seperti ini terus? Tidakkah kau ingin melanjutkan hubungan kita ini ke arah yang lebih serius? Tujuan dari sebuah hubungan itu tentunya ke arah yang bahagia. Jika kau bisa bahagia dengan menikah denganku, kenapa tidak? Sesekali kau harus bersikap egois, Sora."
Sora hanya diam, ia tak tahu harus menimpali perkataan Sehun dengan jawaban apa. Satu sisi ia ingin berbahagia dengan menikahi Sehun, pujaan hatinya. Akan tetapi, ia juga tidak mau jika nanti pernikahannya dengan Sehun akan membuat Nara merasa tidak bahagia.
Sehun melanjutkan, "Selama ini kau sudah mendedikasikan sebagian besar hidupmu untuk membahagiakan Nara. Sekarang giliranmu untuk meraih kebahagianmu sendiri, Sora. Bersikaplah egois untuk kali ini saja. Kau tahu, jika kau mengorbankan kebahagiaanmu, itu sama saja kau mengorbankan kebahagiaanku."
Sora tercenung. Lagi-lagi perkataan Sehun terasa begitu menohoknya. Ya, jika ia memutuskan untuk tidak menikahi Sehun karena Nara, itu sama saja dengan ia mengorbankan kebahagiaannya dan juga sang kekasih. Haruskah ia menerima saran Sehun dengan bersikap egois untuk sekali ini saja?
Sora menarik napas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Ia mencoba untuk berpikir matang-matang. Setelah sekian lama berpikir dan mencoba untuk menimang-nimang, akhirnya ia mengangguk pelan.
"Ya, kurasa kau benar, Sehun. Aku juga harus memikirkan kebahagiaanku sendiri dan tentunya juga kebahagiaanmu. Jadi, ya ... aku setuju untuk menikah denganmu."
Raut bahagia tercetak jelas di wajah rupawan Sehun. Untuk sejenak, ia tampak tak percaya dengan perkataan sang kekasih hati itu. "Kau serius, kan? Kau tidak bercanda?"
Sora tersenyum manis lalu merangkum wajah Sehun dengan kedua tangan rampingnya. Perlahan, ia mendekatkan wajah sang kekasih hati lalu membuainya dalam sebuah ciuman manis dan cukup panjang. "Aku serius, Sehun. Aku mau menikah denganmu," jawabnya setelah menarik diri.
Sehun tampak begitu bahagia. "Terima kasih, Sora. Terima kasih!"
Lantas, Sehun beranjak dari duduknya dan menghampiri Sora. Dengan lembut, ia menarik tubuh Sora agar berdiri sejajar dengannya kemudian memeluknya erat dalam waktu yang cukup lama. Sora membalas pelukan itu dengan senyum mengembang di wajahnya.
Sehun pun menarik diri lalu beralih menikmati candunya dengan begitu bersemangat. Sora melakukan hal yang sama dengan sang kekasih, memagut bibirnya dengan begitu dalam dan mesra.
Setelah sekian lama melampiaskan kerinduan pada candunya itu, Sehun akhirnya menarik diri. Dengan pandangan menggelap dan suara yang sedikit serak ia bertanya, "Mau ke apartemenku?"
Sora terkekeh sebentar kemudian mengangguk cukup antusias.
Sehun menyeringai kemudian kembali memagut bibir Sora sebentar sebelum berkata, "Ayo!"
Lantas, kedua sejoli itu pun pergi untuk melepaskan kerinduan satu sama lain dengan berbagi deru napas rendah dalam kehangatan selimut ranjang apartemen Sehun.
*****
Jaehyun lagi-lagi menghela napas kesal. Ia menatap Nara yang kini sibuk mencoret-coret buku sketsanya. Saat ini, ia memang sedang berada di kamar Nara guna mengajari Nara belajar Matematika. Sebenarnya, Nara adalah murid yang cukup cerdas di sekolah. Ia selalu mendapatkan peringkat sepuluh besar di kelas dan tiga puluh besar di sekolah. Hanya saja Nara sedikit lemah di mata pelajaran Matematika. Sebaliknya, ia sangat ahli dalam pelajaran seni—terutama seni lukis— dan Bahasa Inggris.
Sebenarnya, Nara tidak sebodoh itu dalam pelajaran Matematika. Nilai Matematika-nya termasuk kategori baik. Namun, terkadang ia malas mendengarkan di kelas dan juga jarang mengulang kembali apa yang telah dipelajari di rumah. Maka dari itu, kadang jika sedang tidak ada latihan basket rutin Jaehyun menyempatkan diri untuk mampir ke rumah Nara guna belajar bersama gadis itu.
Dengan sedikit kasar, Jaehyun menutup buku sketsa Nara. Nara terkejut dan langsung menoleh pada Jaehyun, hendak protes. Namun ketika melihat raut tak bersahabat yang Jaehyun tujukan padanya, seketika nyalinya ciut.
"Maaf," gumam Nara pelan sambil menyengir. Buru-buru gadis itu membuka kembali buku Matematika yang sempat dianggurkan olehnya.
Jaehyun menggeleng tak habis pikir melihat kelakuan sahabatnya itu. Kemudian ia sibuk dengan bukunya sendiri.
Tiba-tiba Nara bertanya, "Oh ya, kenapa kau mengajak Mingyu bertanding basket? Kalian sedang bertaruh atau apa?" Wajar saja Nara bertanya sebab ia tak tahu menahu soal pertandingan itu.
Pertanyaan itu membuat Jaehyun membeku di tempat duduknya. Ia melirik Nara yang kini menatapnya bertanya-tanya. Dengan kikuk ia menjawab, "Oh, itu ... biasalah, urusan para lelaki. Kalau kujelaskan pun, kau pasti tak akan mengerti." Jaehyun tertawa canggung. Ia buru-buru menyibukkan diri dengan bukunya lagi, takut Nara kembali bertanya macam-macam perihal pertandingannya dengan Mingyu tadi siang.
Nara hendak bertanya lagi, tapi Jaehyun buru-buru menyela, "Jadi, bagaimana? Kau sudah paham dengan materi ini belum?"
Nara mengatupkan bibirnya kemudian menghembuskan napas lesu. "Lumayan. Tapi kadang aku masih bingung menggunakan rumus yang mana. Rumusnya banyak sekali yang harus dihafalkan."
Jaehyun tersenyum maklum. "Matematika itu sebenarnya mudah jika saja kau paham dengan apa yang ingin kau pecahkan, Nara. Asal kau tahu saja, Matematika itu juga butuh kreativitas bukan melulu soal menghafalkan rumus. Rumus-rumus itu ada bukan hanya untuk dihafalkan, tapi juga untuk dipahami. Kalau kau sudah paham, kau tidak perlu lagi menghafal."
Nara tampak mengernyit tak mengerti mendengar penjelasan Jaehyun. Ia berpikir sambil mengerucutkan bibirnya lucu.
Gemas, Jaehyun pun mencubit pelan bibir Nara, membuat Nara terkejut setengah mati.
"Jae!"
Jaehyun terkekeh pelan melihat Nara yang tampak kesal padanya. "Maaf. Lagi pula, kau begitu lucu saat mengerucutkan bibirmu seperti itu."
Nara tidak membalas perkataan Jaehyun lalu memukuli lengan Jaehyun tanpa ampun. Jaehyun berusaha melindungi diri dari pukulan brutal yang Nara berikan padanya sambil terus terkekeh.
"Rasakan kau!" umpat Nara.
"Ampun, Nara! Kumohon hentikan!"
Jaehyun berhasil menangkap tangan Nara yang memukulinya. Kini mereka saling bertatapan dengan sedikit terengah. Tak lama setelah itu, tawa mereka pecah.
"Ayo, lanjutkan belajarnya!" ajak Jaehyun yang kemudian disanggupi lewat anggukan kepala oleh Nara.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah disibukkan dengan buku masing-masing. Nara dan Jaehyun mengerjakan soal-soal yang sama. Sesekali Jaehyun mengajari Nara ketika gadis itu menemui kesulitan. Mereka belajar hingga hampir larut malam.
Jaehyun sudah hampir selesai mengerjakan satu soal terakhir yang ada di buku latihannya ketika ia menoleh ke arah Nara dan menemukan gadis itu telah tertidur pulas di atas meja belajarnya. Mau tak mau Jaehyun tersenyum geli sambil menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Ia menghembuskan napasnya sejenak kemudian menutup bukunya. Ia merapikan buku miliknya dan milik Nara secara telaten.
Setelah itu, pelan-pelan Jaehyun mengangkat Nara dari kursi meja belajar dan memindahkannya di ranjang queen size miliknya. Dengan lembut Jaehyun membaringkan tubuh Nara di ranjang lalu menarik selimut hingga menutupi tubuhnya. Namun, Jaehyun masih setia bertahan dalam posisi membungkuknya sambil menatap lekat wajah cantik Nara yang terlelap. Senyum sendu seketika menghiasi wajahnya.
"Mungkin setelah ini kau akan segera menjadi milik orang lain, Nara. Maka dari itu, izinkanlah aku melakukan ini padamu untuk pertama dan mungkin terakhir kalinya."
Lantas, Jaehyun memejamkan matanya dan perlahan mendekatkan wajahnya ke wajah Nara. Tak lama setelah itu, bibirnya menempel lembut di bibir ceri Nara. Setelah beberapa detik, Jaehyun menarik diri dan tersenyum. Baru setelah itu ia benar-benar berdiri tegak dan mengambil tasnya. Jaehyun tersenyum sekali lagi pada Nara yang sedang terlelap di atas ranjang sebelum akhirnya keluar dari kamar sahabatnya itu.
Saat Jaehyun sudah sampai di ruang tamu rumah Nara, ia bertemu dengan Sora yang tampaknya baru pulang dari kantor karena ia tampak masih mengenakan setelan kerjanya. Dengan sopan ia menyapa, "Selamat malam, Bibi Sora. Bibi baru pulang dari kantor?"
"Selamat malam, Jaehyun. Iya, aku baru pulang. Eh, kau baru selesai belajar dengan Nara, ya?" tanya Sora lembut.
Jaehyun mengangguk. "Iya, Bibi." Jaehyun diam sebentar. "Eh, karena sudah malam, saya permisi pulang dulu."
"Oh, baiklah. Kalau begitu hati-hati di jalan, ya! Sampaikan juga salamku pada ibumu."
"Pasti. Selamat malam, Bibi."
Sora mengangguk. "Selamat malam."
Jaehyun pun mulai berlalu dari hadapan ibu sahabatnya itu. Namun, matanya sempat menangkap sesuatu di balik kerah kemeja Sora tadi. Ia sedikit merona saat menyadari tanda apa yang bersarang di leher wanita itu.
Hickey.
Jaehyun memang masih terbilang remaja, tapi untuk mengetahui hal semacam itu sudah bukan hal tabu lagi baginya karena teman-teman lelakinya pun sering membahasnya. Ia juga tahu kalau tanda itu adalah tanda seseorang sehabis melakukan apa.
Tak ingin ambil pusing dengan apa yang ia lihat, Jaehyun pun buru-buru keluar dari rumah Nara menuju motornya. Ia tidak ingin mengurusi urusan orang dewasa. Toh, Sora 'kan sekarang bukan lagi istri siapa-siapa. Mungkin saja ibu sahabatnya itu sudah menemukan kekasih hati sebagai pengganti ayah Nara, bukan? Para orang dewasa memang sudah sering melakukan hal semacam itu, jadi biarkan saja. Akan tetapi, ada satu hal yang mengusik benaknya.
Apakah Nara tahu kalau ibunya sudah memiliki kekasih lagi?