Sehun sudah dipindahkan dari unit gawat darurat ke ruang rawat inap biasa. Kepalanya dililit perban begitu pula dengan bagian bahunya. Pemuda itu mengalami gegar otak dan pergeseran tulang bahu. Kondisinya bisa dibilang tidak terlalu parah sebetulnya. Menurut dokter, dengan banyak istirahat kondisinya pasti akan segera pulih.
Nara cukup merasa bersyukur mendengarnya. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika Sehun tidak selamat dari kecelakaan itu. Sudah cukup ia melihat sang ayah meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri, ia tidak ingin melihat Sehun dalam kondisi serupa.
Sora dan Nara berada di ruang rawat Sehun, menunggu pemuda jangkung itu siuman. Nara duduk di sofa sementara Sora duduk di kursi dekat ranjang tempat sang kekasih hati tertidur pulas. Tangan Sora terus terkepal di atas pangkuan, enggan menyentuh sejengkal saja tubuh Sehun yang saat ini sama sekali tak bergerak.
Sora merasa tak enak hati pada Nara. Ia tidak ingin membuat buah hatinya tak nyaman sekaligus merasa bersalah. Padahal sejak tadi pandangannya terus saja tertuju pada wajah pucat Sehun. Tatapannya menyiratkan rasa simpati mendalam dan rasa ingin memberikan sang kekasih hati kekuatan agar mampu berjuang melawan rasa sakit yang mendera tubuhnya. Sungguh, rasanya ia ingin sekali menggenggam tangan Sehun. Tetapi sekuat tenaga ia menahannya demi menjaga perasaan sang anak gadisnya.
Nara mengamati tingkah laku ibunya dengan tatapan tak tega. Ia paham betul kalau sejak tadi Sora menahan diri untuk tidak menyentuh Sehun. Lantas, dengan sedikit ragu gadis itu bangkit dari kenyamanan sofa yang ia duduki demi menjangkau bahu ibu tercinta. Sora menoleh dan mengulas senyum tipisnya.
"Kenapa, Sayang?"
Nara meneguk salivanya susah payah. Gadis itu membuka mulutnya, tapi sedetik kemudian mengatupkannya lagi. Ia bergerak gelisah, membuat Sora mengernyitkan dahi kebingungan.
"Nara? Ada apa, Sayang?" Sora menyentuh tangan halus Nara yang masih setia bertengger di bahu proporsionalnya.
"Eh, I-Ibu tidak ingin ... memberikan semangat ... untuk Se-Sehun?" Nara terbata. Sora membelalak terkejut mendapat pertanyaan semacam itu dari sang putri tercinta.
"A-Apa maksudmu, Sayang?"
Nara menghela napas pelan, menghilangkan kegugupan yang melandanya. "Sejak tadi aku lihat Ibu tampak menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Kupikir Ibu ingin sekali memberinya kekuatan dengan menggenggam tangannya atau apa lah. Kalau Ibu ingin melakukannya, lakukan saja. Aku tidak apa-apa. Mungkin dengan begitu Sehun bisa memiliki semangat untuk cepat sadar."
Lagi-lagi Sora hanya bisa menatap Nara dengan mata membelalak tak percaya. Untuk beberapa saat wanita itu hanya mampu terdiam sambil terus menatap wajah Nara yang kini sedang menunduk.
Perlahan, senyum haru menghiasi wajah awet muda Sora. Tangannya meraih tangan Nara kemudian menciumnya sebentar. Nara terkejut dengan tindakan spontan yang dilakukan oleh Sora.
"Terima kasih, Sayang."
Nara justru menjadi kikuk mendengar ucapan Sora. Gadis itu mengulas senyum canggung seraya mengangguk. Kemudian secara perlahan Nara membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di sofa.
Setelah Nara duduk, Sora kembali beralih pada Sehun yang masih belum sadarkan diri. Dengan perlahan tangan rampingnya menjangkau telapak tangan Sehun yang terasa dingin lalu mengarahkannya ke bibir. Sora mencium punggung tangan Sehun dengan begitu lembut dan penuh kasih sayang, membuat Nara sedikit sesak saat melihatnya.
"Bangunlah, Sehun. Kumohon!" bisik Sora sedikit pilu. Wanita itu menangis dalam diam melihat kondisi sang kekasih tercinta.
Melihat rasa khawatir teramat dalam yang Sora rasakan terhadap Sehun membuat Nara merasa takjub. Pasti sebegitu besarnya rasa cinta yang dirasakan oleh sang ibu pada Sehun. Kalau tidak, ibunya tidak akan sampai sesedih ini. Diam-diam, Nara mencelos dalam hati.
Aku begitu membencinya, tapi kenapa Ibu justru mencintainya setengah mati?
Tiba-tiba satu pertanyaan muncul di benak Nara. Ia bangkit lagi dari sofa yang ia duduki dan kembali menghampiri Sora.
"Ibu, kenapa kita tidak menghubungi keluarga Sehun? Mereka harus tahu soal kejadian yang menimpa Sehun ini."
Raut Nara penuh akan rasa penasaran. Akan tetapi, reaksi Sora atas pertanyaan yang ia ajukan membuat rasa penasarannya kian menjadi. Sora membisu. Tubuhnya menegang.
"Ibu? Ibu kenapa?" Nara khawatir. Tangannya menyentuh bahu Sora. Apakah ada yang salah dari pertanyaannya? Kenapa ibunya bereaksi seperti itu?
"Sehun anak yatim piatu, Nara. Dia tidak punya sanak keluarga lagi," lirih Sora dengan nada sendu. Tangan Sehun sudah tidak berada lagi dalam genggamannya. Wanita itu menoleh pada Nara yang tampak terkejut.
"Jadi Sehun ...." Nara tak tahu harus berkata apa lagi. Ia tidak benar-benar tidak menyangka bahwa Sehun seorang anak yatim piatu.
Sora mengangguk. "Ayahnya meninggal saat Sehun belum lahir. Sementara ibunya meninggal sekitar lima tahun yang lalu. Selain orang tuanya, Sehun tidak memiliki keluarga lagi."
Penjelasan Sora membuat Nara diam seribu bahasa. Lantas, manik matanya terarah pada Sehun yang sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda akan bangun. Sepertinya Nara sudah mulai mengerti apa yang membuat sang ibu bisa mencintai Sehun hingga sedalam itu.
Sora dan Sehun sama-sama menjadi yatim piatu di usia muda.
*****
Nara pulang sekolah sendirian. Mingyu ataupun Jaehyun tidak ada yang bisa pulang bersamanya karena mereka harus menjalani latihan rutin demi menghadapi pertandingan basket antar-sekolah yang sudah ada di depan mata. Yeri tadinya menawarkan diri untuk pulang bersamanya, tapi tidak jadi karena Nara bilang bahwa ia hendak ke rumah sakit dulu.
Nara sampai di rumah sakit dalam waktu lima belas menit dengan naik taksi. Saat di perjalanan tadi ia sempat membeli beberapa macam buah-buahan untuk Sehun dan makanan untuk Sora. Benar, Nara pergi ke rumah sakit demi menjenguk pemuda itu. Sebenci-bencinya pada Sehun, tidak lantas membuat Nara menutup rasa iba pada pemuda itu. Apalagi Sehun mengalami kejadian naas ini setelah menyelamatkannya. Mana mungkin ia tega, bukan?
Selain itu, ia juga ingin menggantikan sang ibu yang telah menjaga Sehun semalaman. Kemarin malam Sora menyuruh Nara pulang sendiri karena ia ingin menjaga Sehun di rumah sakit. Awalnya Nara menolak dan mengajak Sora pulang bersamanya, bahkan ia juga ingin ikut menemani ibunya dalam menjaga Sehun. Namun Sora melarang dengan alasan bahwa Nara harus sekolah keesokan harinya. Nara sempat berkata pada Sora bahwa ia juga harus berangkat ke kantor. Akan tetapi, Sora berdalih bahwa ia bisa bekerja di manapun sekalipun itu di rumah sakit. Alhasil, Nara pun kalah dalam perdebatan panjang melawan sang ibu.
Nara masuk ke ruang rawat Sehun. Gadis itu mengernyit heran sebab tak dapat menemukan keberadaan sang ibu di sana. Ia meletakkan barang bawaannya di atas nakas lalu mencari batang hidung Sora di setiap sudut ruangan itu. Nihil, Sora tak ada di mana-mana.
Nara menghela napas lesu. Mungkin saja ibunya sedang keluar sebentar, pikirnya. Kemudian, ia pun duduk di sofa. Sesekali gadis itu merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa sedikit pegal. Nara menguap. Oh, ia agak mengantuk rupanya.
Pandangan Nara berfokus kepada Sehun tanpa dikomando. Pemuda itu masih saja tak sadarkan diri sepertinya. Perlahan, Nara bangkit mendekati ranjang rawat Sehun. Gadis itu menatap wajah Sehun lekat.
Diam-diam Nara mengagumi wajah tidur Sehun yang tampak damai itu. Kulit pucat Sehun terlihat semakin pucat karena kondisinya saat ini. Hidungnya begitu tinggi. Bibirnya yang tipis itu berwarna merah muda alami. Sepintas, wajah Sehun tak tampak seperti orang Korea asli. Nara sempat berpikir bahwa mungkin saja Sehun punya darah keturunan orang Barat karena wajahnya itu. Sehun terlalu tampan dan ketampanannya itu nyaris tak bisa disebut manusiawi.
Sayangnya, tabiat Sehun tak seindah wajahnya. Wajah Sehun seindah malaikat, tapi hatinya sejahat iblis. Tak peduli seheroik apa tindakan Sehun kemarin terhadap dirinya, persepsi Nara tentang pemuda itu tetap tidak berubah. Sehun masih saja seorang pemuda b******k di matanya. Entah kenapa rasanya sulit sekali bagi Nara untuk tidak lagi menanamkan pikiran buruk pada Sehun sekalipun pemuda itu telah menyelamatkan nyawanya kemarin.
"Sudah puas mengagumi ketampananku?"
Kata-kata itu membuat Nara terlonjak kaget. Netranya kini bertubrukan netra Sehun yang sudah tidak terpejam lagi. Nara menghembuskan napas sedikit lega. Tetapi tatapan kesal ia layangkan pada objek tampan yang kini sedang tersenyum miring menatapnya.
"Kau sudah sadar rupanya? Lalu kenapa pura-pura masih tidak sadar? Sengaja ingin membuatku kaget?" Nara tampak kesal.
Sehun tertawa mengejek. "Siapa yang sengaja mengagetkanmu? Aku tadi memang sedang berusaha untuk terlelap lalu tiba-tiba kau datang. Kau sendiri yang jelas-jelas mengganggu tidurku, tapi masih bisa menyalahkanku?" Sehun menggeleng tak habis pikir.
Nara kembali mendengus. Kali ini ia menatap Sehun tak terima. "Siapa juga yang mengganggu tidurmu? Aku tidak melakukan apa-apa."
"Tapi tatapanmu padaku seolah ingin menelanjangiku. Aku tidak nyaman dengan itu."
"Apa?!"
Sehun tersenyum miring melihat wajah Nara yang memerah karena malu dan kesal sekarang. Ia tidak tahu kalau menggoda seorang Kim Nara akan terasa sangat menyenangkan seperti ini. Sepertinya itu akan menjadi hobi barunya mulai sekarang.
Nara mendengus menatap Sehun. "Seharusnya aku tidak perlu datang ke sini. Coba lihat tingkahmu itu! Kau tidak tampak seperti orang yang sedang sakit," desisnya sinis.
Sehun mengangkat bahunya sambil memasang raut tak berdosa. "Salah siapa menatapku seperti tadi?" Pemuda tampan tiba-tiba itu terkesiap. Lantas, ia bersedekap dan memicing menatap Nara. "Jangan bilang kau terpesona padaku! Aku tahu aku memang tampan. Tapi kau tidak boleh menyukai kekasih ibumu sendiri."
"Hei! Siapa bilang aku menyukaimu? Aku memperhatikanmu seperti itu karena aku heran, bagaimana bisa pemuda setampan dirimu kelakuannya begitu minus ...." Perlahan, Nara sadar telah salah bicara. Gadis itu langsung mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Nara memaki dirinya sendiri dalam hati. Ia melirik Sehun yang saat ini sedang menatapnya dengan senyuman khas yang tampak menyebalkan di mata gadis itu.
"Akhirnya kau mengakui ketampananku juga," ujar Sehun puas. Pemuda itu masih bertahan dengan senyum percaya dirinya.
Nara memutar bola mata malas. "Ya, semua orang juga tahu kalau kau tampan. Tapi seperti kataku tadi, kelakuan minusmu mengurangi kadar ketampananmu."
Sehun justru tersenyum alih-alih tersinggung. "Tapi kau juga harus tahu satu hal, Kim Nara; tidak ada yang sempurna di dunia ini. Setiap hal pasti memiliki kecacatan. Sebaik apa pun seseorang, dia juga tidak luput dari kecacatan itu. Satu-satunya yang sempurna hanyalah Tuhan."
Nara hanya bisa tercenung mendengar perkataan Sehun. Benaknya mengamini perkataan Sehun yang memang terbukti akurat itu. Kesempurnaan hanyalah milik Tuhan. Makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah manusia, tapi kesempurnaannya hanyalah sebatas fisik belaka. Selebihnya, manusia hanyalah tempat salah dan dosa. Sebaik-baiknya manusia di muka bumi ini pasti juga memiliki dosa walaupun hanya sebesar kerikil.
Sehun melanjutkan, "Tapi kau juga harus tahu bahwa sesuatu yang kau nilai buruk, tidak selamanya akan menjadi buruk. Aku akui aku memang b******k dan aku tidak akan berpura-pura baik di hadapanmu. Percuma saja aku bersikap baik padamu jika kau sendiri sudah menganggapku buruk, bukan?"
"Bagaimana dengan yang kemarin? Kenapa kau sudi menyelamatkanku? Padahal kau bisa saja membiarkanku tertabrak mobil dengan begitu kau bebas menikahi ibuku tanpa perlu memikirkan restu dariku."
Sehun mengangkat bahu. "Kurasa itu karena hati nuraniku. Aku sendiri juga tidak menyangka telah mengorbankan nyawa demi dirimu yang jelas-jelas membenciku." Sehun tergelak sebentar. "Tapi perkataanmu ada benarnya juga. Harusnya aku biarkan saja kau tertabrak saat itu. Dengan begitu aku bisa menikahi Sora kapanpun aku mau. Tapi nyatanya aku tidak melakukannya karena aku tahu jika terjadi sesuatu yang buruk padamu, maka Sora lah yang akan merasa hancur. Aku tidak bisa melihat wanita yang kucintai terpuruk karena keegoisanku."
Nara terdiam. Gadis itu mengepalkan tangan kuat di sisi tubuhnya. Kalimat terakhir yang Sehun sampaikan membuat hatinya tergelitik. Cinta? Benarkah pemuda itu tulus mencintai ibunya? Kenapa tiba-tiba Nara merasa sesak?
"Oh, Nara? Kau di sini?"
Suara feminin menyapa rungu dua anak manusia yang saling melempar tatapan tajam itu. Nara dan Sehun kompak mengalihkan atensi pada Sora yang saat ini berdiri di ambang pintu.
"Oh, Ibu dari mana?" Nara bertanya sambil mendekat ke arah Sora. Senyum manis yang sedikit dipaksakan terukir jelas di wajahnya. Tangannya mengalung ke lengan Sora dan menariknya agar masuk ke ruangan bernuansa putih itu.
Sora tersenyum sambil mengusap kepala putri semata wayangnya pelan. "Ibu dari kantor, Sayang."
"Bukannya Ibu bilang tidak ingin ke kantor?" heran Nara sambil memperhatikan penampilan Sora. Ibunya itu memakai setelan kerjanya berupa blazer dan rok span di atas lutut.
Sora meringis. "Tadinya memang begitu. Tapi setelah Sehun siuman ia menyuruh Ibu untuk pergi ke kantor saja. Katanya ia tidak apa-apa ditinggal sendirian."
Nara hanya bergumam pelan sebagai respon.
"Lenganmu bagaimana?" Sora bertanya.
"Sudah lebih baik," jawab Nara disertai senyum manis.
Sora menghela napas lega. Ia beralih pada Sehun. "Bagaimana kondisimu sekarang? Apakah sudah lebih baik?"
Sehun mengangguk. Ekor matanya melirik ke arah Nara. "Jauh lebih baik," ujarnya sambil tersenyum miring.
Nara mendengus tak kentara lalu melengos begitu saja, menghindari tatapan Sehun pada dirinya.
"Syukurlah kalau kalian semua baik-baik saja. Oh ya, tadi aku bicara dengan Dokter Kang. Beliau bilang dalam beberapa hari ke depan kau sudah boleh pulang."
"Benarkah? Baguslah kalau begitu. Aku juga sudah bosan di rumah sakit."
"Eh, tadi saat menuju kemari aku membeli makanan untuk Ibu dan buah-buahan untuk Sehun," Nara menginterupsi percakapan dua sejoli itu. Sungguh, rasanya agak risih mendengar percakapan Sora dan Sehun yang terdengar biasa tetapi sarat akan kemesraan di dalamnya. Maka dari itulah Nara sengaja mengalihkan pembicaraan.
"Oh, sebenarnya kau tidak perlu repot-repot seperti ini, Sayang. Tapi, terima kasih." Sora mengusap kepala Nara sayang.
Nara tersenyum menanggapi. Ia melirik pada Sehun yang menatapnya seolah mengatakan 'aku tahu apa yang kau pikirkan' dan langsung melengos.
Masa bodoh denganmu, Oh Sehun! umpat Nara dalam hati.
*****
Pulang sekolah Nara langsung pergi ke kamarnya untuk mandi dan berganti baju. Setelah itu, ia langsung pergi ke dapur untuk membuat ramen. Oh, ia sungguh lapar. Padahal tadi ia dan Minyu sempat mampir ke kedai es krim, tapi rupanya es krim tidak cukup membuatnya kenyang. Sayangnya, Bibi Jung sedang pulang ke Busan dan baru akan kembali ke Seoul besok, jadi tidak ada yang bisa membuatkannya makanan saat ini. Maklum, Nara sama sekali tidak bisa memasak. Satu-satunya makanan yang bisa Nara buat hanyalah ramen instan.
Nara membawa ramen-nya ke ruang tengah. Gadis itu berniat makan sambil menonton televisi. Pilihannya jatuh pada program acara musik yang sedang menayangkan penampilan sebuah grup idola wanita. Sambil asyik makan, Nara menganggukkan kepalanya mengikuti alunan musik yang cukup menghentak itu.
"Nara sudah pulang?"
Fokus Nara langsung tertuju pada asal suara feminin yang menyapa gendang telinga. Gadis itu hampir menyunggingkan senyum manis pada Sora, tapi batal ketika ia melihat objek lain yang kini merangkul dan bersandar pada ibunya.
Oh Sehun.
Menyadari alasan di balik keterkejutan Nara, Sora buru-buru menjelaskan, "Eh, untuk sementara Sehun akan tinggal bersama kita, Nara. Kondisinya masih belum pulih betul. Ia masih perlu bantuan orang lain dalam menjalankan segala macam aktivitasnya. Dia tidak mungkin tinggal di apartemennya seorang diri, jadi—"
"Aku mengerti, Bu." Nara tersenyum menenangkan. Gadis itu meletakkan ramen-nya di meja lalu bangkit mendekati Sora dan Sehun yang tampak terkejut karena perkataannya.
Sekali lagi, Nara tersenyum pada mereka. Senyum itu tampak canggung, tapi Nara berusaha untuk membuat senyumnya terlihat lebih tulus. "Apa ada yang bisa kubantu? Membawakan koper, mungkin?"
"O-Oh, tidak usah repot-repot, Sayang. Kau duduk dan nikmati saja ramen-mu. Ibu akan mengurusnya sendiri—"
Nara menggeleng. "Aku sama sekali tidak merasa repot. Akan aku bawakan kopernya ke atas, oke?"
Tanpa menunggu jawaban Sora ataupun Sehun, Nara dengan sigap pergi menuju garasi untuk mengambil koper Sehun di bagasi. Namun, saat sudah sampai di garasi Nara justru tampak gelagapan.
"Apa itu tadi?" batinnya tak percaya pada dirinya sendiri. Sungguh, Nara sama sekali tak percaya telah bersikap seperti itu di depan Sora dan Sehun. Apakah itu artinya Sora sudah menyetujui hubungan atau bahkan pernikahan mereka?
Tidak sama sekali!
Akan tetapi, selama beberapa hari ini Nara memang mempertimbangkan untuk merestui pernikahan sang ibu dengan Sehun. Hal ini didasari oleh kecelakaan yang menimpa lelaki itu. Bukannya Nara merasa berhutang budi dan ingin membalasnya lewat restu yang ia berikan, hanya saja melihat betapa bahagianya sang ibu bila berada di dekat Sehun membuat Nara takjub. Ia tidak pernah melihat Sora sebahagia itu dan sejujurnya ia merasa senang akan hal tersebut.
Nara dilanda dilema sekarang. Satu sisi ia ingin melihat sang ibu bahagia, tapi di sisi lain ia tidak rela jika sumber kebahagiaan sang ibu adalah pria yang ia benci setengah mati. Ia tidak rela sang ibu bersanding dengan Sehun.
Haruskah aku merestui mereka demi kebahagiaan Ibu?
Nara menggelengkan kepalanya bar-bar. Menarik napas kemudian menghembuskannya secara perlahan. Setelah berhasil menenangkan diri, gadis itu membuka bagasi mobil ibunya, mengangkat koper Sehun lalu beranjak ke kamar tamu tempat lelaki itu akan tinggal.
"Terima kasih banyak, Sayang." Sora membantu Nara mengangkat koper Sehun ke dekat lemari. Nara mengangguk dan tersenyum sebagai respon.
Sekilas, Nara melirik Sehun yang sedang berbaring di ranjang. Pemuda itu sedang memicing menatapnya. Seolah tak peduli, Nara melengos begitu saja.
"Eh, ada yang ingin aku bicarakan pada ... kalian," Nara berucap dengan nada lirih. Oke, sepertinya kali ini Nara sudah yakin dengan keputusannya.
Sora mengernyit sambil mendekati sang putri yang kini menunduk menyembunyikan wajah cantiknya. " Apa yang ingin kau katakan pada kami, Sayang?"
Nara mendongak. Tatapan serta gerak-geriknya menunjukkan kegugupan yang begitu jelas. Gadis itu menarik napas sebentar kemudian segera menghembuskannya.
"Aku menyetujui ... pernikahan kalian."