Oh Galih oh Ratna
Cintamu abadi
Wahai Galih, duhai Ratna
Tiada petaka merenggut kasihmu
Terdengar sebuah klasik memenuhi lapo siang hari ini. Cukup banyak pengunjung yang mampir ke lapo. Padahal tak hanya lapo ini, ada beberapa tempat kuliner di sekitar gereja. Namun, untuk minggu siang ini, lapo milik keluarga Tambunan sedang begitu dilirik jemaat-jemaat gereja. Ada apakah ini?
Apa mungkin karena kehadiran sosok perempuan berdarah Tionghoa di dapur lapo?
Perempuan berdarah Tionghoa itu bernama Greyzia Gunawan. Entah apa penyebabnya, perempuan itu sudah mendapatkan izin masuk ke dapur oleh Ibu Tiur, ibu kandungnya Firman. Greyzia terlihat tidak kaku dalam mengurus urusan dapur. Bantuannya cukup bermanfaat untuk dapur lapo tersebut.
"Ini lagu apa, Inang, eh Tante?" tanya Greyzia mengernyitkan dahi. "Eh, aku manggil Tante atau Inang?"
"Sesukamulah, Zia. Mau Inang, mau Tante, aku tak mempermasalahkannya." jawab Ibu Tiur, sembari mengupas bawang putih. "Kalau lagu ini, ini lagu yang cukup legendaris waktu Tante muda dulu. Dari film yang berjudul sama. Jelas kamu kurang tahu. Tapi, mungkin Mama kamu pernah dengar lagu ini."
"Oh," Greyzia mengangguk-angguk, sembari ikut menyenandungkan lagu tersebut. Sembari pula Greyzia memotong kunyit.
"Jarang-jarang ada perempuan generasi sekarang yang bisa membedakan mana lengkuas, mana kunyit. Bahkan adiknya Firman saja, kuminta kunyit, diberikannyalah lengkuas. Pusing kepala Tante dibikinnya." ujar Ibu Tiur menggeleng-gelengkan kepala.
"Bang Firman punya adik, Tante?"
"Punya, lah, dia itu, Zia. Tapi, ibadah minggu di gereja lain. Bukan di gereja ini. Memang Firman tidak pernah cerita ke kau?"
Greyzia menggeleng. "Nggak pernah, Tante. Aku kira dia anak tunggal."
Ibu Tiur berdecak. "Macam mana pula si Firman itu. Amango amang. Tak cerita dia ke pacarnya sendiri soal adiknya itu."
Greyzia terkekeh-kekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sudah biasa kau masak di rumah, Zia?" tanya Ibu Tiur, mengaduk-aduk sayur singkong.
"Nggak juga sih, Tante. Tapi kalau Mama minta ke dapur, yah, sering." jawab Greyzia yang hati-hati meletakkan potongan-potongan kunyit ke ikan arsik.
"Apa masakan yang kau sering bikin, Zia? Jangan bilang telur ceplok? Aku pun bisa itu. Setiap pagi, sarapannya Firman dan lainnya di rumah. Nasi goreng pakai telur ceplok." sedikit cerita Ibu Tiur ke bakal calon menantunya.
Greyzia tertawa. "Nggak cuma telur ceplok aja, kok, Tante. Bikin nasi goreng atau kwetiau goreng, aku juga bisa."
Ibu Tiur memberikan acungan jempol. "Mantap kali, calon menantu aku ini. Tak salah pilih pasangan si Firman ini."
Rona wajah Greyzia memerah.
"Eh, Zia, menurut kau yah, Firman itu cemana orangnya? Apa yang kau suka dari dia?" tanya Ibu Tiur yang sontak wajahnya berubah serius sekali. Seperti mau diajak menikah saja.
Greyzia terdiam. Ia sedikit menundukkan kepala. Dihentikan pula aktivitas memotong kunyit dan bumbu dapur lainnya. Baru tebersit di kepala Greyzia, apa sebenarnya yang membuat dirinya menerima pinangan Firman sebagai kekasih pemuda Batak tersebut. Padahal, jika mundur sedikit ke belakang, Greyzia harus akui dirinya tidak mengenal secara akrab Firman. Seharusnya saat itu ia bisa menolaknya dengan dalih ingin berteman terlebih dahulu saja. Namun, saat itu, segalanya berjalan dengan teramat cepat. Kata-kata itu begitu cepat menderas keluar dari bibir Greyzia. Hingga akhirnya, Firman dan Greyzia resmi berpacaran.
Binsar, selaku sepupunya Firman yang ikut membantu urusan lapo, masuk ke dapur. "Pesanan lagi, Nantulang. Lima porsi nasi. Satu Panggang. Satu Dali. Minumannya teh tawar."
Ibu Tiur mengangguk dan menoleh ke arah Greyzia. "Ah, sudahlah, Zia. Lupakan pertanyaan Tante barusan. Itu urusan kau dan Firman. Cepat sikit kau motongnya. Malah melamun."
Greyzia tersadar dari lamunannya dan tergesa-gesa memotong. Tak sengaja ia bersin beberapa kali. Tak hanya itu, mungkin karena galau, Greyzia tak sadar memotong jarinya.
Tanggap Ibu Tiur dan segera meminta Binsar mengambilkan plester dan obat merah.
***
"Karya pertumbuhan dan perubahan diri yang dalam istilah teologi disebut pengudusan bertahap. ltulah komitmen Allah seumur hidup kita untuk menjadikan kita sesuai janji-Nya dalam penebusan menjadi orang benar. Dalam tiap situasi, tempat, dan relasi kehidupan kita, Allah memakai orang, tempat, dan benda-benda sebagai alat anugerah-Nya yang mengubahkan. la tidak berhenti. la tidak meninggalkan pekerjaan tangan-Nya. la tidak beristirahat. Tanpa henti, ia bekerja mengubah kita semaksimal mungkin oleh anugerah. la tidak puas hanya dengan membuat kita menjadi sedikit lebih baik. Dengan kasih karunia, la bekerja hingga kita sepenuhnya bebas dari dosa, yakni serupa dengan gambar Putra-Nya yang sempurna.
Sama sekali Ia belum puas. la bahkan tidak berdiam diri membiarkan dunia ini berada dalam kondisi yang ternoda oleh dosa. Malah, akan datang saatnya ketika la menjadikan segala sesuatu baru. la akan mengembalikan dunia ciptaan-Nya pada keadaan semula sebelum dirusak oleh dosa.
Sungguh, perubahan adalah kerinduan yang Allah kehendaki untuk kita lakukan. Perubahan diri dan perubahan situasi adalah dambaan kudus-Nya. Saat kita kecewa pada diri sendiri, berduka atas dosa dalam relasi, atau prihatin dengan kondisi dunia, lalu berseru meminta perubahan, saat itulah kita sedang memohonkan sesuatu yang tepat menjadi jantung kerinduan Allah. Namun, perubahan bukan berarti kita akan mendapatkan daftar keinginan yang menurut kita akan memberikan kehidupan yang baik."
Sembari merokok, Firman membaca salah satu halaman Warta Jemaat. Tak hanya apa yang tercantum di renungan Warta Jemaat tersebut. Ia buka pula nats yang tertulis di dalamnya. Ia baca dalam hati seraya meresapkan apa yang tertulis ke dalam sanubarinya.
Batin Firman membaca ayat demi ayat, 'Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.'
Seseorang datang menghampiri Firman. Firman menghentikan aktivitas membaca kitab sucinya. Ia menyodorkan rokok ke arah seseorang tersebut, yang ternyata sahabatnya, Gideon.
"Selamat hari minggu, saudaraku yang terkasih. Gimana satu minggumu?" ucap Firman berbasa-basi. Firman membantu Gideon untuk membakar rokok.
"Bro, itu tadi yang gue lihat, Greyzia ke arah lapo keluarga lu. Lu nggak ke sana." tanya Gideon yang mulai mengisap rokok.
"Nanti juga aku ke sana. Lagi mau menyendiri dulu aku." kata Firman, lalu mengisap rokok dan tertawa terbahak-bahak.
Gideon ikut tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sebetulnya alasan lu suka sama Greyzia apa?"
"Maksudnya apa?" tanya Firman memelototi Gideon. Jarang sekali Firman menyeringai sahabatnya tersebut.
"Iya, gue minta maaf kalau pertanyaan gue salah dan sedikit menyinggung hati lu, Bro."
"Ah, lu ini. Yah, karena cinta, lah. Karena gue jatuh cinta sama Greyzia. Apa lagi alasannya. Lu juga buru-burulah cari pacar. Biar bisa double date kita nanti."
Gideon hanya nyengir dan mengisap rokok. Tak berani ia menanyakan lebih lanjut ke Firman. Selain karena seringaian Firman tadi, mendadak Gideon merasakan perasaan bersalah yang luar biasa. Juga, sekonyong-konyong perasaan aneh itu muncul lagi.
"Bro, lu nanya kayak gitu kayak orang yang lagi menyukai orang yang disukai sama teman lu." ucap Firman yang menepuk bahu Gideon. "Jangan bilang ke gue..."