"Oke, deal." begitu tulis Gideon ke Greyzia lewat sebuah aplikasi obrolan.
"Maksudnya, nggak ada revisi lagi, Kak?" ketik Greyzia sebagai balasannya.
"Iya, sudah tidak ada revisi. Aku usahakan terbit untuk edisi bulan depan."
"Puji Tuhan."
"Senang banget, yah, kamu?"
"Ya iyalah, Kak Gideon. Semua orang pasti senang banget tulisannya bakal dimuat dan dibaca puluhan orang."
"Hahaha, tapi, kamu salah, Zia."
Greyzia mengernyitkan dahi. Jantungnya berdebar-debar. Ia takut Gideon hanya sedang mengerjainya. Dengan takut-takut, ia membalas, "Maksudnya apa, Kak? Nggak lagi ngerjain, kan?"
"Yah, nggak, lah, Zia. Kalau aku bilang deal, yah, deal. Sudah selesai direvisi dan siap tayang. Yang aku maksud itu, nggak cuma dibaca puluhan. Bisa dibaca sama ratusan orang. Kemungkinan tulisanmu bakal diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, itu juga ada, loh."
Greyzia menarik nafas lega saat membaca pesan dari Gideon tersebut.
Setelah menjalani pelatihan menulis yang cukup keras, karena harus mengalami revisi berkali-kali, akhirnya akan ada satu tulisan Greyzia yang akan dimuat di Daily Ferment (atau versi Indonesia, Ragi Harian). Betapa senang Greyzia akhirnya namanya bisa eksis pula di kalangan publik, walau dalam bentuk sebuah tulisan rohani Kristiani. Mimpi menjadi nyata. Salah satu impian Greyzia menjadi kenyataan.
"Yah, udah, yah, aku mau on the way kamar mandi dulu. Mau siap-siap ke gereja. Kamu ibadah pagi, kan?"
"Iya, Kak. Ini juga tadi seharusnya udah masuk ke dalam kamar mandi, Kak. By the way, terima kasih buat informasinya, Kak Gideon."
"Oh, iya, Zia, ada yang mau aku tanya."
"Tanya apa, Kak?"
"Kamu benar udah jadian sama Firman?"
Greyzia menelan saliva dan menggigit bibir bawah. Entah mengapa jantungnya berdebar-debar tak keruan. Bayangan wajah Firman muncul di kepalanya.
"Gimana, Zia?" tagih Gideon.
"Tahu dari Bang Firman, yah?"
"Loh, udah jadian, kok masih manggil dia pakai Bang segala?"
"Eh, maksudnya?"
"Wah, beneran jadian, yah? Ya udah, selamat, yah, Zia. Mungkin kamu sama Firman cocok."
"Makasih banyak, Kak Gideon."
Selesai sudah obrolan Gideon dan Greyzia melalui aplikasi obrolan. Greyzia segera bergegas ke kamar mandi. Sayangnya, ternyata sudah ada orang di dalam kamar mandi. Greyzia mengetuk pintu.
"Siapa di dalam?" seru Greyzia.
"Aku, Ci, Stanley." seru balik Stanley, lalu menyenandungkan sebuah lagu.
"Hufftt," Hanya itu respon Greyzia dan ia terpaksa menunggu lagi.
Greyzia kembali ke dalam kamarnya lagi. Di dalam kamar, ia baca kembali tulisannya yang nanti akan dimuat di Daily Ferment, sebuah buku renungan harian, yang cukup terkenal di Indonesia.
Pokoknya Jangan Takut
oleh Greyzia Gunawan
Pernahkah kita bertanya kepada diri kita sendiri mengapa kita masih membiarkan ketakutan?
Saya sendiri pernah seperti itu. Padahal saya tahu, sebagai orang beriman, mustahil kita, umat ciptaan-Nya, akan Tuhan biarkan sendirian. Sebab saya tahu kita semua, termasuk saya, adalah bait kediaman Allah itu sendiri.
Yah, kita semua merupakan bait kediaman Allah sendiri. Itu terdengar lebih dari sekadar sesuatu yang terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan. Menurut saya, idealisme yang cukup tinggi. Bagaikan mimpi saja. Itu hal yang sangat menakjubkan, yang melampaui logika dan intuisi setiap manusia. Itulah sebuah mukjizat rohani yang agung, yang menjadi identitas normal bagi seluruh ciptaan Allah oleh anugerah yang Ia berikan sejak kita terlahir ke dunia ini.
Itu baru dilahirkan. Belum sampai pada tahap di mana kita semua diampuni dan diterima oleh Allah. Bahkan kita semua tidak sadar, tanpa kita minta, Allah sudah mengampuni dan menerima kita. Hal ini sama sekali tidak seharusnya kita terima. Logisnya, seharusnya kita tidak berhak untuk diterima oleh Allah karena dosa-dosa kita. Saya bahkan berpikir bahwa manusia harus berusaha mendapatkan perkenanan Allah dan bekerja keras untuk bisa masuk ke hadirat Allah yang maha tinggi. Akan tetapi, bukankah di dalam Alkitab, cukup banyak diceritakan kisah di mana Allah memanggil yang terbuang. Alkitab malah lebih banyak bercerita tentang para pemberontak yang bukan hanya tak menginginkan relasi dengan Allah, tetapi juga tidak akan mampu mengupayakannya sekalipun mereka mau.
Sungguh Alkitab merupakan sebuah buku yang banyak bercerita tentang intervensi ilahi, penggantian ilahi, serta pengorbanan dan anugerah ilahi. Bahkan pernah dikisahkan sebuah cerita tentang bagaimana Bapa mengutus Sang Putra untuk hidup seperti yang seharusnya kita jalani. Jika membaca kembali kisah Sang Putra tersebut, itu sungguh sebuah kisah tentang kesabaran, kelembutan, belas kasih, cinta, rahmat, dan anugerah. Itu pun bercerita tentang pengampunan yang dikaruniakan dari Allah sendiri. Lewat perjalanan hidup Sang Putra, seluruh manusia akhirnya mengetahui bahwa penerimaan setiap orang yang dijamin kehidupannya oleh Allah sendiri. Bahkan itu diberikan secara cuma-cuma kepada orang-orang yang tidak mampu mengusahakannya sendiri.
Ah, sungguh pengampunan dan penerimaan Allah memang mengagumkan. Allah mengetahui bahwa dilema dosa kita adalah sebuah malapetaka pribadi yang sangat dalam, sehingga pengampunan saja tidak cukup. Oleh sebab itu, pengampunan tak boleh diremehkan. Sebab Allah tahu kita memerlukan lebih dari sekadar pengampunan dah penerimaan. la pun tahu bahwa setelah kita diampuni dan diterima, kita memerlukan pertolongan setiap hari. la tahu juga kita membutuhkan penyelamatan, kekuatan, hikmat, dan suatu hal untuk melepaskan kita dari belenggu dosa. Intinya, Allah tak hanya mengampuni dan menerima setiap manusia. la juga datang kepada kita dan menjadikan kita tempat kediaman-Nya.
Itu sesuai dengan Rasul Paulus katakan dalam Galatia 2:20, yang berbunyi, "Bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku."
Apakah kenyataan tersebut belum cukup kita rayakan? Atau, kita justru belum cukup yakin bahwa kita pantas untuk merenungkan keajaiban misteri terdalam dari Allah tersebut?
Oleh anugerah, kuasa Allah akhirnya menyusup masuk ke dalam kehidupan kita. Bahkan, tanpa kita sadari, Allah justru berperang bagi kita bahkan saat kita tak sadar diri. Sampai detik ini, kita malah tak menyadari Allah selalu bekerja dalam diri kita untuk menyelesaikan karya anugerah yang telah dimulai-Nya. Ia terus menerus menggerakkan kita untuk menginginkan kita agar melakukan yang benar setiap hari. Jika kita jatuh ke dalam dosa, Allah tak segan menegur kita.
Seharusnya kita bersyukur Allah yang maha tinggi mau begitu saja menegur kita. Sebab, dengan cara seperti itulah, kita mampu memilih dan melakukan hal-hal benar. Di saat kita meleng lalu melakukan dosa, jika kita dengan berbesar hati mengakui, Allah pasti mengampuni kita. Karena pengampunan-Nya, kita semua mendapatkan pengharapan sejati.
Pokoknya jangan biarkan ketakutan menghantui kita lagi. Jika bukan karena campur tangan ilahi yang datang dari Allah sendiri, kita bahkan akan terus menerus hidup bergelimang dosa. Anugerah Allah sungguh lebih tinggi derajatnya dari ketakutan kita.