Kapan Dinikahi?

1102 Kata
Tak biasanya Ibu Kezia sibuk begitu di minggu pagi. Greyzia langsung mendekati ibu kandungnya, yang kelihatannya sedang sibuk melakukan perhitungan terhadap pembukuan akan usaha katering yang sudah dilakoni sejak Greyzia masih SMA. Greyzia mengintip ke arah apa yang dikerjakan oleh ibunya tersebut. "Tumben sibuk, Ma?" tanya Greyzia ikutan duduk bersila di atas ubin. Ibu Kezia hanya mengangguk, lalu kembali memencet-mencet tombol kalkulator. Tabel itu kemudian dicoreti tipis dengan pensil. Yang ada tanda centang, berarti sudah selesai dihitung. Sisanya, masih banyak yang harus diperiksa. "Catering untung banyak, yah, yang aku lihat. Bisa, nih, kita nanti makan-makan di all-you-can-eat lagi." goda Greyzia nyengir dan tampaknya mulai siap untuk membantu ibunya melakukan penghitungan untung-rugi usaha Yabes Catering. Yabes Catering berlokasi sedikit agak jauh dari rumah keluarga Gunawan. Ibu Kezia hanya bertindak selaku pendiri. Yang menjalankan katering itu beberapa orang yang digaji oleh Ibu Kezia. Masih usaha menengah, walau sejak tahun lalu, Ibu Kezia sudah meminta Pak Rey agar dibuatkan satu badan usaha, entah dalam bentuk PT atau CV. Akan tetapi, belum terealisasikan hingga sekarang ini. "Amin, Kak, amin, nanti kalian pasti Mama traktir makan di restoran Taiwan yang baru buka itu. Tapi, tolong, bantu Mama hitung dulu." kata Ibu Kezia tersenyum. Sejak kecil, Greyzia memang sudah senang sekali menghitung uang. Jika terkait hitung-menghitung, langsung sudah otak Greyzia bekerja. Ada desas-desus di antara teman-teman sekolahnya dulu, otak Greyzia sudah bagaikan sebuah kalkulator. Sekali diberikan soal hitung-hitungan, blaaast, hasilnya sudah keluar dari bibir seorang Greyzia Gunawan. Benar saja, dalam sepuluh menit, separuh penghitungannya sudah selesai dikerjakan oleh Greyzia. "Wah, makasih banyak, Kak," ucap Ibu Kezia menepuk bahu Greyzia. "Untung kamu udah bangun pagi. Tahu, nggak, Kak, kadang Mama suka bersyukur punya anak yang jago ngitung kayak kamu. Nggak kayak si Jason itu. Entah apa bisanya dia. Main game mulu bisanya. Tiap kali ditanya, alasannya demi karier. Emang bisa apa, Kak, main game gitu jadi karier?" Greyzia hanya mengangkat bahu. Ia lalu sedikit menggeleng-gelengkan kepala. Sebetulnya ia sempat ikut-ikutan merasa gerah dengan kebiasaan bermain Mobile Legends adik bungsunya tersebut. Namun, Greyzia melakukan pembiaran. Alasannya itu karena Jason sangat menikmati apa yang dilakukan. Mungkin benar yang dikatakan Jason tempo lalu, bermain permainan digital itu bisa menjadi suatu karier. Lagi pula, di zaman sekarang, pilihan karier memang menjadi sangat beragam. Apa saja bisa menjadi karier selama kita serius dan menikmati apa yang kita lakukan. Lihat saja, bahkan hanya berjoget-joget tak keruan (yang anak-anak usia 20-an awal sebut sebagai Joget Pargoy), seorang gadis ABG sampai ditawari endorsement. Karena itulah, sebabnya Jason sangat serius dan menikmati, Greyzia membelikan Jason kursi gaming dan seperangkat alat-alat canggih untuk mendukung karier Jason sebagai seorang gamer. "Makasih banyak, Ci. Gue janji bakal dimanfaatin sebaik-baiknya, biar bisa balik modal. Doain gue sering menang turnamen, yah, Ci Gre. Besok gue sama tim gue mau ikut M5 Tournament. Bakal ketemu gamer-gamer top kayak Brandon, Wilson, sampai Kokoh Jojon yang melegenda gitu mainin hero-hero role assassin. Keren, deh, mainnya Kokoh Jojon itu." ujar Jason yang langsung menjajal penyuaranya. Papan tik dan tetikus khusus tersebut langsung dijajal. Hero, role, assassin, carry, nge-troll, hingga... ah, pusing kepala Greyzia saat Jason menceritakan kembali seluk-beluk aktivitas lainnya Jason sebagai seorang gamer. Greyzia hanya menjawab, "Tapi jangan lu forsir gitu. Mainnya jangan sampai dua puluh empat jam. Kalau dipanggil Mama atau Papa, cepet nyahut sama disamperin, yah, Jason. Jangan keasyikan gitu main game-nya." "Siap, Cici aku yang paling cantik sedunia, tapi sayangnya masih jomlo." ujung-ujungnya Greyzia malah disindir adik bungsunya tersebut. Greyzia tersentak. Lamunannya tadi dibuyarkan oleh goyangan tubuhnya oleh Ibu Kezia. "Malah ngelamun kamu, Kak. Lamunin apaan, kalau Mama boleh tahu? Doi kamu, yah? Eh, kapan doi kamu lamar kamu? Maksud kamu, ajak kamu nikah?" Wajah Greyzia memerah. Ia spontan menggigit bibir bawah. Tangkisnya malu-malu, "Apaan sih, Ma? Aku aja baru jadian dan belum ada sebulanan. Kenal juga belum gitu akrab. Ini udah digiring aja ke topik pernikahan. Jalani aja dulu, Ma." "Kalau udah berani pacaran, berarti harus siap mikirin pernikahan, Kak. Biasanya begitu. Tanya dulu ke doi kamu, dia serius atau nggak." tangkis balik Ibu Kezia. "Eh, Mama mau balik dulu, yah. Tolong diselesaikan, Kak, periksa pembukuannya." Greyzia hanya mengangguk. Begitu ibunya melipir ke kamar mandi, jemari perempuan itu kembali lincah memeriksa satu persatu angka-angka yang ada. Jika ibunya tadi menggunakan kalkulator, seorang Greyzia Gunawan tidak membutuhkannya malah. Selain itu, jika Jason sangat menikmati permainan digital macam Mobile Legends, Greyzia tak memusingkan perkara menghitung uang hingga tahap miliaran. Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, angka-angka dan simbol-simbol seperti tambah, kurang, kali, atau bagi tersebut sudah seperti sahabat bagi Greyzia. *** ”Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru. Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapi tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan. Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.“ Firman membacakan ulang ayat-ayat yang tadi ia baca. Diambil dari surat Rasul Paulus untuk jemaat di Efesus. Ia menekuri sebentar apa yang ia baca tadi. Sejenak ia terkenang kejadian-kejadian yang sudah berlalu selama satu minggu ini. Hingga, entah mengapa perenungan kitab suci itu malah membuat dirinya memikirkan Greyzia, perempuan Tionghoa yang baru saja ia pacari. Rasanya seperti terbang ke kayangan saat Greyzia menerima pinangannya tersebut. Lalu Firman tersenyum sembari wajahnya memerah. "Dia kok ngangenin, yah?" Firman mengingat lagi peristiwa tersebut--saat dirinya menyatakan cinta ke Greyzia. "Mau ngomongin apa?" "Apa kamu mau jadi pacar aku, Zia?" "Hah?" "Iya, aku selalu mengkhayal kamu itu pacar aku, t'rus kita nge-date ke mana gitu. Mau nggak jadi pacar aku?" "Terima dulu aja, Zia. Aku tahu dari Gideon, kalau kamu mendem rasa yang sama juga. Kita jalani aja dulu. Toh, masih tahap pacaran dan belum nikah. Nanti, kalau kita terus menemukan ketidakcocokan, dan kamu makin nggak nyaman sama aku, aku siap kamu putusin kapan aja." "Emm, sebetulnya, emm, menurut aku, Bang Firman itu cowok yang baik. Aku selalu terkesan dengan kamu. Mengagumi kamu juga. Dan--" "Jadi--" "Aku juga suka sama kamu, Bang." Begitu selesai bernostalgia dalam pikiran, Firman tergesa-gesa melipat tangan dan memanjatkan sebuah doa. Firman hanya mendikte dari apa yang tertulis di dalam buku renungan harian tersebut, walau ada sedikit penambahan kata-kata. "Ya, Tuhan, aku memuliakan Engkau, oleh karena keagungan nama-Mu juga, yang sudah menjangkau aku yang sebenarnya penuh dosa ini. Terima kasih atas usaha penyelamatan Engkau. Juga, karena sudah memelihara kehidupan aku dan keluargaku. Aku pun mendoakan hal serupa untuk keluarga pacar aku, Greyzia. Semoga merasakan kasih dan anugerah yang sama dari Engkau, ya, Tuhan. Terpujilah nama-Mu agung, mulia, sampai selama-lamanya. Aku memuliakan nama Tuhan, amin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN