Angga menunaikan janjinya untuk menemani Viera menuju panti mereka sejak kecil. Panti asuhan yang terletak di daerah Bogor, Jawa Barat itu berada cukup jauh ke pedalaman.
Tidak jauh dari panti ada sekolah milik yayasan yang sama yang menaungi panti. Namun memang yayasan itu bukan merupakan yayasan komersil yang menghasilkan uang banyak setiap tahunnya. Justru yayasan itu mengkhususkan bagi para warga yang kurang mampu untuk bersekolah disana dari jenjang sekolah dasar sampai sekolah menengah atas.
Sementara bagian panti berada di belakang gedung sekolah, agak menjorok ke dalam.
Dari panti asuhan bisa melihat pemandangan gunung meskipun cukup jauh, udara dingin masih terasa di sekitaran panti.
Bangunan satu lantai yang mempunyai belasan kamar dengan lorong panjang di depan kamar itu masih berdiri kokoh meskipun catnya telah memudar.
Setelah hampir tiga jam perjalanan, akhirnya Viera dan Angga sampai juga di pelataran gedung sekolah, menaruh mobil disana dan berjalan ke arah bangunan panti.
Viera memandang sekolah yang masih berdiri tegak itu, tempat dimana dia menghabiskan masa kecil hingga dewasa disana, delapan belas tahun lamanya.
Hingga pada akhirnya dia bisa melepaskan diri dari panti yang seolah mengukung kebebasannya, menjadi Viera yang bebas dan justru tak terkendali, masuk ke pergaulan bebas ibu kota. Merokok, minum alkohol, clubbing seolah menjadi satu di dunianya yang seharusnya tak pernah dia sentuh.
Beruntung dia masih cukup pintar untuk tidak terjerat dalam narkoba. Namun tetap saja, dia merasa menyesal, karena kebodohannya itu, kini dia tengah mengandung bayi yang seharusnya belum bersemayam di rahimnya.
Viera melihat pepohonan yang kini tampak menjulang tinggi, masih teringat jelas saat kecil dia yang suka sekali memanjat pohon itu hingga pernah dihukum Bu Lina saat terjatuh, namun wanita itu juga yang berlari tergopoh menuju klinik desa untuk mengobati tubuhnya yang luka.
Ah mengenang Bu Lina, meninggalkan kesan tersendiri di benak Viera, wanita itu yang paling sering mengomelinya, menghukumnya hingga tak jarang memberikan pukulan di bokongnya atau cubitan di pahanya.
Namun wanita itu juga yang paling sering menemaninya tidur di malam hari. Sayang usianya tak panjang karena meninggal saat berusia tiga puluh tahun, persis usia Viera saat ini.
"Sudah lama tidak kesini, apa kabar anakku," Viera yang sedang memandang bangunan panti segera menoleh ke arah sumber suara. Ibu Mila, pemilik sekaligus pendiri panti berdiri dibelakang Viera, wanita yang sudah renta itu nampak masih terlihat segar meski tubuhnya yang sudah ringkih dan bungkuk.
Viera mencium punggung tangan Bu Mila dan memeluknya erat. "Seharusnya Era yang ke kamar ibu," ucap Viera, membahasakan dirinya dengan sebutan Era, nama kecilnya.
Viera menggandeng tangan Bu Mila dan berjalan menyusuri lorong panti.
"Ibu masih kuat nak, kamu sedang mengandung?" tanyanya melihat ke arah perut Viera yang sudah membuncit.
"Iya Bu, sudah jalan enam bulan."
Bu Mila mengusap perut Viera dan terkekeh, giginya yang mulai ompong itu tampak jelas terlihat.
Mata bu Mila melirik ke arah Angga yang berjalan di belakang mereka, Angga hanya mengedipkan matanya pada Bu Mila dan bersiul saat Viera menoleh ke arahnya.
Bu Mila mengajak Viera ke ruangan kantornya, duduk di sofa dan meminta pengurus panti lainnya membawakan minuman untuk Viera dan Angga.
"Sudah lama sekali kamu tidak kesini, padahal ada hal yang mau ibu sampaikan sebelum ibu pergi," ucap Bu Mila tersenyum pada Viera namun matanya menyorotkan kesedihan.
"Ibu mau kemana?" Viera meminum teh manis hangat yang disuguhkan padanya. Lalu meletakkan gelas itu di meja, memegang tangan Bu Mila yang tampak bergetar mungkin tremor.
"Ibu sudah tua anakku, sudah delapan puluh tahun, mungkin Tuhan sudah meminta ibu pulang, ibu khawatir jika tak memberitahukan kamu sesuatu," ucap Bu Mila. Viera meletakkan dagunya di bahu Bu Mila. Dahulu kala, seringkali saat dia habis dimarahi Bu Lina, dia akan merengek pada Bu Mila dan berbaring di paha wanita itu, atau memeluk Bu Mila dari belakang dan meletakkan dagunya di bahu Bu Mila seperti sekarang ini.
"Ibu mau pulang kemana? Disini kan rumah Ibu," tutur Viera manja, Angga yang berada di sofa seberang mereka hanya tersenyum geli dan menggeleng. Padahal Bu Mila seringkali cerita padanya, bahwa Viera adalah anak pembangkang yang sulit sekali jika diberitahu, namun dia jugalah yang paling lantang membela temannya atau ketidak adilan yang ada di depannya.
Dia juga yang paling sering memarahi anak panti yang suka bertengkar memperebutkan hal kecil. Dia layaknya preman di panti itu karena yang paling lama tinggal disana.
Sementara anak panti lainnya banyak yang diadopsi sebelum berusia sepuluh tahun. Tidak sepertinya yang menetap sampai mempunyai kehidupan sendiri, sesering apapun merengek meminta orang tua angkat, namun tetap tak membuatnya meninggalkan panti entah dengan alasan apa.
Salah seorang pengurus panti yang masih tampak muda itu membawakan mereka album foto. Album yang tampak usang itu dibuka Bu Mila.
Memperlihatkan foto bayi Viera, berada dalam dekapan Bu Lina. Viera masih sangat merah kala itu, dan Bu Lina tampak berbaring di ranjang sambil tersenyum mendekapnya. Selimut tebal menyelimuti bagian bawah tubuh Bu Lina.
"Wanita ini, wanita yang kamu benci dan sayang sekaligus, adalah ibu kandung kamu nak," ucap Bu Mila. Viera mengangkat dagunya yang tadi disandarkan di bahu Bu Mila, melepas pelukannya pada Bu Mila dan menggeleng.
"Nggak mungkin kan? Kenapa ibu bohong sama Era?"
"Nak, dengarkan ibu cerita dulu ya," Bu Mila memegang tangan Viera, menepuknya seolah menenangkan Viera. Viera menoleh ke arah Angga. Angga mengangguk seolah memintanya tenang dan mendengarkan penjelasan Bu Mila.
"Lina kesini saat berusia tujuh belas tahun, tengah mengandung kamu," ucapnya. Viera memandang Bu Mila dan membiarkan wanita renta itu menceritakan segalanya. "Dia korban pemerkosaan dari pria mabuk yang tidak diketahui identitasnya. Dia ditemukan pingsan saat pagi hari, dan ketika pulang kerumah dia justru dipukuli ayahnya karena tidak percaya bahwa anaknya adalah korban pemerkosaan," Bu Mila menarik nafas panjang, lagi-lagi menepuk pelan tangan Viera yang masih terpaku mendengar penjelasannya.
"Lina meminta lapor polisi dan melakukan Visum, namun ayahnya menolaknya karena takut mencemarkan nama baik keluarga, sebulan kemudian Lina tidak datang bulan dia sangat takut dan ternyata benar dia hamil, mengandung kamu, dan saat itu ayahnya justru menyuruh menggugurkan kandungannya, Lina tidak mau, lantas dia mengusirnya. Selama dua bulan Lina hidup dengan luntang lantung mengandalkan uang tabungannya, hingga akhirnya dia sampai kesini, di tengah hujan di malam hari, sambil menangis,. Dia tak tahu kemana lagi dia harus pergi, menempuh perjalanan puluhan kilo meter pindah dari tempat satu ke tempat lain.
"Ibu meminta Lina tinggal disini, dia memohon agar diperbolehkan mengandung, melahirkan kamu dan merawat kamu disini, dan demi kebaikan kamu, dia tak mau kamu tahu bahwa kamu adalah anaknya, anak korban dari pemerkosaan, namun bayi itu suci nak," Bu Mila mengusap perut Viera, dan tersenyum pada Viera yang sudah menitikkan air mata, bagaimana bisa dia pernah sangat membenci Bu Lina hanya karena memarahinya, sedangkan Bu Lina mati-matian melindunginya. Viera jadi merasa bersalah pada wanita itu.
Andai waktu bisa diputar kembali dan Bu Lina menceritakan jati dirinya, mungkin Viera akan bisa menyayanginya sepenuh hati. Selama ini Viera merasa dibuang oleh orang tuanya, satu yang dia tak tahu bahwa ternyata dia bahkan tumbuh bersama sang ibu kandung yang selalu menjaganya. Atau mungkin dia akan berpikir sebaliknya, merasa membenci dirinya sendiri yang tak tahu asal usul ayah biologisnya.
"Lina masih terlalu muda saat melahirkan dan merawat kamu, emosinya tidak stabil sehingga sering memarahi kamu, meskipun setelah itu dia akan menangis menyesalinya. Dia selalu meminta ibu untuk tidak menceritakan tentang dirimu, dia takut kamu malu, namun ibu tahu, kamu adalah wanita bijaksana, kamu berhak tahu ibu kandung kamu," tutur Bu Mila. Viera mengangguk dan mengusap air matanya.
"Terima kasih ibu mau menceritakan hal ini, setelah ini Era mau menemui Bu Lina di persinggahan terakhirnya," ucap Viera, Bu Mila memanggil pengurus panti tadi yang membawakannya sebuah kotak. Bu Mila membuka kotak itu, dan ada sepatu rajutan benang wol berwarna merah, masih nampak sangat terawat, juga topi dari benang wol yang berwarna senada dengan sepatu itu.
"Ini sepatu bayi dan topi bayi punya Era, Lina yang merajut saat mengandung kamu, sekarang kamu juga tengah mengandung bayi, kamu bisa pakaikan ini ke bayi kamu nantinya," Bu Mila menyerahkan kotak yang ternyata selain ada sepatu dan topi, namun ada juga dua foto, yang satu foto Bu Lina memakai seragam SMA, dan yang satunya foto Bu Lina tengah mengandung, tersenyum sambil memegang perutnya.
"Dia sangat menyayangi kamu nak," Bu Mila mengusap pipi Viera, Viera mengangguk sambil terisak. Memeluk Bu Mila dan menumpahkan tangisnya. Pantas saja sejak hamil dia sangat ingin mengunjungi panti asuhan tempatnya dibesarkan, ternyata mungkin memang ibu kandungnya lah yang seolah memberikannya pertanda, agar dia mengetahui segalanya saat ini. Mungkin memang sudah sangat terlambat, namun Viera sadar bahwa jika dia tahu saat dia remaja, bisa saja dia akan menyalahkan ibunya atas setiap hal yang menimpanya.
Bukankah manusia memang seringkali seperti itu, menyalahkan takdir, mempertanyakan mengapa terlahir di dunia, saat di dera masalah yang dirasa tak mampu diselesaikannya. Padahal untuk tumbuh dalam sebuah rahim saja, dibutuhkan perjuangan, dan hanya pemenang yang mampu menembus indung telur dan menjadi janin, perjalanan selama sembilan bulan sepuluh hari dalam perut yang semakin lama terasa semakin sempit, lalu terlahir tanpa bisa melakukan apa-apa. Semuanya perlu perjuangan, lantas mengapa seringkali seolah menyalahkan Tuhan? Padahal Tuhan sudah sangat baik memenangkan dirinya dan membiarkannya bertumbuh.
Viera meminta Angga mengantarkannya ke makam tak jauh dari panti asuhan, pemakaman umum bagi para warga itu tampak cukup terawat. Viera membeli bunga yang dijual di depan makam. Melantunkan doa dengan sangat Khusyu untuk ibu kandungnya itu.
Lalu dia kembali ke panti, dan dalam perjalanan menuju panti asuhan, nampaklah olehnya beberapa anak-anak kecil penghuni panti, baru datang entah dari mana, bersama salah satu pengurus panti.
Anak-anak kecil itu tampak berlarian dengan riang gembira, dan menghentikan langkahnya saat melihat Viera dan Angga dari kejauhan.
"Kak EVAN!!!" teriak mereka berbarengan, berlari menghampiri Angga sambil tersenyum senang.
"Evan siapa?" tanya Viera.
***