Viera terbangun saat mencium aroma masakan dari arah dapur, pintu kamarnya terbuka separuh, mengucek matanya dan melihat ke arah jam di dinding. Masih pukul tujuh kurang dan Angga sudah terbangun bahkan memasak di dapur, padahal malam tadi dia pulang sudah sangat larut.
Viera menepuk pipinya, agar segera tersadar dari kantuknya. Dia pun berjalan ke kamar mandi sebaiknya dia mandi agar tak mengantuk lagi, meskipun langkah kakinya terasa sangat malas bahkan dia setengah menyeret kaki itu untuk sekedar sampai ke dalam kamar mandi.
Setelah mandi, seperti biasa Viera mengenakan baju kerjanya dan memakai riasan di wajah. Lalu keluar dari kamar dengan keadaan sudah siap berangkat.
Terlihat Angga yang mengenakan kaos dan celana jeans, tampak santai sekali pagi ini. Apakah dia tidak bekerja? Ah mungkin dia mengambil liburnya.
Viera duduk di kursi meja makan, Angga menoleh dan tersenyum padanya. Pria itu sudah mengambil piring di rak piring lalu memasukkan nasi goreng dengan bahan pelengkap berupa udang serta sayuran di piring itu dan meletakkan nya di hadapan Viera.
Lantas dia berjalan ke kulkas dan mengambil buah alpukat, memblendernya tanpa banyak berbicara pada Viera.
Viera masih memainkan ponselnya sambil menunggu nasi gorengnya agak hangat karena asap mengepul di nasi itu membuktikan bahwa nasi tersebut masih sangat panas.
Setelah membuat jus Alpukat, Angga memasukkan jus itu ke botol air minum dan meletakkan di meja.
"Nanti bawa ini ya, jus Alpukat bagus untuk ibu hamil," ucap Angga yang kini menyendok nasi goreng untuknya dan mulai memakannya.
"Nggak kerja?" tanya Viera.
"Kerja, tapi agak siang, aku anter kamu kerja ya nanti mobilnya taruh di restoran aku aja dulu," ucap Angga, Viera hanya mengangguk dan mulai menyuap makanannya yang spesial dibuat oleh suaminya itu.
"Bagaimana rasanya?" tanya Angga.
"Enak, kenapa kamu nggak jadi koki aja?" tanya Viera sambil mengunyah nasi goreng itu, memang rasanya sangat enak di mulut, matangnya pas dan kaya akan bumbu, juga udang nya yang terasa sangat gurih.
"Ya merangkap," kekeh Angga.
"Ga, aku udah pernah cerita kalau waktu kecil aku tinggal di panti kan?" tanya Viera, Angga mengangguk, dia memang pernah cerita namun tak banyak, hanya saat menjelang pernikahan saja, ketika penghulu menanyakan wali padanya dan dia berkata dia bahkan tak tahu dimanakah ayahnya berada? Dan memang dia selama ini tinggal di panti asuhan tanpa orang tua.
"Kenapa?"
"Minggu besok mau temani aku kesana?" tanya Viera, sudah lama sekali dia tidak ke panti asuhan, kini rasanya dia ingin mengunjungi panti itu, menemui kepala panti yang sudah agak renta, memberikan sedikit rejeki yang dia punya untuk anak-anak panti asuhan tersebut.
"Hmm, boleh," ucap Angga, dia harus segera memberi kabar kepada ibu panti agar berpura tidak mengenalnya dahulu, sampai dengan waktu yang tepat nanti. Karena memang sebenarnya Angga adalah donatur tetap di panti itu sejak mulai bisa menghasilkan uang. Setiap bulan dia pasti rutin mengunjungi panti yang sudah pasti seluruh pengurus panti sangat mengenalnya.
"Sebenarnya aku agak malas sih, apalagi kalau ingat Bu Lina, galak banget sama aku," ucap Viera. Mengingat sosok wanita yang sebenarnya masih terlalu muda untuk menjadi ibu pengurus panti, dan wanita itu tampak hanya galak kepadanya saja.
Terkadang Viera tidak mengerti mengapa Bu Lina seolah membencinya? Karena kenakalan kecilnya selalu membuatnya marah. Karena itu Viera justru semakin berulah, karena sebal dengan perlakuan Bu Lina terhadapnya, membuat dia semakin ingin membuatnya kesal, dengan begitu Bu Lina akan ditegur kepala panti dan Viera merasa puas.
Meskipun di saat yang sama dia juga ikut sedih jika melihat Bu Lina yang memarahinya sambil menangis, terkadang mencubitnya terkadang memeluknya. Namun yang Viera tahu, selama ada Bu Lina, dia merasa tidak bebas, baru ketika sekolah menengah pertama, Bu Lina meninggal karena sakit dan dia merasa bebas, tak ada yang melarang ini itu, yang justru membuatnya menjadi pribadi yang diakuinya keras kepala dan hidup dengan semau hati.
Angga tahu tentang kisah Viera, tentu sejak kecil, saat Bu Lina memarahi Viera, wanita itu akan berlari mencarinya dan biasanya Angga selalu menghiburnya. Jarak usia mereka hanya terpaut satu tahun, kala itu Angga berusia enam tahun dan Viera lima tahun, Angga masih ingat Viera yang suka sekali memanjat pohon dan pernah terjatuh hingga kakinya berdarah. Saat itu Bu Lina tak hanya mengomeli Viera, karena dia pun ikut dimarahi karena dianggap mengajak Viera manjat pohon, meskipun yang terjadi justru sebaliknya, Viera lah yang memaksanya untuk memanjat pohon jambu bersama.
Jika ingat itu, Angga akan tersenyum sendiri, betapa masa kecil yang dihabiskan di panti membuatnya tumbuh menjadi anak yang penyabar dan dewasa, namun dia tak terlalu lama tinggal di panti karena saat berusia enam tahun dia di adopsi oleh sepasang suami istri yang sangat baik.
Angga juga masih mengingat hari itu, dimana Viera memeluknya dan tak pernah melepaskannya, hingga Bu Lina menggendongnya ketika Angga sudah masuk ke dalam mobil orang tuanya.
Angga yang berjanji akan menikahi Viera kala itu, Angga yang berjanji akan datang kembali untuk bermain bersamanya, meskipun yang terjadi justru sebaliknya. Orang tuanya mengajaknya pindah ke luar kota, sehingga tak bisa menemui Viera lagi. Dan saat kuliah, ketika dia datang ke panti, kepala Panti mengatakan bahwa Viera sudah keluar dari panti itu sejak lulus sekolah menengah atas, dan Viera tak memberikan nomor handphonenya kepada pengurus panti, sehingga Angga merasa sulit menemuinya. Dan barulah mereka bertemu lagi di restoran itu dengan Viera yang sangat berbeda, namun Angga selalu mengenalnya, mengenal wanita yang namanya selalu ada dalam doanya.
"Kok bengong?" Viera melambaikan tangannya di depan wajah Angga.
"Eh,, maaf tadi ngomong apa?" tanya Angga gelagapan.
"Nggak ngomong apa-apa kok, yuk berangkat," ucap Viera. Angga pun berdiri, membereskan piring kotor dan mencucinya, lalu mengambil kunci mobil Viera dan berjalan bersamanya menunggu lift. Namun yang tak disangkanya justru muncul. Desi keluar sambil menuntun anak terakhirnya itu. Memakai pakaian yang cukup rapi dengan make up yang agak tebal.
"Pagi Mas Angga, Mbak Viera," sapa Desi.
"Pagi," balas Angga, sementara Viera memilih mensedekapkan tangan di d**a, malas sekali pagi-pagi bertemu dengan ibu ganjen satu itu.
"Mau kemana?" tanya Angga berbasa-basi, Viera mendelik. Untuk apa sok akrab dengan wanita itu?
"Biasa antar anak sekolah, kalau kakak-kakaknya sudah berangkat sama ayahnya tadi," jawab Desi sambil mengibaskan rambutnya. Viera memutar bola matanya jengah. Genit! Pikirnya.
Pintu lift terbuka dan mereka pun masuk ke dalam lift menuju basement.
"Oiya Mas Angga, akhir bulan nanti kita mau adain bakti sosial, mengumpulkan baju yang layak pakai, barang kali mas mau nyumbang,"
"Oh boleh tuh, ide bagus," ucap Angga antusias.
"Minta nomor telepon Mas Angga ya, nanti dimasukkin ke grup warga," Desi menyodorkan ponselnya, Viera tak mau peduli terserahlah, malas sekali jika dia menunjukkan ketidak sukaannya pada Desi, bisa-bisa mereka berdua akan menyangka kalau dia cemburu. Padahal kan tidak sama sekali!
Angga melirik ke arah Viera, "Nggak apa-apa nih kasih nomor aku?" tanyanya, Viera hanya mengangkat bahu acuh, "terserah," ucapnya. Angga mengulum senyumnya dan mencatat nomor teleponnya di ponsel Desi.
Desi menyimpan nomor Angga dan meletakkan ponsel itu di tas, "Terima kasih ya Mas Angga," ucapnya manja, membuat Viera kian jengah.
Lift sampai di basement, Viera berjalan lebih dahulu dan meninggalkan Angga yang masih berbasa basi pada Desi.
Desi berjalan ke arah sebaliknya untuk mengambil mobilnya yang terparkir di bagian lain.
Angga mengejar Viera yang berjalan cepat padahal memakai high heels. "Sudah terlambat ya?" tanya Angga sambil memperhatikan jam di tangannya.
"Nggak, males aja liat muka Desi!" Viera berdiri di samping mobilnya dan Angga membukakan pintu untuk Viera. Lalu dia pun berjalan menuju pintu mobil sebelahnya, duduk di kursi kemudi.
Menyalakan mobil dan memanaskan sebentar, lalu mulai melajukannya.
"Percaya deh, nanti perempuan itu akan chat kamu terus," ucap Viera.
"Masa sih?"
"Nggak usah disave nomornya, biar nggak bisa liat status kamu."
"Kamu nggak lagi cemburu kan?" kekeh Angga.
"Aku? Cemburu sama dia?? Ish sorry bukan level aku dia tuh," ucap Viera sambil memegang dadanya dan bergidik, bersaing dengan Desi sama saja menjatuhkan harga dirinya.
"Ya sudah kalau nggak cemburu, berarti nggak apa-apa dong aku save nomornya?"
"Dasar gatel," decih Viera. Angga memperhatikan wajah Viera dari kaca mobil yang berada di dekat kepalanya dan tersenyum geli.
"Save nggak nih?" ledek Angga.
"Jangan!" Viera melipat tangan di dadanya.
"Jusnya tadi dibawa?"
"Bawa!"
"Kok jadi ketus?"
"Bawel!"
"Ya sudah aku nggak save nomornya,"
"Terserah ah! Bahas yang lain aja sih,"
"Baju kamu sudah kepenuhan di lemari, nanti kita sortir ya, sebaiknya di sumbangin kalau tidak terpakai,"
"Kalau mau nyumbang tuh pakai yang baru, biar lebih bagus," Viera sepertinya tampak masih sebal, menjawab ucapan Angga dengan ketus.
"Betul juga sih, tapi tetap sortir ya, biar kamu kalau ngambil baju nggak jatuh-jatuhan lagi," ucap Angga, pandangannya masih lurus ke depan, menatap jalanan yang tampak mulai ramai di pagi hari ini. Membelokkan mobil yang dia kendarai di persimpanan jalan.
"Daripada sortir bajunya, lebih baik beli lemari baru."
"What?" Angga terkejut, menoleh pada Viera dan pemikiran ajaibnya, yang ditatap hanya mengangkat bahunya seolah tak peduli dengan tatapan protes dari suaminya itu.
Angga menggeleng, bagaimana bisa Viera justru mencetuskan lemari baru? Memangnya dia mau tidur diatas lemari? Kamarnya saja sudah cukup sempit dengan lemari besarnya.
Biarlah nanti jika waktunya pas, Angga akan mencoba berbicara lagi dengan Viera, permasalahan baju ini harus tuntas, atau dia akan selalu mendapati lemari Viera yang berantakan terus karena bajunya yang sudah berjubalan dan sangat penuh.
***