Pengakuan

1659 Kata
"Sayang, ayo tenangkan dirimu!" pinta Moza sembari menyentuh ujung cuping telinga Hans dengan bibirnya yang juga sudah berkeliaran di leher sejak tadi. "Aku akan membantumu untuk merenggangkan setiap otot-otot di tubuhmu," rayunya dengan gaya menggoda. "Aku ingin sendiri," kata Hans yang menepis keinginan perempuan yang sudah mulai membuatnya gerah saat ini. "Pergilah!" 'Tidak akan. Aku tidak mungkin membiarkanmu sendirian, Hans. Bisa saja, kamu malah menghentikan kekejaman ini dan memerintahkan anak buahmu untuk membawa wanita berbahaya itu kembali. Lagipula, dengan cara seperti ini, setidaknya perempuan ini akan antipati kepadamu.' Ucap Moza tanpa suara. Sepertinya Moza sudah merasa berada di atas angin kali ini. Sebab, ia dapat menembak dua burung sekaligus dan mengenai sasaran tepat di dadaa mereka. "Ayolah ... ," bujuknya sekali lagi. "Jangan menolakku, Hans! Lagipula, kita sudah lama tidak bercinta dan aku sangat merindukan kamu," ucap wanita ular itu sambil terus berdesis manja. Hans yang tiba-tiba saja melemah, hanya berdiri tanpa suara. Rasanya, tulang-tulang di sekujur tubuhnya menghilang. Entah apa yang membuatnya seperti itu? Apakah karena bingkai dan foto sang mama yang sudah berderai atau disebabkan oleh Aurora serta air matanya. 'Lepas!' Tiba-tiba saja suara gadis bermata safir itu terdengar jelas di telinga Hans dan itu membuatnya tidak bahagia. Hans melepaskan jeratan kedua tangan Moza yang terus membelenggu perut laki-laki kokoh yang penuh dengan otot hangat tersebut. Tetapi, Moza semakin mengeratkan dekapan kedua tangannya seperti ikat pinggang yang ditarik lebih kencang daripada sebelumnya. Merasa geram, Hans segera membalik tubuh dan menatap Moza dengan pandangan datar. Awalnya, perempuan itu mengira bahwa Hans terbujuk dan akan segera melakukan keinginannya. Namun ternyata, ia salah besar. Saat itu, Hans memegang kedua lengan Moza yang hanya ditutupi oleh selembar kain tipis dan membuang tubuhnya ke atas tempat tidur dengan kasar. "Jika aku mengatakan lepas, maka kamu harus melepaskanku!" ujar Hans dengan suara yang tipis, namun mampu menusuk dan merobek jiwa Moza. "Sejak bertemu dengan perempuan itu, kamu terasa begitu kasar kepadaku, Hans," kata Moza yang mulai memainkan aktingnya. "Kamu tidak lagi seperti Hans yang aku kenal, sejak tiga tahun terakhir. Bahkan kamu sanggup menyakitiku dengan cara seperti ini," ucap Moza masih dalam posisi terbaring dan pura-pura sakit di atas tempat tidur. "Hans, apa kamu lupa dengan setiap waktu yang kita lewati bersama atau ketika malam disaat kamu merindukan semuanya? Hanya akulah yang ada bersamamu, serta mendekap tubuhmu dengan erat." "Sejak awal, kamu adalah milikku dan aku adalah milikmu." Moza berdiri sambil menantang mata laki-laki bertubuh kekar tersebut. "Sejak dulu, aku tidak pernah memaksamu. Lagipula, aku juga tidak pernah memintamu untuk menjadi selimut di dalam kedinginan jiwa dan ragaku." "Jika kamu melakukannya, berarti kamu yang menginginkannya. Bukan hanya aku," balas Hans terdengar seolah ingin mengatakan bahwa Moza lah yang memberikan tubuhnya kepada Hans. Dan semua itu tidak ada hubungannya dengan keterpaksaan. "Kamu keterlaluan Hans," cerca Moza sembari menggelengkan kepala dan pura-pura menitikkan air mata. "Satu lagi! Jangan menyebarkan informasi palsu kepada siapa pun, termasuk Frans! Aku dan kamu tidak memiliki hubungan khusus, selain bos dan sekretaris pribadi. Ingat itu, Moza!" ancam Hans yang semakin terlihat tidak suka pada wanita sok seksi ini. Akhirnya, kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Hans semakin menyakiti Moza. Ia pun tampak marah dan mengukir dendam mendalam, bahkan tidak ada satu pun alat yang mampu untuk mengukurnya. 'Ternyata, dia dan papanya sama saja. Darah itu mengalir kental di dalam tumbuh Hans. Begitu juga dengan kesombongan Prawira. Tapi, aku sudah bersumpah akan menghancurkan kalian, hingga mengemis pengampunan dariku!' Kata Moza tanpa suara sambil menatap tajam. Sekitar pukul 22.00 WIB, Moza masih belum juga berniat untuk meninggalkan Hans seorang diri. Tampaknya, ia benar-benar takut jika Hans berubah pikiran dan mengurungkan hukumannya kepada Aurora. "Selamat malam, Tuan," sapa Ratih dengan wajah pucat dan suara yang terdengar lemah. "Mohon izinkan saya masuk!" pintanya yang terlihat berusaha untuk menjangkau Hans Prawira. "Dia lagi ... ngapain di sini sih?" tanya Moza yang sudah berdiri dan berniat untuk mengusir Ratih. "Silakan!" jawab Hans, sesaat sebelum langkah Moza tiba di muka pintu. Ketika mendengar perkataan Hans tersebut, Moza langsung menghentikan gerakannya dan menoleh ke arah Hans, seperti seorang musuh yang sudah lama memendam keinginan untuk membunuh. "Kamu benar-benar keterlaluan, Hans," ucap Moza terdengar begitu kecewa. Saat ini, ia merasa bahwa Hans sengaja melakukan semua ini untuk menyakitinya. Ratih berjalan tertatih-tatih, Moza pun kian mengejek dengan bentuk bibirnya nan tajam. Hal utama yang paling membuat perempuan itu tidak habis pikir adalah, bagaimana Hans masih bersedia mempekerjakan wanita lemah dan sakit-sakitan seperti Ratih. "Ada apa, Ratih?" tanya Hans yang sama sekali tidak mengetahui tujuan kepala pelayan tersebut. Ratih duduk dan berlutut di hadapan Hans. Sesekali, cahaya kilat menghiasi pemandangan itu dan semakin membuat Hans teringat akan ucapan yang merupakan pesan mamanya. 'Mereka adalah orang-orang yang setia, Sayang. Jangan biarkan mereka menderita di luar sana! Biarlah rumah ini menjadi tempat mereka untuk kembali.' Suara wanita berhati lembut itu, kembali terngiang di telinga Hans. "Hari ini saya kembali tidak berdaya, Tuan," ucap Ratih yang wajahnya memang dapat menjelaskan kondisinya. "Jadi, Ara menyelesaikan semua pekerjaan saya dengan tangannya sendiri." "Berhenti membual dan katakan niatmu?!" celetuk Moza yang tidak suka ketika mendengar perkataan Ratih karena bernuansa sanjungan terhadap Aurora. "Lanjutkan!" pinta Hans dengan suara yang stabil. "Tadi pagi, sayalah yang masuk ke dalam kamar Anda dan merapikan semuanya." Ratih mulai mengatakan sesuatu agar Hans membuka sedikit hatinya untuk Aurora. "Benarkan, Nona Moza?" tanya Ratih yang sudah menatap Moza, lalu tertunduk. "Apa maksud perkataan kamu?" Moza berdiri dan siap melakukan tendangan maupun pukulan terhadap kepala asisten rumah tangga di rumah ini. Ratih memberanikan diri untuk menatap Hans, "Setahu saya, tidak ada satu pun yang diizinkan untuk masuk ke dalam kamar ini, jika Anda tidak di tempat, kecuali saya. Dan saya menularkan peraturan itu secara tegas kepada seluruh pelayan di rumah ini, termasuk Ara." "Jadi, maksud kamu. Sayalah yang melakukan semua ini? Ha ha ha ha ha, untuk apa? Dasar orang rendahan, menjijikkan!" Ratih kian mencerca dan terus menusuk jiwa perempuan setia tersebut. "Tuan ... ." "Aku tahu, kamu memiliki kedekatan yang baik dengan gadis itu. Tapi bukan berarti kamu harus membelanya ketika salah," jawab Hans tidak ingin bersikap kasar kepada Ratih. "Aku menghargai kamu karena mama, jadi tolong jangan membuat keributan!" "Tuan, kita tinggal membuktikannya saja! Anda bisa lihat sendiri kebenarannya," tantang Ratih yang sangat percaya, jika Aurora tidak akan melakukan hal sebodoh itu. Apalagi misi mereka adalah mendapatkan Hans yang kembali pada sifat dasarnya. Mana mungkin mereka akan membangkitkan monster dari sarangnya. "Bagaimana? Tidak ada CCTV di kamar ini." Hans seperti hilang akal dan ia tidak mampu berpikir jernih. "Anda memiliki teman dekat di kepolisian. Anda bisa membayar berapapun jika mau. Ambil saja sidik jari di foto itu!" saran Ratih yang melihat, bahwa bingkai dan gambar nyonya besar masih tergeletak di lantai. Sebab, tidak ada satu pun orang yang berani menyentuhnya. "Maka selain sidik jari tangan saya, pasti ada milik si pelaku sesungguhnya." Hans menghela napas panjang, "Ini tidak mudah," jawab Hans menatap tajam ke arah depan. "Harus ada laporannya." "Bila perlu, biayanya bisa Anda ambil dari gaji saya, Tuan." Ratih kembali membungkukkan tubuhnya dan memohon. "Anda bisa memakai tuduhan pencurian jika mau. Saya yakin dan percaya, Ara tidak akan melakukan semua ini," tukas Ratih sekali lagi. "Kamu ... ." Moza susah tampak begitu geram dan ia langsung menyerang Ratih. Jika pukulan sampai kepada kepala pelayan tersebut, bisa dipastikan ia akan tiada karena keadaannya begitu lemah. Pukul 23.18 WIB. Beberapa orang petugas berkumpul dan langsung melakukan pemeriksaan. Hans mengikuti kegiatan itu sambil berharap, bahwa apa yang Ratih katakan adalah benar. "Awan, apa semua ini bisa dibuktikan sesegera mungkin?" tanya Hans di hadapan Moza dan Ratih. "Tentu saja," jawab polisi yang bertugas di polresta tersebut sembari memperlihatkan alat berwarna hitam yang bentuknya seperti mesin gesek kartu kredit. "Alat ini dapat mengidentifikasi data diri seseorang kurang dari satu menit, asalkan orang yang diambil sidik jarinya sudah terdaftar di elektronik KTP atau e-KTP. Alat ini terintegrasi dengan basis data e-KTP," jelas laki-laki tinggi tersebut dengan lugas. "Oke, bagus kalau begitu." Hans terlihat bersemangat, tidak seperti sebelumnya. 'Apa? Tidak mungkin.' Moza mulai pucat dan cemas. "Cara mengidentifikasi dengan alat ini, hanya untuk yang mempunyai e-KTP. Kalau sudah buat e-KTP, akan teridentifikasi langsung dalam waktu yang nggak sampai semenit," jelas Awan dan itu semakin membungkam mulut kasar Moza. Saat itu, Moza mundur beberapa langkah dan ia berniat untuk melakukan sesuatu agar petugas berbohong. Sayangnya, ia tidak memiliki kesempatan yang baik untuk melakukannya (Memberi suap). "Apa saja barang atau perhiasan yang hilang, Tuan?" tanya anggota yang lainnya dari sudut kanan. "Perhiasan berharga milik mama," jawab Hans yang sedang berbohong. "Tapi, karena semua orang di rumah ini sudah bekerja sangat lama di sini, aku akan memberikan kesempatan bagi kalian untuk jujur!" "Tidak, Tuan. Mana mungkin kami melakukannya. Gaji kami sangat besar di rumah ini," kata salah satu asisten rumah tangga sambil tertunduk. "Baiklah, kita lihat saja nanti," jawab Hans simpel. "Aku sangat ingin tahu, siapa dalang sebenarnya." Moza yang memiliki segudang rahasia, tidak bisa membiarkan Hans mengetahui mengenai sidik jari tersebut. Ini bukan lagi perkara foto mamanya Hans dan pelaku. Melainkan identitas asli Moza yang telah ditutupi kurang lebih lima tahun lamanya. "Hans, hentikan semua ini!" pinta Moza sebelum terlambat dan seluruh kebenaran terbongkar habis. "Tentu saja," jawab Hans santai. "Tapi, setelah aku mendapatkan pelakunya." "Aku yang melakukan semua ini," sahut Moza dengan suara yang bergetar dan kali ini ia memang tampak ketakutan. "Aku cemburu kepadanya, Hans. Kamu sudah mengabaikanku," sambungnya terdengar semakin ketakutan. "Cukup, Awan!" pinta Hans sambil mengangkat tangan kanannya. "Kami akan membicarakan semua ini, secara kekeluargaan." Hans menahan penyidikan itu, sesuai janjinya. "Sebenarnya tidak bisa seperti ini. Sebab, kami juga harus membawa laporan pulang ke kantor." "Mari kita bicarakan semua ini!" Hans merangkul Awan untuk menyelesaikan semuanya. Selang beberapa menit, para petugas meninggalkan rumah mewah tersebut dan Hans menatap Moza dari jarak yang cukup jauh. Saat ini, terlihat sekali kekesalan di wajahnya. 'Aku harus menjemput Aurora!' Perintah hati pada otak Hans. Bersambung. Jangan lupa tab love, tinggalkan komentar, dan follow ya. Makasih. Oh iya, mampir ke n****+ aku yang pendek yuk. Ada LIKE A VIRGIN dan SCANDAL BADAI SALJU
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN