Sebatas Harapan
ERIKA berdiri depan jendela kamar yang terbuka lebar. Menatap bunga-bunga indah yang tumbuh di halaman samping rumah. Bunga-bunga yang cantik, desisnya dengan suara pelan. Warnanya beraneka. Merah, putih, kuning dan ungu. Memesona. Membuatnya takjub. Lidahnya berdecak kagum. Tak pernah bosan menatap dan menikmati keindahannya. Terkadang menjadi rutinitas. Ia suka bunga. Setiap pagi dan sore, ia akan membantu Rina menyiram bunga. Bunga-bunga harus disiram. Ia ingat ucapan guru di kelasnya. Apalagi sekarang musim kemarau. Bunga-bunga akan layu kekeringan jika tak disiram.
Angin dari luar, menerpa wajah Erika. Bibirnya mengulas senyum manis. Ia selalu bahagia jika melihat bunga. Sama seperti Rina, perempuan yang dianggapnya--ibu kandungnya. Suka menatap bunga. Suka pada bunga. Apa yang Rina suka, Erika pun ikut suka. Ia sayang ibunya. Ya, Erika tahunya-- Rina itu perempuan yang pernah mengandungnya selama sembilan tahun. Lalu melahirkannya. Teman-temannya di sekolah pernah bercerita. Tentang perempuan yang melahirkan. Katanya, sangat sakit. Sakitnya tiada tara. Mereka tahu hal itu dari cerita orang dewasa. Ibu mereka, nenek, bibi atau saudara yang lain mereka, yang berjenis kelamin perempuan. Lantaran yang namanya perempuan yang pernah melahirkan akan merasakan dan tahu bagaimana rasanya mengeluarkan jabang bayi. Namun, saat bayi keluar, rasanya nikmat. Erika pernah tertawa mendengar cerita temannya. Lalu di malam hari, saat Rina hendak membacakan dongeng sebelum tidur, ia bertanya : “Mama, apakah Mama juga sakit ketika melahirkan Erika?”
Erika melihat sorot kesedihan di mata Rina kala itu. Ia belum bisa menafsirkan. Ia berpikir Rina tengah sedih karena suatu hal lain. Bukan tersebab prtanyaan yang terlontar dari mulut kecilnya. Padahal, jauh di lubuk hati, Rina merasa pedih yang tak terhingga. Rina tak pernah mengandung dan melahirkan Erika.
“Kenapa Mama sedih?” tanya Erika lalu mengusap kelopak mata Rina.
Rina menggeleng pelan dan mengulas senyum. “Tidak. Mama tidak sedih. Cuma Mama heran, kenapa Erika tanya hal itu?”
“Emang tidak boleh?” mata polos Erika menatap mata Rina.
“Pertanyaanmu belum pantas kamu lontarkan sekarang.”
“Kenapa?”
“Karena kamu masih kecil. Tadi itu pertanyaan orang dewasa.”
“Jadi... tidak boleh?”
“Belum boleh. Nanti saat kamu dewasa, kamu boleh membahas hal itu. Sekarang, Mama akan mendongeng Putri Cinderella, ya?”
“Baik, Ma... tapi Erika ingin melihat bunga. Katanya Putri Cinderella secantik bunga.”
“Sekarang kan sudah malam. Waktunya bobo. Di luar pun sudah sangat gelap. Besok pagi kita bersama ke halaman. Menatap bunga dan menyiramnya.”
Erika masih mengulas senyum. Ia senang sekali mengingat perbincangan bersama Rina. Semua yang berhubungan dengan Rina, terasa indah baginya. Rina, seorang ibu yang cantik, baik dan penyayang. Tutur katanya lembut. Erika bangga memiliki ibu seperti Rina.
“Erikaaaa...” panggil Rina dari arah pintu kamar. Membuyarkan lamunan Erika. Anak itu menoleh. Lalu membalas senyum Rina.
“Bagaimana tadi kegiatan di sekolah?” Rina menghampirinya.
“Ulangan Matematika Erika mendapat nilai tertinggi. Dapat sepuluh. Tapi ulangan bahasa Indonesia hanya sembilan puluh. Ah, kenapa salah satu ya, perasaan Erika... Erika mengisi dengan benar,” keluh Erika dan terdengar sedikit kecewa.
“Tidak usah mengeluh. Alhamdulillah kan dapat sembilan puluh. Mencontek tidak?”
Erika dengan cepat menggeleng lalu menatap perempuan yang berdiri di dekatnya. “Ah, Mamaaaa... Erika tidak pernah mencontek. Tapi kalau Bagas dan Cindy, ya mereka mencontek tidak kapok-kapok padahal sering ketahuan Bu Guru.”
“Mama kan becanda, sayang,” Rina memegang ubun-ubun kepala Erika. “Kamu nasihati Bagas dan Cindy biar jangan terbiasa mencontek, ya? Harus mau jujur.”
“Ya, Ma... kalau Erika selalu jujur.”
“Bagus! Memang harus terbiasa dari kecil bersifat jujur.” Rina mengelus rambut Erika yang lurus dan lembut, yang panjangnya melewati bahu. Erika memegang tangan Rina. Menciumnya penuh hormat. Mataya kembali beralih ke luar jendela. Menatap bunga.
“Ma... kasihan ya bunga-bunga kalau tidak disiram?”
“Ya, kita harus memperhatikan tanaman. Gerah tidak?”
“Gerah dong, Ma.. makanya jendela... Erika buka lebar saja. Biar angin masuk. Kan segar, ya? Ma, kapan musim penghujan? Kalau banyak hujan, bunga-bunga pasti senang, ya?”
Rina menanggapi celoteh Erika, bidadari kecil yang sangat disayanginya. Kembali dielus kepala mungil itu. Tak terasa, anak itu sudah berusia sepuluh tahun dan duduk di kelas empat sekolah dasar. Awal Rina dan Danang bercerai, Erika masih acap menanyakan ayahnya. Namun kian ke sini, mulai jarang menanyakan. Terlebih ayahnya pun hanya sekian bulan sekali menengoknya. Rina sebenarnya malas dengan kedatangan Danang. Ia tahu, lelaki itu bukan hanya ingin bersua anaknya tapi juga mendamba bersua Rina. Nia, kakaknya pernah menyarankan agar Rina menyerahkan saja Erika pada Danang. Namun justru menyulut emosi Rina. Ia sangat sakit hati dengan ucapan kakaknya. Dulu Nia kerap membela Danang saat masih menjadi suami Rina. Bahkan simpati pada Erika. Namun setelah perpisahan Rina dan Danang dimana Rina bersikeras mempertahankan Erika untuk tetap tinggal bersamanya, Nia tampak sedikit antipati pada anak yang tak berdosa itu.
Tindakan Rina sempat mengundang cemooh atau sebatas rasa heran khalayak akan keputusan yang dianggapnya tak lazim. Erika itu anak tiri saat Rina masih terikat dengan ayahnya. Namun jika lelaki itu sudah pergi dari kehidupan Rina, status Erika bagi Rina, disebut apa? Anak tiri bukan. Anak kandung jelas bukan. Anak angkat, atau apapun namanya, bukan juga. Dulu, Rina pernah berniat mengatasnamakan Erika sebagai anak kandung dalam catatan dokumen negara. Namun kala itu dipertimbangkan lagi mengingat, ia punya anak kandung, Dani---yang akan tumbuh semakin dewasa, menikah dan punya anak. Dan status Erika sebagai anak kandung di akte tertulis dikhawatirkan akan memicu permasalahan yang kompleks dalam keluarga besar di kemudian hari.
Keputusan Rina yang mempertahankan Erika tetap tinggal bersamanya memang sempat menjadi bahan perbincangan orang-orang. Sudah banyak yang tahu kalau anak itu anaknya Danang dari perempuan lain. Sementara Erika yang masih polos dan lugu karena usia yang belum cukup mengerti, lebih menikmati hari-harinya dengan limpahan kasih sayang yang didapatkan dari Rina.
Sebagai ayah, Danang berusaha bertanggung jawab. Meski tak memaksa meminta Erika ikut padanya lalu beberapa kali pasca perceraian, ia membujuk Rina menyerahkannya. Namun Rina teguh pada pendirian. Sekali tidak tetap tidak. Ia sudah terlampau mencintai anak itu. Tak peduli lagi apa kata orang meski mendapat kecaman dari keluarganya sendiri. Hanya Ema, sahabat yang paling memahami dengan keputusannya.
Demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, selama menjadi janda, Rina tetap konsisten membuka usaha menjahit yang sudah sangat sepi dari pengunjung. Namun ia tetap menekuni dan berusaha sabar. Tak putus berdoa. Hingga beberapa bulan kemudian, usahanya mulai membaik. Meski belum normal. Namun untuk makan sehari-hari sudah cukup. Dani, kuliah di kota dan kos di sana. Rina pun membiayai dari simpanan perhiasan selama menjadi istri Danang. Hingga suatu ketika, perhiasannya tak bersisa. Dani terkendala kurang biaya hingga ia malu dan tak punya kepercayaan diri di kampusnya. Rina menyarankan berhenti kuliah dan cari kerja. Namun Dani bersikeras ingin melanjutkan kuliah.
“Rin, apa kau tak pernah berpikir untuk bersuami lagi? Menikah dengan lelaki yang bisa menjadi ayah Dani dan Erika,” saran Ema dengan hati-hati sekali. Jika tengah labil, Rina bisa terpancing amarahnya. Sebagai orang yang sudah lama menjadi sahabatnya, Ema memahami kapan kondisi Rina labil atau tidak.
“Entahlah, Em...”
“Tumpahkan saja keluhanmu.”
“Kamu tahu saja.”
“Aku kan sahabatmu...”
“Ya, Em. Kalau Dani sudah menuntut minta uang, tak boleh tidak ada. Aku bingung, ayahnya juga sudah lama tak menemuinya. Dani pun balas tak mau menemuinya. Sama-sama bertahan. Sama-sama keras kepala. Yang bingung ya tentu saja, aku...”
“Menurutku, kau perlu lelaki yang akan menemani sepanjang hidupmu. Yang akan menyayangi bukan saja padamu tapi juga pada anakmu, Dani dan Erika.”
“Ada saran apa lagi untukku?”
“Kau pilih salah satu dari mereka.”
“Mereka siapa sih, Em?”
“Ah, kau pura-pura. Dalam hal ini, kau mungkin masih menyembunyikan dariku. Tapi aku tahu siapa saja lelaki yang berusaha mendekatimu.”
“Lelaki itu pada dasarnya sama, Em. Hanya ingin meluapkan hasrat dan mencari perempuan yang dianggapnya kesepian.”
“Tidak semua begitu. Buktinya suamiku tidak,” Ema melirik dan tersenyum.
“Sayangnya, setiap lelaki yang mendekatiku.... sepertinya tak tulus.”
“Kenapa kau menyimpulkan semua? Kau sudah mengetes satu persatu?”
“Mengetes apa?”
“Maksudnya... menguji mereka dari hal apa yang patut diuji hingga kau bisa menyimpulkan semua.”
Rina terdiam sesaat.
“Kenapa diam?”
“Aku berpikir, Em.”
“Berpikir kalau ucapanku benar kan? Kau terlalu merawat rasa ragumu.”
“Wajar, Em. Aku pernah dikecewakan lelaki dan itu Danang.”
Ema memegang lengan Rina. “Aku paham dengan perasaanmu. Tapi pengalaman buruk jangan terus menjadi bayanganmu. Jadikan cermin saja, dan ambil hikmah dari semua. Kau pun bisa mempertimbangkan masak-masak, apa langkah yang hendak diambil. Semisal memilih lelaki dan memutuskan untuk hidup berumah tangga lagi, tentunya kau punya pengalaman masa lalu agar tak berulang kegagalan lagi. Bukan begitu, Rin?”
Rina menghela napas.
“Rin, pikirkanlah hidupmu selanjutnya. Menikahlah dengan salah satu lelaki yang mengharapkanmu.”
“Yang mengharapkan dan statusnya sendiri. Aku tak mau menikah dengan bujangan apalagi suami orang,” Rina teringat beberapa lelaki yang menginginkan ia jadi istrinya. Menikah dengan lelaki bergelar salah satu dari itu, bujangan atau status suami orang, beresiko tinggi. Ia pun ngeri membayangkannya.
“Menurutku, sama bujangan, itu lebih baik. Kan bukan milik perempuan lain.”
“Ya, tapi mengundang cemooh.”
“Biarkanlah anjing menggonggong kafilah berlalu.”
Rina tersenyum. “Tidak, tidak... aku tetap tak mau menikah dengan bujangan.”
“Duda... itu lebih tepat,” Ema tersenyum lagi. “Ya kan?”
“Ah...” desah Rina.
“Ah, kenapa?”
“Tak semudah itu...”
“Lho, kan ada calonnya?”
“Maksudku... yang bersedia menjadi suamiku itu tak mudah, harus menerima syaratku.”
“Anak?”
“Tentu saja.”
“Kalau duda yang menikahimu, apalagi dia punya anak, tentu dia pun akan menerima anak-anakmu.”
“Dani mungkin saja diterima, Em. Tapi Erika... Erika kan bukan anak kandungku.”
“Apa tak boleh seorang calon istri mengajukan syarat agar si calon suami menyayangi anak calon istri walaupun anak itu misal... bukan anak kandung si calon istri tersebut. Dalam kasusmu... kan jelas...”
“Nah, itu justru yang mengusik pikiranku.”
“Ajukan saja syaratmu itu. Dia harus menyayangi Erika. Titik.”
Perbincangan mereka terhenti kala Erika muncul dari kejauhan. Anak itu mendekat. Wajahnya muram. Rina menyuruh duduk di sampingnya. Dibelainya rambut anak itu.
“Kenapa? Bertengkar sama temanmu?” pancing Rina.
Erika menggeleng.
“Lalu kenapa dengan wajahmu? Ko kelihatan sedih begitu?” Rina penasaran.
“Erika sakit hati mendengar ucapan Mita.”
“Apa kata Mita?”
“Kata... nya, Erika... bukan... anak Mama,” ucap anak itu sedikit terbata-bata. Rina bagaikan mendengar halilintar menggelegar di siang hari.***