Apa Erika Anak Mama?
BEBERAPA kali, Rina mendapat pertanyaan yang sama dari Erika. Pertanyaan yang membuat hatinya tak nyaman. Semenjak tempo hari Erika pulang dari bermain dengan wajah muram lantaran salah satu teman sepermainannya mengatakan Erika bukan anak Rina, semenjak itu pula perasaan Rina didera gelisah. Gelisah yang tak berkesudahan. Meski ia sudah menegaskan pada Erika, jika apa yang temannya itu bicarakan, tak benar sama sekali alias bohong. Kala itu, Erika percaya. Senyumnya kembali mengembang. Wajahnya pun berseri. Ia percaya apa yang ditegaskan perempuan yang selama ini dianggap ibu kandungnya--bahwa temannya itu hanya bercanda. Hanya ingin membuat Erika sedih. Begitulah jika kita berteman. Terkadang baikan. Terkadang berselisih. Sudah biasa.
Ema kala itu pun ikut membenarkan. Erika pun kembali ke pekarangan dengan girang. Menghampiri teman-temannya yang kembali mengajaknya bermain. Ema dan Rina geleng-geleng kepala. Begitulah anak-anak. Mudah dibujuk. Mudah didustai kendati dusta itu tidak boleh. Namun jika untuk menutupi sesuatu hal yang dikhawatirkan mencuatkan permasalahan terutama yang besar, ya... dusta itu diperbolehkan. Siapa yang memperbolehkan? Tentu saja, orang-orang yang punya kepentingan. Dalam hal ini, Rina punya kepentingan membenam tabir bahwa Erika bukan anak kandungnya.
Tetiba, beberapa waktu ke sini, Erika bukan sekadar menuturkan atau tak sebatas membuat laporan pada Rina. Ia melontarkan pertanyaan itu. Pertanyaan yang menyesakkan d**a Rina. Dan rasanya teramat menyakitkan.
“Mama, apakah Erika anak Mama?” mata polosnya menatap mata Rina.
Rina pun sesaat bagaikan kembali mendengar halilintar di siang hari. Padahal kala pertanyaan itu terlontar dari mulut kecil buah hatinya, hari sudah mulai senja. Cuaca terasa sejuk. Sebentar lagi gelap. Akan bertaburan bebintang menghiasi langit. Namun, pertanyaan itu seolah juga, menyeretnya ke sebuah samudra luas lalu melemparkan dirinya ke sana. Menenggelamkan dalam. Tak bisa kembali. Rina merasa akan seperti itu.
Dadanya berguncang hebat. Bibirnya bergetaran. Dipegangnya lengan anak itu. Ditatapnya mata bening itu. Sesaat pula, bibirnya tak mampu mengeluarkan suara kendati untuk satu kata.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Rina.
“Tidak boleh?” mata bening itu menatap Rina. Setiap Rina mengeluarkan kalimat “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” dalam permasalahan apapun, maka Erika akan balik bertanya-- “Tidak boleh?”-- dibanding menjawab terlebih dahulu pertanyaan Erika. Ia terbiasa dengan pertanyaan “Tidak boleh?” pada Rina semenjak kecil. Bahkan pada teman-teman sepermainannya. Atau pada orang dewasa di sekitar rumahnya. Bahkan pada guru di sekolah. Di kelasnya, anak itu dikenal kritis. Ketika anak lain jarang yang heran bertanya pada guru meski misal tidak mengerti dalam hal pembelajaran yang tengah berlangsung, lain halnya dengan Erika. Pertanyaan yang terlompat dari bibirnya bertubi-tubi meluncur bagaikan kereta api yang tengah berjalan di atas rel. Gurunya terkadang juga kewalahan dengan sifat Erika yang satu itu. Ada juga guru yang malah senang karena dengan memiliki murid sepert itu, guru akan merasa tertantang.
“Kamu tidak boleh melontarkan pertanyaan tadi,” tegas Rina.
“Petanyaan Erika yang menanyakan apakah Erika anak Mama? Itu?”
Rina mengangguk.
“Ya, tapi kenapa, Ma?”
“Tidak boleh saja. Mama melarangmu.”
“Harus ada alasan.”
“Erika, alasannya... Mama tak suka kamu bertanya itu lagi. Paham?”
Erika mendadak terdiam. Ucapan Rina sedikit keras dengan nada suara meninggi. Anak itu sangat perasa. Ia menyadari pertanyaannya telah membuat hati Rina kesal. Akhirnya Erika benar-benar terdiam. Setelah itu, berlalu dari hadapan Rina. Namun ternyata itu bukan yang terakhir. Minggu depannya, pertanyaan yang sama kembali terlontar. Rina pun menanggapi serupa dengan sebelumnya. Tidak sampai di sana. Rina kembali harus menghadapi pertanyaan itu berulang hingga akhirnya ia kesal. Adakah orang yang berusaha meracuni pikiran anaknya hingga anak itu mempertanyakan sesuatu yang tak seharusnya tersingkap? Rina digulung kegelisahan yang sangat.
Suatu pagi, Erika pergi ke sekolah. Pada jam istirahat, ia pulang ke rumah. Dengan menyelempangkan tas berwarna merah muda. Warna kesayangannya. Ia pulang sendiri. Tanpa seorang teman pun. Tak seperti biasanya. Tempo hari, ia pernah pulang menjelang waktu istirahat. Alasan sakit kepala. Diantar beberapa teman. Namun kali ini, Rina pun merasa heran. Terlebih kala mendapati wajah Erika yang murung. Matanya yang bening tampak berkaca-kaca.
“Mama...” ia menghambur ke pelukan Rina.
“Ada apa? Kamu sakit?” Rina pun memeluknya. Dirabanya dahi anak itu, tidak panas. Biasa-biasa saja. Erika menggeleng. Lalu terisak di pelukan Rina.
“Mamaaaaa.... teman-teman bilang, Erika bukan anak Mama! Mama bukan ibu kandung Erika!” ucap Erika nelangsa dengan suara parau. Tasnya dilempar ke lantai. Rambutnya kusut lantaran dijambaknya sendiri.
“Siapa yang bilang seperti itu?” d**a Rina bergemuruh tak karuan.
“Teman-teman....”
“Siapa?”
“Banyaaaak!”
“Erika, sudah kamu jangan menangis,” Rina menghapus air mata anak itu. “Yang teman-temanmu katakan itu sama sekali tidak benar.”
“Kalau tidak benar, kenapa mereka bilang begitu?” Erika lalu sesenggukan. Akhirnya Rina meredakan tangis anak itu sembari menahan dadanya yang kian bergemuruh. Perasaan kesal, marah, benci dan kecewa berbaur entah pada siapa. Yang pasti, ucapan teman-teman Erika memang benar tapi mereka tahu itu tentunya karena mendengar cerita orang dewasa. Bukan tak mungkin. Rina sakit hati mendengarnya. Mengapa ada pihak-pihak yang sampai hati membocorkan hal yang harus ditutupi? Terlebih jika diumbar pada anak-anak, itu berdampak negatif. Mulut anak-anak tak akan bisa dibendung.
Erika masih sesenggukan. Rina membiarkan Erika tenggelam dalam kesedihannya. Dielusnya rambut anak itu dengan penuh kasih sayang. Dikecupnya dahi, alis dan matanya. Erika merasakan kedamaian dalam dekapan perempuan yang ia pikir orang yang sudah melahirkannya. Ia sudah beberapa kali mendengar dari ucapan teman yang diawali dengan perbincangan biasa. Hingga mengarah pada masalah seputar orang tua masing-masing. Lalu tercetuslah ucapan itu bahwa Erika bukan anak kandung Rina. Awalnya, Erika tak percaya. Ia patuh pada ucapan Rina agar tak percaya. Namun jika sudah mendengar beberapa kali, bahkan saat titik akhir, ia merasa apa yang dikatakan teman-temannya itu mendekati kebenaran. Ia ingin bertanya lagi pada Erika tapi bingung harus bagaimana. Lantaran sebelumnya Rina tampak tak suka dengan pertanyaan itu. Dan... pagi ini, karena sudah tak tahan dengan sakit yang dirasakan dalam hatinya akibat cemoohan teman yang menyudutkannya, Erika pulang sendiri. Tanpa pamit pada guru. Ia ingin minta kepastian pada orang di rumah. Orang yang kerap mendeklarasikan dirinya perempuan yang pernah melahirkannya.
Ketika isaknya terhenti, anak itu baru mau mengangkat wajahnya. Dilepaskan pelukan Rina. Lalu duduk lesu di sampingnya. Tatapannya ke lantai, menekuri ubin. Dengan mata basah.
“Mau pergi ke sekolah lagi?” tanya Rina.
Kepala Erika menggeleng.
“Mama antar?”
Kepala Erika kembali meggeleng. Hatinya terasa patah dan ia merasa tak akan nikmat belajar.
Rina menarik napas panjang. “Baiklah, kalau begitu... kamu masuk kamar... ganti seragam dengan pakaian mana saja yang kamu suka. Kamu mau bantu Mama masak, ya?”
Erika diam.
“Mana Erika yang katanya anak soleh dan sabar?” suara Rina terdengar lembut. Gemuruh di dadanya pun mereda. Ia bisa saja melabrak anak-anak itu tapi tak mungin dilakukan. Bisa-bisa saja lebih meruncing. Dan rahasia akan tersingkap dengan jelas lalu Erika kian yakin akan kebenaran.
“Jawab dulu pertanyaan Erika. Apa Mama bukan ibu kadung Erika?”
“Erika, ya Allah...” Rina merengkuh tubuh anak itu. “Kamu anak Mama. Mama ini ibu kandungmu.”
“Mama berani bersumpah atas nama Allah?”
“Ya Allah, astaghfirullahal’azim, Erika.... kenapa denganmu, Nak? Kenapa kamu berani mengeluarkan kalimat itu pada Mama?” Rina tak dapat menahan air mata yang tumpah dan membasahi kedua pipinya.
Erika melepaskan pelukan. Lalu beranjak dan menuju kamarnya. Menguncinya dari dalam. Tubuhnya dihempaskan ke atas pembaringan. Menelungkup. Menumpahkan kesedihan dalam wujud air mata yang membasahi bantal.
Hari-hari terasa sesak dalam hati Rina. Erika kian murung. Selain pergi sekolah, ia tak mau keluar rumah. Bahkan untuk pergi mengaji. Teman-teman yang berusaha mengajaknya main ke rumah, tak dihiraukan. Ia tak mau bicara dengan siapa pun. Termasuk dengan Dani dan Rina. Bahkan anak itu menahan lapar kalau saja Ema tak datang dan berhasil membujuknya dengan lembut.
“Kita sebenarnya senasib, Rina,” Ema bicara setengah berbisik pada Rina di ruang belakang. Ruang khusus tempat menerima tamu yang mau menjahit pakaian.
“Ya, sama-sama memiliki anak yang menganggap kita ibu kandungnya.”
“Kita berusaha menyembunyikannya meski banyak pihak yang tahu. Tapi kita berusaha menutupinya terlebih jangan sampai anak yang kita sayang itu... mengetahuinya.”
“Yang terjadi padaku, tidak demikian. Erika mulai sering bertanya. Terkadang tak percaya. Di satu sisi, dia yakin. Anak itu pun mulai meragukanku.”
“Aku paham dengan kondisimu sekarang yang serba bingung. Tapi kita itu... berada dalam dilema. Kamu mengrti maksudku?”
Rina mengangguk. “Ada saran untukku?”
“Tetaplah menjaga rahasia.”
“Meski ada pihak yang berusaha menyingkap?”
“Ya... bahkan di saat muncul orang-orang yang tak suka dengan kebahagiaan kita dan berniat menghancurkan.”
“Jadi menurutmu sekarang... aku biarkan dia marah?”
“Rina, Erika itu anak baik. Belum pernah marah. Dia bisa benar-benar marah kalau merasa dikecewakan. Tapi percaya padaku, pohon yang ditanam dengan pupuk yang baik akan tumbuh dengan baik pula. Nanti kalau kesedihannya makin berkurang, dia akan kembali seperti semula. Menjadi Erika anak yang manis dan selalu menjadi kebanggaanmu.”
Rina mengulas senyum sedikit. Ia selalu merasa tenang jika sudah bicara dengan sahabatnya. Benar yang dikatakan Ema. Hari-hari selanjutnya wajah Erika kembali berseri dengan senyum terkembang. Ia pun ceria bermain bersama teman-temannya baik di sekolah maupun di lingkungan rumah sekitarnya. Rina senang melihatnya. Anak itu pun tak pernah lagi kelihatan murung. Bahkan tak terdengar lagi mengeluarkan pertanyaan yang ditakutkan Rina..
Damai hati Rina melewati hari-hari. Ia kerap bersenandung kecil kendati di rumah sepi. Dani berada di Bandung, masih kuliah dan kos di sana. Usaha menjahit yang dikelola Rina pun sudah mulai ada peningkatan. Pelanggan-pelanggan yang sempat berpindah ke tempat lain kembali lagi. Bukan hanya rindu dengan hasil jahitannya, tapi juga mereka senang bercengkrama dengan perempuan seramah Rina.***