Menanti yang Biasa Pulang
Chapter 1
Menanti yang Biasa Pulang
PEREMPUAN berambut hitam dan bergelombang itu mengeluh pendek. Ditutupnya majalah wanita yang berada di tangannya. Sama sekali tak membuatnya tertarik melahap bacaan itu. Padahal sebelumnya, ia sangat ingin membaca untuk menghilangkan gundah yang menderanya dalam sepekan ini. Namun, gundah itu terus merayapi pikirannya.
Hari masih pagi. Matahari bersinar cerah di langit biru. Perempuan yang duduk sendiri di atas kursi panjang beludru merah hati itu termenung. Disimpannya majalah di tempat semula. Di atas meja kaca. Tatapannya hampa. Rumah sepi. Anak satu-satunya, sudah melesat ke sekolah yang hanya memakan waktu lima belas menit dengan berjalan kaki.
Rina, berusia dua puluh delapan tahun; perempuan yang kini masih termenung di kursi panjang. Bukan hal yang aneh jika pagi hari, tentulah di rumah akan sepi. Memang, dalam beberapa bulan tak banyak yang berkunjung. Sedikit. Itu pun hanya di waktu siang atau sore. Dalam lima tahun terakhir, ia mengelola usaha menjahit pakaian perempuan. Usahanya terbilang laris. Rumah ramai dari pagi hingga menjelang malam. Tamu berdatangan. Yang mau menjahit ataupun mengambil jahitan. Perempuan; mulai remaja, dewasa hingga yang sudah berusia kepala lima. Rina semenjak remaja sudah bisa menjahit pakaian karena orang tuanya menyekolahkan di sekolah menjahit. Istilahnya, kursus. Saban dua kali dalam seminggu, Sabtu dan Minggu. Bersama kakaknya, Nia. Beda dengan Nia, yang mana ilmu menjahitnya tak diterapkan. Rina berhasil menjadi penjahit pakaian dengan hasil jahitan yang memuaskan. Menarik banyak pelanggan sekecamatan mulai dari kalangan bawah hingga atas.
Kala Rina bercerai dari suami pertamanya dan anaknya yang bernama Dani masih berusia setahun, ia tak kesulitan mendapat uang. Rumah jahitnya tak pernah sepi dari pengunjung. Makanya, membesarkan Dani tak banyak menuntut ayahnya yang sudah beristri lagi dan memiliki anak-anak. Terlebih, ia paling malas menyuruh anaknya meminta pada lelaki yang pernah menjadi suaminya.
“Jika ayahmu punya niat baik, tentu akan datang sendiri ke sini. Memberimu uang. Jika tidak ke sini menemuimu, abaikan saja,” begitu ucapnya pada Dani yang masih polos. Rina ingin menjadi perempuan mandiri yang tangguh meski berstatus janda. Parasnya yang cantik dengan kulit putih, mata indah, bibir merah, lesung pipit yang menghiasi kedua pipinya kala tersenyum, membuat banyak lelaki mulai dari yang berstatus lajang, duda maupun suami orang mendekatinya. Tak sedikit dari mereka yang meminta Rina menjadi istrinya. Rina bukan perempuan yang tak merasakan cinta. Ia pun perempuan normal yang ingin kembali berumah tangga setelah pernikahan pertamanya kandas. Lalu, ia mencoba memilih satu dari beberapa lelaki. Menikah dengan bujangan mengundang banyak cemooh terlebih jika usia lelakinya lebih muda. Menikah dengan suami orang, beresiko tinggi. Tak ada suami beristri dua yang bisa adil kepada kedua istrinya. Jikapun ada, satu dari seribu. Begitu yang menjadi pertimbangannya. Akhirnya, ia memilih seorang duda. Tentu saja, yang dirasa, ia pun mencintainya.
“Akan lebih baik jika kau memilih Danang,” Nia pun mendukungnya. Terlebih Danang dan Nia, teman sekelas ketika di SMA. Nia dan Danang kelas tiga ketika Rina kelas satu. Mereka satu sekolah di SMA Mitra Darma.
“Jadi, Kak Nia setuju?” tanya Rina. Setelah kedua orang tua mereka meninggal, Rina selalu meminta pendapat pada Nia. Tidak ada lagi. Adik bungsunya, Hen, laki-laki, tinggal di kota lain dan sulit jika mau diminta bantuan. Atau sekadar saran. Nia dan Rina tinggal berdekatan. Hanya terhalang pekarangan. Keduanya menempati rumah warisan.
Saat Rina menjadi janda, Danang bukan sekadar teman sekelas kakaknya. Yang kala remaja suka berkunjung bersama teman-temannya ke rumah mereka. Kala kedua orang tuanya masih ada. Danang waktu itu suka pada Rina. Dayung bersambut. Mereka berpacaran. Namun hubungan berakhir ketika Danang lulus sekolah dan pergi ke kota lain untuk mengembara. Rina tak menamatkan SMA lantaran keburu dinikahi seorang lelaki dewasa. Dua tahun kemudian, Danang pun menikah dengan gadis lain.
Danang lalu mendengar kabar Rina bercerai dari suaminya. Danang menikahi Rina ketika Dani berusia lima tahun. Semenjak menikah, Danang hanya pulang sebulan sekali. Saban pulang, membawa uang yang cukup. Lelaki itu termasuk penyayang anak. Ia sangat sayang pada Dani. Ia pun perhatian pada kelima anak Nia. Nia sahabatnya sekaligus kakak iparnya. Dari istri pertama, Danang memiliki seorang anak laki-laki. Namanya Irwan, usianya lebih muda dari Dani. Sesekali Danang mengajak anaknya menginap di rumah Rina. Istrinya pun sangat peduli dengan Irwan. Pasangan Rina dan Danang yang penuh cinta dan kasih sayang kerap mengundang iri banyak orang. Mereka acap menunjukkan kemesraan depan khalayak. Orang-orang sekitarnya pun salut dengan pasangan serasi itu yang bisa saling menyayangi anak masing-masing.
Sayang di sayang, kemesraan yang acap ditunjukkan itu terkadang hanya kamuflase. Lantaran di belakang, Danang dan Rina terkadang bertengkar. Pertengkaran yang diawali dari kekesalan Rina pada tabiat Danang yang sebenarnya. Tabiat yang Rina berusaha sembunyikan dari orang-orang termasuk keluarga besarnya. Terkecuali Ema, sahabat setianya. Danang suka main perempuan di kota lain saat Danang berada jauh darinya. Ia lelaki yang piawai main cinta. Tak sedikit perempuan yang mampu ditaklukkannya. Kala pulang, ia akan tampil sebagai suami yang setia. Mencintai penuh sang istri. Perhatian pada anak tiri. Awalnya, Rina tak pernah curiga. Namun ketika ditemukan saputangan dan parfum perempuan bahkan benda-benda kecil yang bukan milik Rina berada dalam tas Danang, dari situ kecurigaan mulai menyeruak. Rina berhasil membuat Danang mengaku. Berulang kali pula Danang berjanji tak akan mengulangi. Rina berusaha percaya. Namun, ketika ditemukan lagi bukti, Rina akhirnya menyimpulkan bahwa Danang tak bisa berubah.
Terdengar ketukan daun pintu depan. Lamunan Rina sesaat buyar. Tubuhnya beranjak mendekati pintu. Ema berdiri depan pintu. Tersenyum tapi lalu senyumnya meredup saat diamati wajah Rina yang tak seperti biasanya. Rina memersilakan masuk. Lalu mereka duduk berhadapan di kursi ruang tengah.
“Masih soal Danang?” tanya Ema.
Rina mendesah. “Siapa lagi?”
“Dia ada pulang?” tanya Ema dengan suara dipelankan. Matanya mengarah ke pintu kamar yang tertutup. Khawatir ada suami Rina. Ema kerap mendapat luapan perasaan Rina. Untuk urusan kekesalan pada Danang, Rina tak mau berbaginya pada Nia lantaran Nia terkadang banyak menyalahkannya. Nia lebih percaya Danang daripada adiknya sendiri. Pada Ema, Rina merasa lebih tenang menyampaikannya. Mereka bersahabat cukup lama.
Rina menggeleng. Dihelanya napas. Ia tak tahan ingin menumpahkan kegundahan hatinya. Ruang pikirnya yang serasa hendak meledak. Ingin marah pada Danang. Namun lelaki itu tak ada di hadapannya.
“Tiga bulan dia tak pulang. Juga tak ada kabar.”
“Sabarlah menantinya, Rina...”
“Bukankah... suami yang meninggalkan istri lebih tiga bulan tanpa nafkah, sama dengan sudah menceraikannya?”
“Sabar dulu, Rin. Kau tunggu saja dia pulang.”
“Sampai kapan? Ini sudah tiga bulan!”
“Ya, aku mengerti perasaanmu. Bagaimana pendapat Kak Nia?”
Rina cepat menggeleng. “Tidak. Aku belum mau minta pendapat dia. Bisa-bisa, tetap aku yang disalahkan. Dan dia akan tegas berucap.... Danang meski misal pulang setahun sekali, tapi selalu membawa uang berlimpah. Selalu materi yang akan dia pertimbangkan. Padahal seorang istri bukan hanya ingin materi. Tapi kebutuhan suami berada dekat kita. Sementara suamiku, tak kunjung kabar.”
Ema menarik ujung bibirnya. Bingung mau mengomentari perihal kakak Rina.
“Tidak biasanya Danang tak pulang selama itu. Biasanya kan rutin sebulan sekali, ya?”
“Ya. Selama lima tahun seperti itu. Biasanya, meski main perempuan.... dia tak lupa jalan pulang. Kini, sepertinya ada perempuan yang menahannya untuk tidak pulang.”
“Perempuan-perempuan yang dekat dengannya, bukankah semua tahu kalau Danang beristri kau? Kau pernah bilang itu padaku.”
“Aku hanya mengutip ucapan Danang. Tidak tahu ya atau tidak. Kadang aku percaya. Tapi sekarang tidak lagi.”
“Jadi kau mulai menduga... Danang selalu mengaku tak punya istri alias duda?’
“Ya!”
“Rin, sekali lagi, aku saran... kau tunggu dulu Danang pulang!”
“Ema... aku sudah tak tahan! Aku ingin bercerai!”
“Sabar, Rin. Aku mengerti kekecewaanmu. Tapi sebaiknya, dinginkan dulu kepalamu. Berdoa pada Tuhan, agar Danang pulang.”
“Kau pikir aku tidak suka berdoa? Saban malam aku memohon.”
“Doamu pasti terkabul, percayalah...”
Rina terdiam.
“Meski Danang suka main perempuan, perempuan yang dicintai hanya kau seorang, istrinya,” ucap Ema.
“Apa mungkin Danang telah menikahi salah satu dari perempuan itu?”
“Duh, kalau soal itu, aku tak mau berkomentar. Sebaiknya, buang praduga itu! Tidak baik!”
“Biasanya dugaanku jarang meleset.”
“Kau pernah percaya jika Danang tak bermain perempuan lagi? Nah... pegang itu dulu, biar kau tenang.”
“Tapi aku tak tenang.”
“Tenanglah, Rina.”
“Ema, aku menduga... Danang punya istri lagi!”
“Hanya karena lebih tiga bulan tak pulang?”
“Kau seperti menyepelekan soal tidak pulang selama tiga bulan?” Rina agak emosi. Suaranya meninggi. “Bagi istri yang biasa ditinggalkan lama tapi suaminya berkabar mungkin bukan masalah... tapi lain halnya dengan masalahku, Ema. Danang tak pulang-pulang tanpa kabar.”
“Maaf, Rina. Aku tak bermaksud menyepelekan soal itu. Aku hanya ingin kau tenang dulu. Kau memintaku datang ke sini kan agar kau bisa melepas uneg-unegmu, berbagi kegundahan hatimu,” ucap Ema lunak.
Rina terdiam. Dihelanya kembali napas. Kali ini cukup panjang.
“Tenangkan pikiranmu, ya...” Ema menyentuh lengan Rina.
Rina masih terdiam.
“Sekali lagi, aku harap kau dengan sabar menantinya. Aku percaya ko... Danang itu sangat mencintaimu. Dia akan kembali dalam waktu dekat.”
“Kau yakin?”
Ema mengangguk.
“Ko seyakin itu?”
“Perasaan sahabat. Firasat sahabat, Rin.”
“Aku juga punya firasat.”
“Hal baik kan?”
“Tidak. Firasatku mengatakan... Danang beristri lagi.”
“Duh, kau ini!” Ema geleng-geleng kepala. Bingung cara menghadapi orang yang tengah didera gundah. Pikirannya jadi melantur kemana-mana.
“Firasat seorang perempuan. Firasat seorang istri,” ucap Rina serius. Ema tak menanggapi. Ditatapnya wajah sahabatnya. Wajah cantik yang memesona dan kerap ceria. Namun kali ini muram. Sorot matanya yang biasa mengerling jenaka menyiratkan kemarahan, kekesalan dan kesedihan. Terkadang Ema menyayangkan Rina yang harus menikah dengan Danang. Lelaki itu beruntung mendapatkan Rina. Danang berwajah biasa-biasa dengan kulit hitam legam, bertubuh agak pendek dan sedikit tambun. Hanya senyumnya manis dan murah.
***