Tak Lupa Jalan Pulang

1614 Kata
Chapter 2 Tak Lupa Jalan Pulang MALAM belum larut. Masih pukul dua puluh satu kurang beberapa menit. Seperti biasa, di rumah Rina sangat sepi. Dani sepulang bermain dari rumah Ana--kakak misannya, sudah mengurung diri di kamarnya. Tak menyalakan musik. Itu pertanda sudah tidur. Begitu dugaan Rina. Ia membiarkan saja. Toh pikirnya, Dani sudah menikmati makan malam bersama anak-anak Nia. Masakan kakak satu-satunya itu terkenal sangat lezat. Membuat ketagihan. Lain halnya dengan Rina yang kurang mahir memasak. Itu salah satu alasan Dani suka ceria jika Nia mengundang makan. Tubuh Rina terasa sedikit letih. Punggungnya pegal lantaran duduk berjam-jam di atas kursi. Memasang kancing, menjahit tepian beberapa rok dengan jarum. Meski kegiatan yang berhubungan dengan menjahit tak makan waktu dua jam, tapi ia terlampau banyak duduk merenung. Melamun berkepanjangan. Apalagi yang dipikirkannya selain Danang. Untuk urusan isi perut, meski usaha menjahitnya tak seramai sebelumnya, kalau untuk makan sehari-hari bersama anak semata wayangnya, tak pernah diserang kesulitan. Ia pun tak begitu mengharapkan pemberian uang dari Danang. Yang diinginkannya, Danang pulang. Ya, ia memiliki firasat jika Danang bukan hanya bermain perempuan. Namun juga, bukan tak mungkin menikahi perempuan lain. Mata Rina memerah. Ia tak bisa membayangkan siapa perempuan itu, bagaimana wajahnya. Cantik atau tidak, muda atau tidak. Lebih cantik mana dengannya. Lebih muda mana dengannya. Bukan. Bukan itu. Ia hanya ingin kepastian bahwa yang dibayangkannya itu bukan sekadar praduga. Namun nyata. Disimpannya benang ke dalam tempatnya yang ditaruh di atas meja. Ruangan menyala. Terang. Pesawat TV sudah dimatikan semenjak sejam lalu. Bukan karena tak ada acara yang menarik. Namun ia tak bisa menikmatinya. Siaran dirasakannya tak menarik. Monoton. Dan pikiran terkuras memikirkan suaminya. Minggu lalu, semenjak berbicara dengan Ema, pikirannya lumayan tenang. Ema berusaha keras menenangkannya dan memberi pemahaman agar Rina tak terburu-buru mengambil kesimpulan dan menentukan keputusan. Bercerai, sebuah kata yang sangat menakutkan dalam pernikahan. Terlebih, tidak pulangnya Danang dalam sekian bulan, meski tanpa kabar, belum bisa dipastikan jika lelaki itu melakukan kesalahan. “Kau melarangku bercerai sementara kau sendiri bercerai dari suami keduamu,” ucap Rina resah. Sebelum menjawab ucapan Rina, Ema tersenyum dulu. Rina yang dikenal sangat baik dan manis jika berkata-kata, akan melontarkan ucapan sinis dan terkadang menyakitkan orang yang diajak bicara. Itu jika berada dalam kondisi yang tak baik. Kesal, marah atau perasaan tak nyaman lainnya. Namun bukan sahabat sejati jika Ema tak bisa memahaminya. Rina tengah tertekan dengan masalahnya. Dengan kekesalannya pada Danang. lalu dengan mudah mengambil kesimpulan untuk bercerai. Padahal bersua Danang pun belum. “Persoalanku dan kau kan lain. Pernikahan pertama dan keduaku tak bisa diselamatkan. Aku pun kini ingin menjaga pernikahan ketiga. Emang enak gitu kalau kita bercerai? Menjadi janda itu hebat? Sebuah prestasi? Apa semudah membalikkan kedua telapak tangan kita jika ingin bercerai? Rina... mungkin pernikahan pertamamu juga tak bisa dipertahankan. Kalian bercerai. Mantan suamimu atau ayah Dani sudah beristri lagi bahkan memiliki anak-anak. Jika bukan faktor takdir, kalian tak akan bisa berjodoh. Ayah Dani, kecil kemungkinan kembali padamu, maaf... tapi itu hanya contoh, ya? Masalahnya sekarang, suamimu itu Danang yang katamu bertabiat aneh... menyebalkan... suka main perempuan. Terakhir kau menduga menikah lagi. Bagaimana jika dugaanmu meleset jauh? Bagaimana jika malam nanti atau malam yang akan datang... dia mengetuk pintu rumahmu? Kembali padamu dengan segenap kerinduan... apa mau kau usir? Sepertinya... tidak, ya? Mungkin, malah kau menyambutnya... dan menghambur ke pelukannya.” “Aaah... ko jadi lari ke pelukan?” decak Rina. “Coba... kita bayangkan, maksudnya kau... kau yang bayangkan hal-hal yang manis tentang suamimu. Kebersamaan dengan suamimu. Katamu sendiri, Danang tipikal suami yang mesra...” “Baiklah, mungkin maksudmu... Danang masih berpeluang menjadi suamiku? Begitu? Tak usah berbelit-belit.” “Ya, benar. Karena dia belum terbukti bersalah meski sebelumnya sering melakukan kesalahan. Manusia itu kan tak luput dari salah, Rin.” “Ya, tapi kesalahan yang diperbuat Danang... terlampau sering.” “Tapi selalu kau buka pintu maafmu, kan?” “Ya, Ema. Ah, aku bingung...” “Menurutku, Danang bisa berubah.” “Aku tak yakin...” “Kau selalu ragu jika membahas soal Danang.” “Habisnya... terlalu sering aku memaafkan tapi dia akan mengulang kesalahan yang sama.” “Perlu kesabaran yang tinggi menghadapi lelaki tipikal dia. Ya, sudah... sekarang, kau pertimbangkan lagi ya semua ucapanku. Jangan ngomong mau cerai melulu. Berdoa, tunggulah suamimu... dan taklukkan, semoga bisa berubah sesuai harapan. Aku mau ke pasar dulu.” “Ya, Ema.” “Perceraian itu dibenci Allah,” Ema mengingatkan sembari tubuhnya beranjak dari tempat duduk. “Tapi halal.” “Halal kalau dibenci buat apa? Dan yang membencinya pun Allah.” Rina tak berkomentar lagi. Semenjak siang itu, ia belum bersua lagi sahabatnya. Namun mencoba mencerna semua ucapannya. Semua saran dan nasihatnya. Ya, benar. Akhirnya ia mengiyakan. Ia akan mencoba menanti Danang. Ia pun harus yakin jika Danang akan kembali. Lalu disingkirkannya praduga perihal Danang yang beristri lagi. Malam merayapi kota kecamatan di belahan Bandung Selatan. Malam yang hening. Tubuh Rina beranjak menuju kamarnya. Namun baru saja memadamkan lampu kamar dan hendak membaringkan tubuh sintalnya yang berbalut kimono satin berwarna merah muda, terdengar ketukan di pintu depan. Cukup mengagetkannya. Mungkinkah Danang? pikirnya. Kedua kakinya melangkah menuju ruang tamu. Menguakkan pintu. Dadanya terlonjak kaget. Perasaannya tak karuan ketika mendapati suaminya tengah tertegun di teras. Lelaki itu tersenyum dan menatap Rina tanpa berkedip. Rina belum bisa membalas senyum itu dan bukan itu yang menjadi pusat perhatiannya melainkan sebelah tangan Danang menggendong seorang anak perempuan berusia dua tahun. Anak itu mengenakan baju dan celana putih, berkaos kaki merah muda dengan sepatu warna senada. Tatapan Rina menelusuri ke atas. Rambut anak itu sangat tipis. Kulitnya kurang jelas lantaran sorot lampu yang agak redup di teras. Anak itu tertidur di pelukan suaminya. Lalu tatapan Rina beralih pada beberapa tas yang tergeletak di lantai. Ia tak mendengar suara mobil Danang sebelumnya. “Mobilku di depan. Kutitip di halaman rumah Pak RT. Tas-tas ini dibawakan anak-anak remaja yang sedang main domino di sana,” jelas Danang masih dengan senyum di bibir. Senyum yang sebenarnya Rina sadari sangat manis. Senyum itu yang membuat Rina pernah jatuh cinta kala di sekolah dulu. Danang lelaki yang lembut dengan tutur kata yang manis. Itu pula yang membuat Rina sudi diperistri mantan kekasihnya. Dan senyum itu pula yang membuat banyak perempuan jatuh ke dalam pelukannya. “Siapa anak ini, Kang?” tanya Rina. “Kita bicaranya di dalam. Masa suami lama tak pulang, kau sambut dengan dingin begitu,” ucap Danang lembut. Rina menggigit bibir bawah lalu membalikkan tubuhnya. Danang mengikutinya menuju kamar. Rina menyalakan lampu. Dengan hati-hati, Danang merebahkan anak itu di atas pembaringan. Lalu kembali ke luar. Memindahkan tas-tas ke dalam kamar. Kemudian Danang membereskan pakaian yang berada dalam tas dan dipindahkan ke dalam lemari pakaian berpintu dua. Rina hanya rebahan saja merasakan punggungnya yang masih dirasanya pegal. Ia malas berbicara dengan Danang. Jika mulutnya terkuak dan mengeluarkan sebaris kalimat atau hanya sebuah kata, itu lantaran menjawab pertanyaan Danang. Basa-basi. Danang lalu pergi ke kamar mandi. Membersihkan badan. Kembali ke kamar. Berganti pakaian tidur. “Ini kita taruh di mana, ya?” Danang mengeluarkan tas satunya. Berisi pakaian anak. “Rigen,” dagu Rina menunjuk ke atas lemari. Sebuah rigen besar berwarna biru. Danang menurunkannya. Lalu memindahkan pakaian anak ke dalam rigen itu. Sembari terdiam, kepala Rina berputar. Memikirkan siapa anak yang dibawa Danang? Ia mengenal Danang sebagai sosok yang penyayang anak. Saban bersua anak-anak di jalan pun, lelaki itu terbilang ramah, kerap mencandai dan tak jarang memberinya makanan, mainan bahkan uang. Suatu malam, dua tahun lalu, Danang pernah pulang membawa seorang anak perempuan berusia tujuh tahun. Anak itu gelandangan yang tak berayah ibu dan ditemukannya di terminal ibu kota. Anak yang dekil itu pun dirawat Rina. Danang bersedia menjadi ayah angkatnya. Rina pun saat itu tak menolak dan mulai merawatnya. Namun tak berselang lama. Kala Danang kembali ke Jakarta dan membiarkan anak itu tinggal bersama Rina, malah anak itu kabur lantaran terbiasa hidup di jalanan dan tak suka aturan di dalam rumah. Meskipun memiliki orang tua angkat yang hendak menyayanginya. Lalu, malam ini Danang kembali membawa seorang anak. Anak siapakah? Pertanyaan kembali memenuhi ruang pikir Rina. Matanya melirik ke samping. Mengamati anak yang terlelap. Mungkinkah anak Danang dari perempuan lain? Pikirnya lagi. Namun segera ditepis pertanyaan yang sempat mengusiknya itu. Ia sudah berjanji pada Ema, akan mempertimbangkan keinginan untuk mengurungkan bercerai dari Danang dan sekali lagi akan memberikan kesempatan. Rina beranjak dari pembaringan. Danang masih membereskan isi dalam rigen. “Mau ke mana?” tanya Danang. “Ke dapur. Menyiapkan makan malam untukmu. Tapi di dalam kulkas hanya ada telur, tahu dan sawi,” jelas Rina. “Tadi aku menyimpan tas plastik di atas meja makan. Coba kau periksa dulu,” ujar Danang. Rina mengiyakan dan ke luar kamar. Walaubagaimana pun, Danang itu masih suaminya. Tak elok jika tak menyambutnya dengan baik. Minimal dengan menyajikan makanan meski seadanya. Tiba di dekat meja makan, Rina mengambil tas plastik berwarna putih. Dikeluarkan isinya. Tiga bungkus nasi dan lauk pauknya. Kebiasaan Danang seperti itu saban pulang. Rina melihat ada plastik lainnya. Dibukanya. Martabak manis. Bibirnya tak ayal menyungging senyum. Danang masih seperti sebelumnya jika pulang. Tak suka merepotkan Rina. Ia akan membawa tiga bungkus nasi lengkap dengan lauk pauk yang lezat. Sebungkus untuknya, sebungkus untuk Rina dan sebungus lagi untuk Dani. Ditambah makanan lain. Terkadang buah-buahan segar. Rina kembali ke kamar. Didapatinya Danang tengah duduh di tepi pembaringan. “Aku hangatin dulu makanannya, ya?” “Kau lapar?” Rina menggeleng. “Tidak. Dani juga tidak dan dia sudah lelap.” “Aku juga sama. Sudah kenyang. Di perjalanan, aku berhenti makan dulu. Kalau begitu, biarkan saja makanan buat besok pagi kalau bisa dihangatkan. Kalau tidak, kau buang saja. Sini, duduk dekatku. Aku rindu padamu, Rina.” Perlahan Rina mendekat. Duduk di sampingnya. Danang merengkuh tubuh ramping Rina ke dalam pelukannya. Mencium kening Rina. Lalu pipi, dagu, dan berhenti di mulut. Namun Rina segera melepaskan pelukan suaminya. “Ceritakan dulu, siapa anak itu?” tanya Rina. Matanya melirik ke tempat tidur. Pada sosok mungil yang tergolek. “Namanya... Erika,” bisik Danang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN