Erika Sayang, Erika Malang
DALAM tiga minggu, hati Rina begitu bahagia. Hari-hari dirasanya berwarna-warni. Bagaikan pelangi di langit biru. Meski usaha menjahitnya tak mengalami lagi peningkatan dan cenderung menurun dengan berkurangnya pelanggan, tapi ia tak memikirkan hal itu. Uang yang diberikan Danang lebih dari cukup.
Suaminya itu sudah kembali ke Jakarta dan menekuni usahanya lagi di sana. Mengelola beberapa toko serbaada. Namun, lagi-lagi Rina tak mempermasalahkan nominal uang yang diberikan suaminya. Baginya, harta itu bukan segala-galanya. Yang diinginkannya, hanya ketenangan batin. Danang berubah setelah diberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Akan kesalahan terfatal. Bukan, bukan materi yang diinginkan Rina. Ia terlahir dan dibesarkan dari keluarga sederhana. Terbiasa dengan kondisi perekonomian yang sedang-sedang saja. Ia pun tak ingin menuntut Danang. Lagipula kalau soal uang, Danang temasuk lelaki yang royal dan suka memanjakan istri juga anak tiri bahkan anak saudara Rina. Kelima anak Nia mendapat jatah uang jajan. Makanya, Nia suka membela Danang jika adiknya mengadu atau melaporkan sikap Danang yang bersebrangan dengan harapannya.
Apa yang membuat hati Rina bahagia dalam tiga minggu ini? Sebenarnya bukan tiga minggu. Namun lebih. Terhitung semenjak Danang berada di rumah di hari kedua. Kedatangan Danang di malam itu dengan membawa anak perempuan berusia dua tahun yang sempat mengundang kecurigaan di hati Rina. Siapakah anak perempuan itu? Mungkinkah anak Danang dari salah seorang perempuan yang menjadi kekasihnya atau bukan tidak mungkin istrinya yang lain? Pertanyaan serupa sempat berputar di ruang pikirnya. Menebalkan kegelisahan yang panjang.
Malam itu kecurigaan Rina berbuah hasil. Firasat sebelumnya sangat tajam. Indra keenamnya menduga ketidakpulangan Danang lebih tiga bulan tersebab tertahan dengan sesuatu yang mengikatnya. Dan itu ternyata benar. Benar-benar firasat Rina menjadi kenyataan. Bukan sekadar bayangan atau kesimpulan sementara. Atau praduga tak beralasan. Danang memiliki istri lain. Kejujuran Danang di malam itu sempat menimbulkan pertengkaran hebat di tengah malam buta. Rina nyaris teriak histeris. Kecewa karena dikhianati. Namun bukan Danang namanya jika tak bisa berhasil meluluhkan hati perempuan.
Hikmah di malam itu, Danang membuka semuanya. Bicara kebenaran. Bicara dengan sejujur-jujurnya. Sebelum mengungkapkan tabir, ia berusaha memadamkan amarah yang berkobar di dalam d**a Rina. Meredam gemuruh hati Rina. Perempuan itu pun lemah di hadapan suaminya. Takluk dengan ucapan manis suaminya. Terlebih kala melihat anak itu terbangun tersebab teriakan Rina yang keras memecah sunyi di tengah malam. Anak itu menangis ketakutan melihat Rina, sosok yang baru dilihatnya. Adapun Rina, seorang perempuan yang terkadang mengeluarkan ucapan kasar. Namun hatinya begitu lembut. Sifat keibuannya yang membuat Danang jatuh hati. Senyum manis yang membuat siapa saja terpesona. Rina tak kuasa menatap mata anak itu yang seperti kehilangan kasih sayang orang-orang yang seharusnya mencintainya.
Pertengkaran hebat itu berakhir. Rina berada dalam dekapan hangat suaminya. Bahkan anak itu sempat dipeluk cukup lama oleh Rina. Anak itu tampak nyaman. Senyumnya terulas. Ia tak takut lagi dengan Rina.
Pagi-pagi sekali--setelah malam itu, Rina pergi ke kamar mandi. Membersihkan badan tak lupa keramas. Mencuci rambut hitam bergelombang dengan shampoo wangi. Mengenakan pakaian terbagus yang membalut tubuhnya yang tinggi ramping. Aroma parfum merk mahal, menyapu lembut hidung Danang. Bibir merah Rina bersenandung kecil. Ia pun dengan riang memandikan Erika. Mengeringkan tubuh anak itu dengan handuk berwarna merah muda. Membaluri tubuh anak dengan kayu putih lalu menaburkan bedak di sekujur tubuhnya. Lalu menyisiri rambutnya setelah mengenakan pakaian yang lucu. Anak itu tampak suka dan seperti sudah lama kenal dengan Rina. Mereka makan bersama. Rina, Danang, Dani dan Erika. Malah Dani mencandai anak itu dan Erika tampak suka. Kebahagiaan terpancar di mata Rina. Mewarnai kebersamaan dalam keluarga kecil. Rina sangat bahagia dengan kehadiran Erika. Semenjak melahirkan Dani, ia tak pernah hamil lagi. Danang berharap mendapat anak dari Rina. Namun setelah lima tahun, yang diharapkan belum juga terwujud. Danang memang kerap bermain perempuan. Rina pun berusaha memberi kesempatan lagi. Danang acap berjanji dan berjanji meski lagi-lagi janji itu sebatas di mulut. Sudah menjadi kebiasaannya. Mendarah daging dengan tabiatnya. Ia kembali bermain dengan perempuan lain. Tiga tahun lalu, Danang menikahi perempuan yang tinggal di pesisir laut selatan. Perempuan yang bernama Mia itu mengandung. Namun di saat Mia mengandung, Danang bermain perempuan lain lagi. Perempuan yang tinggal di Jakarta. Namanya Fitri. Lalu menikahinya. Pernikahan itu diketahui oleh Mia saat Danang dan Fitri melewati masa-masa indah sebagai pengantin baru. Mia yang merasa sakit hati akibat dikianati, datang melabrak. Ia datang bersama Erika yang berusia dua bulan. Bayi yang masih merah. Mia memberikan bayi itu ke tangan Danang. Ia meminta bercerai. Pantang baginya menikah dengan lelaki pengkhianat. Ia pun tak sudi mengurus bayi itu meski terlahir dari rahimnya. Baik Mia ataupun Fitri tak tahu jika sebenarnya ada perempuan yang cantik, baik dan sabar yang bernama Rina. Yang menjadi istri sah Danang dan selalu menunggunya dengan setia. Mereka tak pernah tahu lantaran Danang tak pernah mendeklarasikannya. Ia selalu mengaku duda pada setiap perempuan yang hendak ditaklukannya.
Danang sudah berusaha mengakuinya pada Rina. Tentang semuanya. Tak ada lagi yang disembunyikannya. Ia memohon maaf pada Rina. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka sebagai pasangan suami istri yang harmonis. Danang sudah menceraikan istri-istri yang lain dan hanya punya satu istri yaitu Rina. Sebagai bukti kesetiaan selanjutnya, ia mengajak Rina turut-serta tinggal di Jakarta. Bersama-sama mengelola usaha di sana. Namun Rina tak mau. Ia tak bisa meninggalkan Dani sendirian di rumah. Apalagi anaknya itu pun tak mau pindah ke Jakarta meski dibujuk oleh Danang dengan berbagai cara. Danang berusaha bertikad baik. Ia ingin menjalani rumah tangga yang tentram. Ia pun menyadari, Rina satu-satunya perempuan berhati bersih. Terbukti dengan tulus menerima keberadaan Erika yang oleh ibu kandungnya sendiri dicampakkan dan tak lama diabaikan oleh ibu tiri barunya. Hingga akhirnya Danang memutuskan untuk membawanya ke haribaan Rina.
Danang akhirnya tak bisa memaksa. Ia kembali ke Jakarta. Ia pun sudah merasa tenang melihat Erika nyaman bersama Rina. Istrinya itu sangat menyayangi Erika. Sikap Rina tak pernah dibuat-buat. Seadanya. Tak ada unsur kepura-puraan. Ia menunjukkan kasih sayang dan perhatian pada Erika bukan hanya depan suaminya. Namun di belakang. Depan saudaranya. Depan tetangganya. Depan banyak orang. Selalu ditunjukkan bahwa seolah ada hubungan darah antara dirinya dengan Erika. Meski anak itu baru tiga minggu bersama. Anak itu membuat Rina jatuh hati dan tak tega jika harus mengabaikannya. Sikapnya yang lucu dan menggemaskan sangat menghibur keseharian Rina yang sebelumnya kerap didera sepi.
Dan pagi ini, Rina tengah bersenandung kecil sembari menyapu lantai di rumahnya. Erika tengah tidur. Waktu menunjukkan pukul sebelas. Usai menyapu lantai yang sudah bersih, ia membereskan pakaian dalam lemari. Padahal sudah rapi. Sesekali matanya melirik ke Erika yang tergolek pulas di atas pembaringan berseprai merah hati. Mata Erika terpejam dengan bibir tersenyum. Rina mengamati wajah anak itu. Kulitnya tak putih. Cenderung hitam malah. Rina tak tahu bagaimana warna kulit ibunya. Jika putih berarti Erika menurun dari Danang, ayahnya. Erika berhidung mancung. Tak seperti hidung ayahnya yang agak pesek. Rina menduga ibunya Erika berhidung mancung. Namun anak itu murah senyum. Seperti halnya Danang. Juga Rina. Rina dikenal murah senyum meski terkadang mudah tersulut emosi terlebih jika tengah marah ataupun jika tersinggung. Ratna lagi-lagi tersenyum. Kehadiran Erika yang membuat senyumnya kerap terulas. Anak itu berkah buatnya. Menyadarkan Danang akan kesetiaan yang seharusnya dijaga semenjak awal menikah.
Rina masih bersenandung ketika terdengar ketukan pintu depan. Bergegas, ia melangkahkan kaki. Membuka daun pintu. Seorang pelanggan yang setia. Marisa, perempuan kaya. Ia baik dan tak sombong. Meski banyak uang, ia lebih suka menjahit pakaian di tempat Rina. Bahkan ketika di kota kecil ini menjamur penjahit baru yang berhasil menarik banyak pelanggan Rina, perempuan itu tetap setia. Baginya, selain Rina bisa menjahit pakaian sesuai dengan keinginannya dan jarang mengecewakan, juga Rina suka mau menanggapi ceritanya. Marisa kerap berbagi cerita dalam rumah tangganya. Perihal suaminya yang pemarah dan ketahuan selingkuh. Jika bersua Rina, mereka klop membahas itu meski untuk urusan rumah tangga, Rina tak mau berbagi kisah. Hanya orang-orang tertentu saja. Bahkan cenderung membatasi. Pada kakaknya saja kerap ia menahan mulutnya. Terkecuali pada Ema sahabatnya. Apalagi pada Marisa yang sebatas pelanggan.
“Apa kabar?” Marisa menyalami Rina. Lalu duduk di sofa setelah Rina memersilakannya. Rina masuk dulu ke dalam, menuju dapur. Membuatkan teh manis. Lengkap dengan sepiring kudapan yang terbuat dari bahan ubi jalar yang ditabur kelapa parut. Lalu kembali ke ruang tamu. Marisa tengah membuka buku mode. Tas plastik berisi kain disimpan di sampingnya.
“Urusan menjahit, gampang. Saya sudah siapkan beberapa kain. Modelnya... gimana Mbak Rina saja. Toh Mbak Rina lebih tahu model zaman sekarang,” Marisa tersenyum. Perempuan kelahiran Solo itu sangat ramah. Hanya yang Rina kurang sukai darinya, Marisa suka mau tahu urusan orang. Namun Rina berusaha bijak, tak suka menanggapi dan lebih memilih mengalihkan pembicaraan ke hal lain. Begitu cara mempertahankan tipikal pelanggan seperti Marisa.
“Baiklah, Bu Marisa... ayo diminum dulu!” tawar Rina.
“Terima kasih,” Marisa mengambil gelas di atas meja setelah menyimpan buku mode di bawah meja kaca. Lalu menyeruputnya sedikit. “Mbak Rina, cerita dong... masa sama saya tidak mau cerita...”
“Cerita apa ya, Bu Marisa... kan biasanya Bu Marisa yang punya segudang cerita.”
“Katanya ... Mbak Rina punya anak perempuan.”
Rina pun tersenyum. “Benar, Bu Marisa.”
“Kalau boleh tahu, Mbak Rina... itu anak dari mana? Panti asuhankah? Atau mungkin anak saudara jauhnya Mas Danang?” Marisa tampak penasaran.
Rina terdiam sesaat. Kehadiran Erika tak bisa disembunyikan. Toh bukan benda mati. Namun benda hidup. Makhluk hidup alias bernyawa. Rina pun kerap membawa Erika bermain ke luar. Atau berbelana ke pasar. Bahkan ketika Danang belum pergi lagi ke Jakarta, mereka berempat-- Danang, Rina, Erika dan Dani pergi bersama. Berjalan-jalan dengan mobil baru. Orang-orang tentu saja melihatnya dan apa yang mereka lihat, mengundang tanya pada mereka sendiri. Siapa anak perempuan kecil itu?***