Episode 15

2021 Kata
Aku tahu, hari dimana aku mengatakan itu kepada Arya, huru-hara pasti terjadi di kantor. Entah mulai darimana, seperti hutan yang kebakaran, namun memang semuanya akan terjadi secepat kilat. Tidak ada satupun orang, bahkan bagiku untuk bisa memadamkan apinya. Dan mungkin, aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menanggulangi itu semua. Di dalam sana, aku hanya bisa harus bertahan. Menghadapi lirikan begitu banyak orang, termasuk pria dan wanita. Mereka, mungkin akan menganggapku sebagai wanita yang gila, lebih memilih untuk melakukan hal yang bersifat takhayul dan juga imajinasi ketimbang sosok pria asli seperti Arya sekarang. Aku, siap tidak siap harus bertahan atas semua itu, yang tentu saja mengiris hatiku saat aku mengetahui tatapan sinis mereka. Apa yang kuhadapi sekarang, mungkin saja berbanding terbalik dari kenyataan yang akan kuhadapi dan masa depan yang ada di sana. Aku, mungkin tidak akan bisa membuat berjalan mundur atau mengambil kembali keputusan yang kubuang itu. Aku, telah berjalan di atas tumpukan paku dan juga jarum, dengan kaki berdarah-darah dan juga kulit tertusuk-tusuk sekarang. Meninggalkan banyak jejak panjang. Kira-kira, sudah 5 hari sejak aku bermalam dengan Arya di malam itu. Aku tahu kalau kejadian itu tidak akan langsung diketahui oleh orang-orang kantor saat hari itu juga. Mungkin, satu minggu atau beberapa hari setelahnya, mereka akan mengetahui apa yang terjadi. Tentang hubunganku dengan Arya yang sudah mulai menjadi konsumsi publik dan rahasia umum di benak orang-orang. Namun ternyata lebih cepat daripada dugaan sekaligus perkiraanku. Kira-kira hanya butuh waktu 3 hari bagi mereka untuk menyebarkan api itu. Api yang memang tidak akan bisa ditanggulangi lagi. Aku tahu, kalau memang mungkin bukan Arya yang menyebarkan api tersebut. Melainkan seseorang, sesuatu yang lain. Sesuatu yang sudah mengamatiku dan juga melihat gerak-gerikku. Tatapan orang-orang saat aku melangkah di depan mereka seperti ingin untuk melihatku mati, mengenaskan dengan pisau tertusuk tepat di jantungku. Aku adalah penjahat dalam cerita ini. Tapi mereka mungkin tak tahu, kalau aku sudah berdarah-darah, hingga sebelumnya. Hanya saja, mereka tak tahu apa yang sedang atau akan kualami sekarang ini. Yang mereka tahu hanya apa yang mereka lihat. Aku tidak protes, ataupun marah ataupun kesal. Karena sebagian besar peran daripada semua cerita itu memang aku ikut andil untuk membuatnya menjadi seperti itu. Aku, mungkin tak akan bisa menjadi sepopuler ini di kantor akibat cerita itu. Mungkin saja, kantor lain di gedung sebelah juga mendengar cerita tentang soal diriku sekarang, bak artis papan atas dengan segala skandal dan juga kasusnya. Yang aku bisa lakukan sekarang hanyalah bersabar, menerima semua tatapan itu dengan lapang d**a. Aku tidak bisa berbuat apa-apa saja juga sekarang ini. Sejauh aku melihat, hanya tatapan yang mengerikan itu membuatku sedikit bergidik ngeri. Selain itu, aku merasa aman-aman saja, tidak akan ada yang bisa menghalangiku untuk beraktivitas sehari-hari. Aku hanya tidak ingin tatapan kematian itu berubah menjadi ancaman pembunuhan, kata-kata kasar, atau serangan fisik kepadaku. Yang tentu saja akan membuatku merasa terganggu. Karena jika mereka menatapku, menatap mereka balik pasti akan membuat mereka takut kepadaku, hilang akan rasa tidak percayaannya lagi kepadaku. Membuatku, menjadi pemenang sementara dalam semua cerita ini. Aku mungkin menang, tanpa adannya trofi, kebanggaan, ataupun juga hal untukku ceritakan. Hanya menambah rasa malu sekaligus masa lalu ingin segera ku kubur. Hanya saja, satu pertanyaan masih mengganjal di hatiku. Setelah semua yang kurasakan untuk keputusan itu, apakah itu hal yang benar? *** “Jadi, Sabrina,,, Apakah rumor itu benar? Kalau kau meninggalkan Arya sendirian dengan darah dingin?” tanya Wulan kepadaku. Sahabat dan juga teman terbaikku di kantor ini. Tidak mungkin, bagi sosok Wulan tidak mendengar rumor itu darimana pun. Hanya saja, dia menahan-nahannya, tidak ingin langsung bertanya kepadaku karena dia mungkin merasa akan menyakiti hatiku. Aku tidak bisa berbohong atau mengelak rumor itu, karena memang, aku telah melakukannya. “Ya, di malam itu. Saat aku dan Arya, aku meninggalkannya sendirian di sana.” Jawabku dengan santai, sambil memasukkan sesuap sendok ke mulutku, mengunyahnya dengan perlahan-lahan, sementara dagu Wulan turun ke atas meja, kaget sekaligus syok dengan apa yang kukatakan kepadanya. Wulan menaruh sendok dan garpunya di atas piringnya, menyatakan sikap kalau dia akan berhenti memakan, meskipun masih banyak sekali nasi sekaligus lauk di dalam piring itu. “Kau benar-benar serius? Setelah apa yang kau lakukan dan apa yang Arya lakukan kepadamu? Kau meninggalkannya begitu saja? Apa alasannya? Pasti ada penjelasan yang masuk akal tentang itu semua dong?” Aku kembali memakan makananku, melihat sesuatu ke arah yang lain, menikmati pemandangan orang-orang yang masih melirikku dengan tajam dan mencuri-curi pandang sekarang. Kemudian, aku melirik makanan milik Wulan berkata sesuatu kepadanya, “Kau tidak berencana untuk memakan makananmu? Itu masih banyak loh. Jika kau sedang berada dalam program diet, aku mau kok menghabiskannya”. Wulan memegang kedua tanganku sekarang, menaruh sendok yang kugenggam di atas piringku dengan cepat dan juga cekatan. Dia mengunci mulutnya sekarang, seperti ingin untuk segera menamparku atas perbuatanku yang mengacuhkannya sekarang. “Tidak, lupakan itu Sabrina! Kau harus menjelaskanku atas sesuatu yang terjadi di sini!” Aku menatap ke arah Wulan, masih mengunyah makanan di dalam mulutku. Jika aku mencoba berbicara sekarang, maka makanan yang ada di dalamnya akan tumpah-tumpah dan muncrat mengenai mukanya. Aku tidak ingin, jika aku bersikap tidak sopan di hadapan Wulan. Aku menelan habis makananku sekarang, mendorongnya masuk ke dalam lambungku. “Apa yang harus kujelaskan lagi kepadamu?” “Kenapa kau meninggalkan Arya begitu saja? Bukankah dia adalah pria impian yang kau inginkan? Aku masih tidak paham dengan jalan pikirmu Sabrina, kau selalu berkata kalau kau menginginkan seorang pria untuk menjadi pasanganmu. Namun saat kau mendapatkan peluang untuk mendapatkan itu, mengapa kau membuangnya begitu saja?” tanyanya kepadaku. Pembicaraan kami mulai menjadi serius. “Bagaimana jika kukatakan kepadamu, kalau Arya, sejak awal, bukanlah pria impianku? Bagaimana jika sejak awal, aku tidak pernah mencintainya? Bagaimana jika memang Arya tidak masuk di dalam kriteriaku? Bagaimana jika sejak awal, semua rumor itu memang benar. Bahwa aku adalah penjahat dari cerita ini. Apakah kau masih mau menjadi temanku Wulan?” Sebuah pernyataan yang benar-benar gila memang. Wulan sampai menggebrak meja makan kami, menimbulkan sebuah suara yang sangat nyaring membuat orang-orang di sekitar kami melihatnya dan kami malu untuk menjelaskan apa yang terjadi. Aku pun hanya bisa diam, karena memang obrolan kami sudah mulai mengarah ke arah yang benar-benar serius sekarang. “Apa kau benar-benar gila? Jika memang Arya bukan tipemu, mengapa kau menerimanya saat dia mengajakmu untuk berkencan? Kenapa malam itu, kau malah menyuruhnya untuk tidur bersamamu? Katakan kepadaku, cara untuk membuat dirimu menjadi sosok yang masuk akal dan rasional, apa yang sebenarnya terjadi dalam otakmu itu?” tanya Wulan sampai menyentuh dan mendorong kepalaku. “Tidak ada...” Jawabku dengan lugas dan juga sederhana. Karena memang itu, mungkin yang sedang kupikirkan sekarang. “Apakah kau masih menganggapku sebagai sosok yang tidak rasional jika aku tidak menjawab aku tidak memiliki alasan apa-apa untuk meninggalkannya. Sesederhana kau akan membuang bungkus makanan, karena sudah tidak ada apa-apa di dalamnya. Apakah itu cukup rasional bagimu?” “Tidak, tidak rasional sama sekali Sabrina!” Balas Wulan lagi, masih tak terima dengan apa yang kuucapkan kepadanya. Aku tak tahu, jawaban seperti apa yang dia inginkan dariku untuk kujawab untuknya. “Aku yakin, pasti ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang menjelaskan atas semuanya. Dan kau, masih menyembunyikan sesuatu itu dariku, kau tidak ingin semuanya tersebar kembali ke muka umum”. “Katakan kepadaku Sabrina, apakah alasanmu mencoba untuk meninggalkan Arya, hanya semata-mata karena kata-kata seseorang di dalam mimpimu itu? Kata-kata yang membuatmu terhipnotis, terdikte, dan juga membuat gila seperti sekarang. Aku telah mendengar banyak rumor Sabrina, dan aku tidak ingin kau untuk mendengarkan semua rumor yang gila itu!” Balas Wulan kepadaku. Sekarang, berbalik dirikulah yang kaget. Hanya Wulan, dan Aryalah salah satu orang yang mengetahui tentang sesuatu di dalam mimpiku itu. Dan aku yakin, salah satu dari merekalah yang menyebarkannya. Hanya saja aku tak tahu, darimana rumor itu berasal dan beredar. Aku tak bisa mempercayai mereka. “Darimana, kau tahu soal rumor itu? Aku hanya memberitahukannya kepada Arya dan juga dirimu, soal sesuatu di dalam mimpiku. Katakan kepada diriku, Wulan. Apa yang telah kau lakukan untuk menyebarkan rumor itu? Kau benar-benar sahabatku kan?” tanyaku dengan sangat serius kepada Wulan sekarang. Namun jawaban Wulan sama syoknya dengan diriku sekarang. “Tidak! Aku tidak menyebarkan atau menambahkan apa pun soal rumor itu! Aku bahkan tidak tahu mana yang benar dan juga mana yang hanya rumor beredar! Aku bertanya kepadamu sekarang, hanya karena aku ingin tahu! Apa sebenarnya kondisi yang terjadi dengan sahabatku sekarang ini! Apakah dia masih seorang sahabat yang telah kukenal selama ini!” Tanya Wulan, mendesakku untuk menjawabnya. “Biar ku katakan sesuatu kepadamu, Wulan, agar kau bisa mengerti tentang apa yang kurasakan sebenarnya.” Aku beranjak dari tempat dudukku sekarang, aku pun meminum minuman di gelasku itu sampai tengguk terakhir, tidak menyisakan satu cairan pun di dalamnya. “Aku mungkin menyukai Arya, aku mungkin sangat menyukainya. Namun bukan berarti aku mencintainya.” “Dan soal mimpi yang ada di alam sadarku itu, mungkin saja itu memang benar. Kalau selama ini, aku telah di dikte, di tuntun, atau diarahkan oleh seseorang di dalam sana. Namun setahuku, rumor itu tidak mungkin menyebar jika bukan karena ulah seseorang. Aku tidak tahu, siapa diantara kalian berdua yang menyebarkannya, namun aku benar-benar merasa sangat haus sekarang”. Aku pergi, meninggalkan Wulan sendirian di sana. Aksi yang kami berdua lakukan di kantin itu benar-benar seperti pertunjukkan drama, semua mata memandang tertuju ke kami. tapi itu tidak masalah, asalkan semuanya benar-benar berarti. Masih duduk di bangku itu, aku mendengar suara Wulan, berkata dengan lirih. “Sabrina, mimpi itu telah merusak dirimu. Apa yang terjadi denganmu sebenarnya?” *** Pak bos memanggilku ke dalam ruangannya, dia berkata kalau dia ingin mengatakan sesuatu yang penting kepadaku sekarang. Aku tak tahu apa yang dia ingin bicarakan, namun sepertinya akan ada projek baru yang akan aku lakukan, bersama salah satu pegawai yang ada di kantor ini. Sebagai pegawai yang baik, aku tidak bisa menolak apa yang menjadi tugasku saat ini. “Ah... Sabrina. Akhirnya kau datang juga. Kemari, duduklah.” Sambut pak bos setelah aku membuka pintu dan mengetuknya beberapa kali. Ternyata di kantor itu, duduk seorang pria yang sangat ku kenal. Arya, memakai baju kemejanya dengan rapi. Aku merasa sedikit terkejut, dan aku mengira pak bos tak tahu rumor apa yang sedang berkembang antara aku dengannya. “Perkenalkan dia Arya, salah satu petugas IT di kantor ini. Mungkin, kau telah bertemu dengannya beberapa kali di kantor ini. Dan kalian mungkin tidak pernah mendapatkan perkenalan yang formal sebelumnya.” Ucap Pak Bos kepada kami berdua. Aku pun hanya bisa mengangguk hormat kepadanya. Aku mengulurkan tanganku ke arah Arya, mencoba berjabat tangan dengannya sekarang. Aku lupa, memang sejak awal pertemuan kami berdua, kami tidak pernah berkenalan dengan cara yang formal. Aku tak tahu, apakah hal ini adalah hal yang telat untuk dilakukan atau tidak, namun ini adalah hal yang benar untuk dilakukan. “Perkenalkan, namaku adalah Sabrina. Karyawan bagian Marketing di sini.” Arya menjabat tanganku juga, dengan sangat erat, menggenggamnya sampai membuat tanganku sedikit sakit. Dia pun tersenyum, entah tersenyum sinis ke arahku, atau tersenyum tulus karena ada pak Bos di samping kita. Namun aku bisa merasakan kalau dia masih merasa sakit hati dengan apa yang kulakukan dengannya beberapa hari yang lalu. “Namaku, Arya, bagian IT di sini. Senang juga bertemu denganmu”. Kami berdua pun melepaskan jabatan kami berdua sekarang. Duduk kembali di atas sofa itu dengan nyaman, dan menjaga jarak berjauhan. Untung saja, Pak bos tak menyadari itu kalau kami sedang berjauh-jauhan. Aku merasa biasa saja sebenarnya, namun Arya tentu masih menyimpan rasa kesal dan juga sakit hati kepadaku. “Baiklah, untung saja kalian berkenalan sekarang. Karena sehabis ini, aku ingin kalian untuk membuat tim. Karena untuk beberapa bulan ke depan, akan ada projek yang sangat penting di perusahaan kita, dan aku membutuhkan kerja sama kalian untuk melakukan sekaligus merealisasikannya. Apakah kalian bisa melaksanakan itu untukku?” Tanya Pak Bos kepada kami semua. Aku tak bisa berkata iya, apalagi di depan pak bos. Namun sebelum aku menjawabnya, Arya mengiyakannya terlebih dahulu sebelum diriku. Sampai kami berdua, menjawab kata, “Siap Pak.” Secara bersamaan. Aku yakin, pak bos merasa kalau kecocokan kami sudah sangat siap. Walaupun sebenarnya, itu hanyalah sebuah kebetulan belaka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN