Aku jarang sekali pergi pulang ke rumah ibu. Karena jadwal kerjaku yang memang padat. Aku sendiri memilih bekerja di tempat yang cukup jauh dari ibu mungkin sekitar 15 kilometer jauhnya. Namun hari ini, aku memutuskan untuk pulang ke sana. Aku sudah mulai rindu dengan sayur asem dan nasi liwet yang selalu ia buat untukku
Sebelum masuk ke mobil, aku tak lupa untuk membawa botol aroma terapi. Saat berada di sana, aku kadang-kadang merasa pusing dan tak enak badan. Entah karena hawanya atau mungkin kenangan yang sudah aku buat di tempat itu.
Namun kepalaku selalu terasa pusing tanpa bisa aku sadari dan aku kuasai. Memang cukup berbahaya bila berkendara dengan mobil sendirian. Tetapi aku mengambil jalur yang sepi lalu lintas dan kendaraan, berkendara di mobil ini sangat bisa membuatku merasa tenang melihat berbagai pemandangan yang masih asri dan masih alami khas jalanan pedesaan.
Aku pun masuk ke dalam mobil dan mulai berjalan. Jalanan justru tampak sepi daripada biasanya. Tak terlihat truk antar kota ataupun orang-orang mengendarai motor dengan banyak sekali gerobak berisi sayur dan barang-barang peternakan berlalu-lalang di jalanan. Padahal biasanya kendaraan-kendaraan itu memenuhi satu ruas jalan untuk mereka sendiri.
Aku selalu takut untuk menyalip mereka apalagi saat berada di tikungan yang terjal, namun mereka para pengendara itu bisa dengan mudah dan lancar mengemudikan kendaraan mereka di medan yang sulit sambil menjaga kecepatan dengan stabil.
Bahkan tak jarang aku berjumpa mereka berbelok mengepot sampai gerobak kayu di belakang kendaraan mereka hampir menyentuh aspal. Aku kadang-kadang menyayangkan bakat unik yang mereka miliki, tidak tersalurkan dengan baik dan malah membahayakan nyawa mereka dan orang lain.
Sampai di blok rumah ibuku, walaupun belum lama aku berkunjung di sini namun semuanya sudah tampak berubah dengan cepat. Ada banyak bangunan perumahan baru dan pedagang kaki lima di pinggir jalan menandakan kalau blok perumahan ini semakin ramai.
Padahal dulu aku harus sampai lelah berjalan ke blok rumah yang lain untuk hanya membeli jajan dari abang-abang pinggir jalan karena mereka jarang sekali lewat di blok rumahku yang sepi. Aku cukup merasa iri dengan mereka yang baru bermukim di sini. Sudah menikmati berbagai fasilitas yang tidak pernah aku nikmati saat masih di sini sewaktu kecil.
Aku juga melihat ada gerombolan anak kecil yang bermain bola di pinggir jalan seakan-akan ruas jalan itu adalah milik mereka seorang. Padahal dulu aku ingat kalau blok perumahan elit sehingga tidak ada anak-anak iseng yang bermain di jalan. Tetapi aku tidak protes akan hal itu, justru aku merasa dengan melihat mereka blok yang dulu mati ini menjadi hidup dengan kehadiran mereka
Aku akhirnya datang di tepat rumah ibuku, dibandingkan bangunan yang lain. Rumah ini benar-benar sama seperti dahulu. Aku membunyikan klaksonku, mencoba memanggil ibuku yang berada di dalam rumah. Jika ia tidak menyahut, antara dia sedang pergi atau memang masih tidur. Namun ibu jarang sekali masih tertidur pagi-pagi. Dia akan selalu bangun dan membersihkan rumahnya. Dan kalaupun dia sedang pergi, apa yang dilakukan lansia di hari minggu selain berada di rumah
“Iya Sabrina. Ibu keluar” sahut ibuku dari jendela lantai dua. Ia membuka jendelanya sambil melambaikan tangan padaku dengan senyuman. Aku pun balas melambaikan tanganku juga seraya turun dari mobil. Tak sia-sia aku datang se pagi ini
Ibu membuka pintunya dan langsung memelukku hangat. Ia berkata, “Ya ampun, anakku paling manis, cantik, pinter pulang juga. Kamu sudah makan? Ibu belum masak sih, soalnya ibu mengira kamu gak bakal datang. Kamu ingin ibu bikinin apa?” aku benar-benar merindukan sambutan hangat ini. Mungkin yang membuatku masih bertahan dan semangat menjalani hidup sampai sekarang adalah ibuku ini
“Ah... Ibu, jangan keras-keras dong ngomongnya, malu ntar di dengerin tetangga. Bagaimana kalo mereka denger aku masih di timang-timang kek begitu. Sudah gede juga”
“Halah... tetangga siapa yang denger. Bu inem sama Pak Harris paling masih tidur. Mereka tua-tua malah sering begadang bukannya olahraga pagi-pagi. Jadi bagaimana, mau sayur sop atau sayur asem? Ibu sudah ada bahan-bahannya tinggal di masak” mungkin bagi semua ibu di dunia, seberapa besar umur anak mereka, akan selalu menjadi anak kecil di mata mereka
“Yaudah buruan masuk ihh... aku capek nyetir mobil daritadi” lanjutku dengan manja
“Iya-iya, duh cantik-cantik masih aja manja” balas ibuku, “Yaudah ayo masuk, ibu masak Sayur asem ikan pindang saja ya. Ibu tahu meskipun kamu gak ngomong bakalan minta itu”
Aku membuka pintu rumah yang pernah aku tinggali ini. Semua motif dan ukirannya tetap sama seperti dahulu. Bau kayu mahoninya juga tetap tercium, namun itu membangkitkan kenangan yang lain saat masuk ke rumah ini.
Dan terang saja, sebuah foto keluarga besar antara aku, ibu, dan ayahku masih dipasang di tembok depan rumah. Ayahku yang sudah lama tiada tetap membuatku sedih saat memandangi foto ini. Aku selalu lebih dekat dengan ayah daripada ibu.
“Ibu, kenapa foto ini nggak dipindahin sih? Aku kan sudah nyuruh buat ditaroh di kamar saja?” aku sudah sering sekali berpesan kepada ibu untuk menyimpan foto ini di kamar. Aku masih tidak bisa membendung emosi kesedihanku saat melihat pose foto ayah memegang bahu kananku dengan senyuman manisnya itu. Aku selalu membayangkan saat-saat bersama ayah saat beliau masih hidup dahulu.
Ibu yang berdiri di depanku, memegang bahuku dan menatap dengan khawatir ia berkata, “Apa kau masih bersedih tentang ayahmu? Kejadian itu sudah lama sekali. Aku berpikir kau mungkin akan dapat melupakannya dengan kehidupan barumu yang berada di kota. Sekarang ibu menjadi khawatir dengan dirimu yang selalu bersedih. Tidak bisakah kau menjadi ceria dan melupakan kesedihan ini? Menjadi seorang Sabrina yang selalu ceria seperti di masa lalu?” kata ibu.
Mendengar kata itu aku menjadi khawatir lagi dengannya. Aku tidak ingin berdebat kenapa aku tidak bisa melupakan ayah, karena aku tahu kalau ibu adalah orang yang paling menderita di sini. Aku tidak bisa membiarkan egoku dan malah beradu nasib dengannya
Aku memeluk ibuku lagi dengan erat, lebih erat daripada sebelumnya dan berkata. “Maafkan aku ibu, mungkin aku tidak akan bisa menjadi seorang Sabrina yang dulu ibu kenal. Maafkan aku juga harus pergi ke kota meninggalkanmu sendirian di sini” aku bisa mendengar suara isakan ibu. Aku tidak tahu kalau itu adalah suara tangisan karena situasi haru ini atau dia sedang memakai aroma terapi karena hidungnya tersumbat
“Kau tidak perlu meminta maaf Sabrina. Itu memang jalan yang seharusnya kau tempuh. Aku tidak akan meminta atau menuntut apapun darimu, aku hanya berharap kau selalu bahagia dengan jalan yang akan kau pilih tanpa penyesalan di kemudian hari” balas ibu dengan isakan yang masih terdengar jelas. Aku melepaskan pelukanku, menatap matanya yang berkerut dengan hangat
“Jadi, apakah kau akan membiarkanku menunggu di sini dengan perut berbunyi keroncongan” ucapku mencoba mencairkan suasana. Ibu langsung tersenyum dan menolehkan kepalanya. Aku selalu senang bila melihat ibu memasang raut wajah bahagia seperti itu, “Badanmu sudah terlalu kurus, aku yakin makanan di kota tidak cukup bergizi untuk tubuhmu. Ya sudah ibu akan memasak terlebih dahulu.”
Ibu langsung berjalan menuju dapur. Sementara aku berbelok ke arah ruangan sebelah kanan tempat meja makan dan sofa terpasang. Aku meletakkan tasku di sana seraya melepaskan sweater rajutku. Langsung tidur bersantai di sofa. Sudah lama sekali aku tidak merasakan sofa tua yang masih terasa empuk ini.
Aku masih bisa mencium aroma bunga melati dan anggrek yang ibu tanam di belakang rumah. Dia memang hobi menanam tanaman hias seperti itu. aku pun bangun dari sofa itu mencoba untuk menyalakan televisi tabung yang masih menggunakan antena analog. Semuanya benar-benar masih terasa sama seperti dahulu
Namun ada sesuatu yang aneh, aku melihat sebuah pamflet berisikan iklan sebuah properti rumah yang letaknya tak jauh dari sini. Namun bukan iklan itu yang aku anggap aneh. Namun sesuatu yang familiar dan cukup mengganggu pikiranku. Aku memperhatikannya lagi dengan seksama.
Dan ternyata itu adalah wajah seorang model yang ada di pamflet itu. Aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat, namun aku tidak pernah merasa mengenal satu model pun dalam hidupku. Aku pun berpikir dengan keras. Dagu tegas dan hidung lancipnya menyita perhatianku
Hingga aku tersadar kalau itu adalah foto pria yang kutemui di dalam mimpi.
Aku langsung membaca pamflet itu dari atas, bawah, kanan, kiri sampai tulisan-tulisan kecil. Ini benar-benar hanyalah sebuah pamflet promosi properti biasa dengan berbagai tulisan heboh agar para pembacanya tertarik untuk membeli. Tidak ada nama dari model itu yang bisa aku cari. Satu-satunya informasi yang bisa aku dapatkan adalah nama dari perusahaan properti ini. Anjasmoro Group.
Ibu datang dari dapur, membawa sirup rasa jeruk kesukaanku. Meletakannya di meja tepat di hadapanku, embun air es nya terlihat sangat segar hingga bisa membuatku melupakan pamflet ini untuk sementara. “Esnya mau kadaluarsa nih, sayang kalo belum kunjung diminum siapa-siapa. Untung ada kamu, ibu nggak bisa minum air es soalnya”
“Bu, ibu dapet pamflet ini darimana?” tanyaku dengan tegas, namun ibu masih belum paham kalau aku menanyakannya dengan sungguh-sungguh dan serius. Aku juga belum pernah menceritakan tentang mimpi yang aku alami sebelumnya kepadanya. Aku takut dia khawatir dan memikirkan hal yang tidak-tidak saat aku menceritakannya
“Entahlah, ibu sudah mendapatkannya beberapa hari yang lalu dari seorang penyebar pamflet” kata ibu. Dia mulai sadar dengan melihat raut wajahku yang mulai cemas seakan-akan ada sesuatu yang aku sembunyikan. “Memangnya ada apa, adakah sesuatu penting yang merisaukanmu”
“Ohh.. aku tahu, apakah kau tertarik dengan pamflet properti ini?” ibu menatapku sambil tersenyum bangga, “Aku tahu kalau kau akan suatu saat membutuhkan rumah untuk kau singgahi, alih-alih tidur di apartemen yang sesak dan padat itu. Namun aku akan memberimu nasehat, kau tidak seharusnya buru-buru membeli properti karena kau masih muda, hidupmu akan selalu bergerak-gerak dengan dinamis hingga kau sendiri tak tahu dimana kau akan berada di masa depan. Lagipula bukannya aku menuntutmu, kau masih belum mempunyai keluarga, tidak ada tanggungan yang membebanimu saat ini. Walaupun memang properti bisa menjadi investasi jangka panjang untukmu, jika kau memiliki anggaran yang memadai juga” aku tak tahu harus membalas apa, karena ibu sudah berbicara panjang lebar namun tebakannya salah tentangku.
“Ehhmmm... tidak ibu. Aku tidak berencana membeli properti juga di dalam waktu yang dekat” jawabku sambil menggelengkan kepala. “Aku bertanya kepadamu karena aku penasaran dengan model yang ada di pamflet ini”
Ibu menarik pamflet yang aku bawa. Dia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Wahh... apa kau mengenalnya? Dia cukup tampan juga. Apakah kau akan segera mengenalkannya kepada ibu?” tanya ibu seakan-akan dia yakin sekali pria itu akan menjadi menantunya
“Nah, itu dia masalah yang aku hadapi. Aku tidak tahu siapa dia. Aku sudah mencari-cari identitasnya dimana-mana namun aku tidak bisa menemukan apa-apa. Aku bingung bagaimana ibu bisa mendapatkan pamflet dengan wajah orang ini di halaman depannya” lanjutku. Aku mengambil gelas minuman sirup dingin ini sudah cukup lama tidak aku minum sejak tadi. Berbicara mengenai pria itu kepada ibu cukup membuatku haus
“Hah... aku kira pria zaman sekarang akan mudah ditemukan. Namun jika mendengar ucapanmu barusan aku merasa tidak semuanya berjalan sesuai zaman, akan ada saja orang-orang yang menutup identitasnya tak terlihat dari luar hanya karena mereka memiliki ideologi yang kuno di dalam diri mereka, atau mungkin juga mereka tidak ingin dikenali siapapun. Namun jika memang benar begitu, kenapa dia bisa menjadi model iklan pamflet?” tanya ibu. Kata-kata “Kuno” yang ia ucapkan juga membuatku sadar. Apakah mungkin pria ini adalah seseorang di masa lalu sehingga tidak ada rekaman jejak digital yang bisa aku gunakan untuk mengetahui identitasnya?
“Ya aku rasa begitu ibu. Mencari pria ini sungguh sangat menguras tenaga dan pikiranku. Sampai-sampai aku harus menolak menerima hubungan dari seorang pria. Aku sekarang tidak tahu apakah pilihanku itu benar-benar keputusan yang bijak atau bukan” lanjutku sambil menghabiskan minuman sirup itu segelas penuh
“Tunggu-tunggu. Kau berkata kalau kau tidak pernah menemukan pria ini, lalu bagaimana kalian bertemu?” tanya Ibu yang mulai terlihat curiga
“Awalnya kami bertemu di sebuah kedai pinggir jalan. Namun karena aku mengantri disana, ternyata kedai itu tutup, dan pria itu datang sambil memberikan kopinya padaku. Kami berdua berbincang-bincang semenjak itu. namun saat aku mencoba berkenalan kepadanya, dia menolak untuk memberikan namanya” jawabku
“Tidak Sabrina, dimana tepatnya kau menemui pria ini? Karena sungguh aneh untuk dirimu mengantri di sebuah kedai kopi seperti itu” aku merasa ibu sudah berada di tingkat kecurigaan tertingginya. Aku tidak mempunyai jalan lain selain mengaku bagaimana aku bertemu dengan pria itu.
“Aku bertemu dengannya di dalam mimpi”