Dengan cepat, sebuah cahaya ledakan yang kecil keluar dari tangan wanita itu, menggenggam taring itu di dalamnya. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apa yang mungkin akan dilakukannya sekarang. Aku pun juga sangat takjub, karena dia seperti bisa mengeluarkan kemampuan sihir dari sana.
Dan tiba-tiba, saat dia membuka tangannya, ternyata cincinnya itu telah terbakar, hangus tak bersisa hanya meninggalkan abu dan juga debu-debu sekarang. Uangku, yang kuhabiskan dengan begitu banyak, bisa-bisanya dia hancurkan begitu saja sekarang. “Hei! Siapa yang menyuruhmu untuk menghancurkan kalung itu. Aku membelinya dengan uang, bukan dengan daun.”
Aku terlalu emosi, seperti lupa dengan kenyataan bahwa wanita ini bisa menghanguskan sesuatu hanya dengan tangan kosong miliknya. Tanpa bantuan alat apa-apa di tangannya. Aku melirik Wulan, dia sangat takjub dan menganga terkesima dengan apa yang baru saja dia lihat saat ini. “Kau, menghancurkan kalung itu, dengan sangat mudahnya. Siapa kau sebenarnya?” tanyanya kepada wanita itu.
“Maaf. Jika aku telah menghancurkan kalungmu ini. Aku akan berusaha menggantinya, kirimkan saja nomor rekeningmu, aku akan meminta yayasan untuk mengembalikannya.” Dengan mudah dan santai, wanita itu mengambil ponsel miliknya, mencoba untuk menghubungi seseorang yang dia kenal sekarang. Aku pun, tentu saja tak mau rugi mengirimkan nomor rekeningku padanya saat itu juga.
“Lihatlah rekeningmu, aku yakin dananya sudah masuk sekarang.” Sahut wanita itu dengan sangat cepat. Saat aku memeriksa saldoku, ternyata memang benar. Uangnya sudah masuk. Jika ia dapat dengan mudahnya mengganti rugi kalungku tadi, kenapa dia harus dengan susah payah mencoba untuk bekerja kasar menjadi seorang pelayan seperti tadi? Bukankah lebih mudah jika dia menjadi dukun?
“Kami, sudah lama ingin mencari artefak itu. Lebih tepatnya, ada 5000 lebih artefak taring macan yang tersebar di Indonesia, atau mungkin seluruh dunia sekarang. Dan jika kami menemukan salah satu dari artefak itu, kami diwajibkan untuk menghancurkannya saat itu juga. Aku tahu, kalau jika aku harus mengatakan izin terlebih dahulu kepadamu, Anda tidak akan mungkin mengizinkannya”.
“Tunggu sebentar, lupakan soal kalung itu. Aku penasaran dengan dirimu,” tanyaku, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi sekarang ini. “Kau, siapa sebenarnya dirimu? Bagaimana kau dengan mudahnya menghancurkan kalung itu tanpa tenaga ataupun juga effort yang berlebih?” tanyaku. Di mataku, dia seperti penyihir professional yang menyembunyikan dirinya di hadapan orang umum.
“Sudah kubilang, aku memiliki bakat ini. Semenjak aku kecil. Dan tempat yayasan kami sedang berada sekarang, mengharuskan kami untuk tidak menggunakan kemampuan kami untuk keuntungan pribadi. Kami hanya diperbolehkan untuk menyelamatkan umat manusia. Jika kami sudah sampai masuk berita, maka kami menganggap kalau itu sebuah kegagalan.” Balasnya dengan panjang lebar.
“Namun sekarang, para dukun-dukun gadungan mulai menampakkan diri mereka di publik. Seperti tidak tahu malu dan juga tidak memiliki harga diri. Jangan mengira kalau kami belum memperingatkan mereka, kami sudah melakukannya. Namun, keuntungan yang telah mereka perbuat akan membuat kami menjadi lebih mudah untuk roboh nantinya. Kami pun lebih memilih untuk diam, bergerak dari balik layar”.
Perkataannya memang benar, jika seseorang telah sangat sukses dan memiliki lapangan pekerjaan. Akan sangat disayangkan jika seseorang itu akan dengan mudahnya jatuh, merugikan banyak sekali pekerja dan orang-orang yang berimbas kehilangan pekerjaan akibat yang dilakukan dirinya.
“Memangnya, kalau boleh tahu, apa yang kau lakukan dengan pergi ke dukun itu? Apakah kau ingin menyantet seseorang sekarang?” Tanya wanita itu padaku. Aku lupa, kalau wanita ini adalah dukun yang asli. Jika aku memberikan foto dari pria itu, mungkin dia akan tahu siapa pria itu yang sebenarnya. Aku merogoh-rogoh tasku, mencari poster itu untuk kuberikan padanya sekarang.
“Aku mencari seorang pria ini. Dukun itu berkata, kalau dia telah meninggal. Apakah kau tahu sesuatu soal ini?” Tanyaku kepadanya. Fatima pun tersenyum, dengan tipis dan manis. Seakan-akan, apa yang telah kulakukan untuk pergi ke dukun itu adalah sesuatu yang konyol. Dia pun dengan mudahnya mengatakan kepadaku. “Huh, Connor. Ada urusan apa memang dirimu dengannya?”
Ucapannya dengan sangat mudah mengatakan nama dari pria itu sekarang, nama yang tidak bisa aku dapatkan dari membayar dukun Valesta dengan biaya mahal. Mataku membelalak, tak bisa berhenti terkejut dan terkesima dengan apa yang dikatakan oleh Fatima itu sekarang. Begitu juga dengan Wulan, semenjak Fatima menghancurkan kalung itu dia bahkan tidak bisa berkata apa-apa saking takjubnya.
“Kau, bagaimana kau tahu soal pria itu! Apakah kau mengenalnya? Apakah kau bisa memberitahuku informasi yang lebih lanjut tentang dirinya sekarang?” Ucapku kepadanya. Aku mengucapkan kata-kataku dengan sangat cepat, seperti orang yang kepanikan sekaligus ketakutan di sana. Aku tak tahu apa mungkin kalau Fatima benar-benar mengenal orang ini sekarang.
“Tentu saja aku mengenalnya. Connor adalah salah satu orang yaya-“ Fatima berhenti, tidak melanjutkan kata-katanya kembali sekarang. Dia diam, seperti berpikir untuk mengatakan sesuatu sebelum melanjutkannya. “Tunggu, bagaimana kau mengenalnya? Dia sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Terkena kebakaran, dan dia... Tidak. Bagaimana kau bisa bertemu dengan dirinya yang tidak ada di sini?”
“Aku...” Jawabku dengan mengambang. Aku tak ingin membuat Fatima merasa marah dengan jawaban yang mungkin akan mengesalkannya sekarang. “Aku telah bertemu dengannya di dalam mimpi. Aku, hampir gila karena dirinya. Hampir di setiap tidurku, saat aku bermimpi, aku selalu bertemu dengan dirinya. Ingatanku bahkan masih terpasang dan juga terpatri di sini, tentang dirinya di sana.”
Raut muka dari Fatima, berubah merengut seperti sangat ketakutan dengan baru saja apa yang kukatakan. Dia mengambil dan memegang gelas minuman yang ada di sampingku dan meminumnya, aku yakin dia tidak sedang haus. Wulan memegang pahaku, dia menyadari sesuatu yang aneh dengan Fatima sekarang. “Sabrina, apa dia tidak apa-apa?” Bisik Wulan kepadaku saat ini.
“Kau, bermimpi bertemu dengannya? Tidak mungkin! Kalau kau adalah seorang!” Fatima langsung mengecek ponselnya sekarang. Aku tak tahu siapa yang akan dia hubungi sekarang, namun dia menggulirkan ponselnya seperti mencari sesuatu di dalam sana, sesuatu yang tidak aku pahami. Dia pun memberikan nomor ponselnya kepadaku, menyuruhku untuk mencatatnya karena mungkin dia akan memanggil atau menghubungiku nanti.
“Kau, harus menghubungi nomor ini nanti! Aku akan menghubungimu! Karena mungkin, kau tidak tahu risiko apa yang kau tempuh sekarang! Kau lebih berbahaya dan berguna daripada apa yang kau kira sebelumnya!” Ucap Fatima kepadaku. Setelah dia memberikan nomornya, dia kemudian berpamitan untuk pergi. Meninggalkan diriku dan Wulan sendirian di sini, tanpa penjelasan apa-apa.
Walaupun memang, setidaknya aku sudah tahu siapa nama pria itu sebenarnya. Connor. Dan aku yakin, wanita itu mengenal siapa pria itu sebenarnya, hanya saja, sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk memintanya menjelaskan semuanya kepadaku sekarang juga. “Hmm... Dia sepertinya bukan orang yang biasa. Dia mungkin adalah orang yang penting Sabrina!” Ungkap Wulan kepadaku.
***
Sekarang, semuanya sudah jelas, kalung yang kubeli sudah hancur tak bersisa sekarang. Uang di dalam dompetku sudah habis, mungkin aku harus mengambil uang lagi sebagai uang saku agar bisa bertahan hidup dan memakan makanan di kantor besok. Aku bertanya kepada Wulan, menanyainya apakah mungkin kita akan pergi ke suatu tempat lagi sekarang ini.
“Hhmm... tidak Sabrina. Hari ini, sudah terlalu banyak kejadian aneh dan juga berada di luar kapasitas otak yang bisa kujalankan sekarang. Kita mungkin, harus pulang, Menutup kepala dan mendinginkan pikiran. Entah kenapa, aku sudah sangat lelah sekarang memroses semua kejadian yang ada di sini.” Ucap Wulan kepadaku. Tak ada pilihan lagi, kami pun akan pulang sekarang, dengan sedikit informasi kugali.
Saat dalam perjalanan menuju parkiran, ternyata mall tambah ramai dibandingkan sebelumnya. Memang mungkin, orang-orang lebih memilih untuk pergi ke mall saat sore sampai malam hari timbang saat siang hari karena akan mempengaruhi cuaca dan juga mood setiap orang yang berlibur di hari minggu ini
Dan di tengah perjalanan itu, aku bisa melihat Arya, berjalan sendirian sambil memakai kemeja flanel dan juga kacamata bulatnya. Aku tak tahu kemana dia akan pergi, namun arah jalannya berseberangan dengan arah jalur aku dan juga Wulan sedang berjalan. Aku mencoba untuk mengalihkan pandanganku, berusaha untuk berpura-pura tak mengenal.
“Sabrina, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan sekarang. Namun, sebelum kau meminta bantuanku, kau sudah berjanji untuk akan berbaikan dengan Arya bukan? Bagaimana, jika sebelum kita pulang, kau seharusnya menepati janjimu itu, kepadaku sekarang juga.” Bisik Wulan kepadaku. Aku memang berjanji tidak akan berbuat sesuatu yang bodoh lagi. Namun aku tidak berjanji akan berbaikan dengan Arya.
“Apa yang kau katakan? Aku tidak pernah berkata sesuatu seperti i-“ Tiba-tiba. Tanpa persetujuanku. Wulan memanggil nama Arya dengan keras “Arya!” membuatnya menoleh ke arahku. Sementara Wulan, dengan tindakannya yang benar-benar menyebalkan malah kabur dan bersembunyi dari pandanganku sekarang. Dia tak ingin aku terlihat bersamanya saat dilirik oleh Arya sekarang.
Aku tak memiliki alasan ataupun rencana lain untuk mengecoh ataupun menipu Arya sekarang. Aku hanya bisa menyapanya balik dengan mengangkat tanganku ke arahnya mencoba untuk membuat seolah-olah terlihat kalau aku memang orang yang memanggilnya saat itu. Walaupun aku tahu Arya tak akan percaya jika aku memanggilnya dengan sangat keras di tempat umum.
Namun, aku sadar kalau Arya masih menyimpan dendam padaku. Dia melirik ke arahku dengan sangat tajam, membuat orang-orang yang berada di sekitarnya juga ikut menoleh. Aku pun menunduk dan berjalan menghampirinya, mencoba untuk menghindar dari tatapan tajamnya itu ke arahku. Aku seperti sedang berada di dalam ancaman guru BK.
“Arya, aku tahu aku salah. Aku telah bertindak sesuatu yang bodoh, kekanak-kanakan, dan juga irrasional saat itu. Maka dari itu, aku ingin meminta maaf darimu. Atas semua yang telah kulakukan kepadamu.” Ucapku kepadanya, dengan pelan, agar orang-orang, termasuk Wulan yang mengintip dari balik tembok itu sekarang tak bisa mendengar apa yang kuucapkan kepadanya.
Arya memegang kedua bahuku, berusaha untuk mengangkat kepalaku agar aku bisa melihatnya secara langsung sekarang. Dia pun berkata. “Tidak Sabrina, apa yang kau lakukan sebenarnya? Apa yang terjadi dengan dirimu? Kenapa, saat-saat kita berbicara dengan panjang lebar sebelumnya, aku masih merasa kalau aku tidak mengenalmu. Siapa dirimu yang sebenarnya Sabrina?”
Sejujurnya, aku sendiri juga tidak tahu siapa diriku sendiri saat ini. Aku mencoba memikirkan sesuatu, kata-kata agar aku bisa menjawab pertanyaan itu dan membuat Arya bisa memaafkanku. “Entahlah Arya, aku tak bisa menjawabnya, Aku rasa, aku sendiri tak tahu siapa diriku sendiri yang sebenarnya. Apakah kau bisa menerima jawaban seperti itu dariku?” tanyaku kembali kepadanya.
“Kau tiba-tiba datang di hidupku Sabrina, dan kau berharap kalau aku akan menerima semua hal yang ada pada dirimu sekarang ini? Entahlah Sabrina, aku bahkan tak mengenal siapa dirimu yang sebenarnya, sampai sekarang.” Balas Arya, menatap ke arah yang lain sekarang, tidak menatapku secara langsung. Tatapan pengalihannya itu sangat menggambarkan rasa kesalnya padaku saat ini sekarang.
“Maka dari itu, Arya, aku meminta maaf kepadamu. Atas apa yang kuperbuat, mungkin, aku tak bisa mengenal dan mengetahui, apa arti dari mengenal seorang lelaki sebelumnya. Dan mungkin, aku harus belajar itu padamu. Apakah kau mau, mencoba untuk menuntunku sekarang?” tanyaku padanya. Aku sendiri, tak tahu apa yang kukatakan sekarang. Aku seperti mengemis maaf darinya.
“Kenapa kau meminta maaf kepadaku? Apakah kau memang tulus dan juga ikhlas meminta maaf kepadaku sekarang? Atau kau memiliki niat dan juga maksud tersembunyi dariku? Aku tidak akan pernah tahu itu, dan semua alasan bodoh sekaligus irasional yang telah kau berikan padaku sebelumnya.” Jawab Arya, kembali menatapku sekarang ini. Aku masih sungguh sangat malu kepadanya.
Alasanku berada di sini, hanya karena Wulan telah menyuruhku untuk menghampirinya. Jika dia tidak menyuruhku, mungkin aku akan tetap menghindar dan juga mengalihkan pandanganku darinya. Aku tidak tahu, apakah aku akan mendapat permintaan maaf darinya. Hanya saja, aku harus terlihat mencoba untuk meminta maaf setulus hatiku di hadapan baik Arya maupun Wulan sekarang ini.
“Terserah bagimu, mencoba untuk menilaiku seperti apa sekarang. Namun yang jelas, aku bisa mengatakan kalau apa yang kukatakan kepadamu benar-benar tulus dari dalam hatiku Arya. Aku, benar-benar meminta maaf kepadamu. Aku, tidak bisa hidup dalam kesndirian dan juga kesengasaraan ini di selimuti oleh rasa bersalah sekarang.” Ucapku kepadanya. Arya, memandangku dengan tinggi sekarang.
Dia masih tak mengatakan apa-apa kepadaku, hanya diam, seperti mengamati apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin, saat aku mencoba meminta maaf kepadanya adalah kejadian yang benar-benar langka dan tidak pernah terjadi. Dan dia sedang kebingungan sekarang menghadapi apa yang terjadi kepadanya.
Sebagai usaha terakhir, aku memegang kedua tangan Arya sekarang, menaruhnya di dalam dadaku, dengan penuh harap, dan juga mata berkaca-kaca. Aku pun mencoba untuk mengatakan sesuatu kepadanya, “Tapi, pada akhirnya. Semua itu terserah padamu Arya. Aku telah meminta permohonan maaf darimu. Dan jika mungkin kau masih sulit untuk menerimanya, maka terserah kepadamu lagi.”
Aku pun melepaskan tangannya, pergi menjauhi Arya sekarang ini. Arya tak terlihat mencoba untuk mengejarku, ataupun mencoba untuk mengatakan permintaan maaf dariku sekarang. Dan dengan tiba-tiba, dia menarik tanganku dari belakang. Berkata sesuatu kepadaku. “Maaf Sabrina. Mungkin, aku juga salah dalam kejadian itu. Bagaimana, jika kita memulai semuanya dari awal lagi? Tanpa rahasia?”