MR 08. Vanilla Ice Cream

2220 Kata
Menghamili seorang perempuan adalah hal mudah. Yang menyulitkan adalah apa kau masih ingin berhubungan dengan wanita yang mengandung dan melahirkan anakmu? Salvador tidak ingin berurusan seumur hidup dengan perempuan yang menyebalkan. Banyak wanita yang ditidurinya tetapi bukan untuk teman hidupnya. Apalah perempuan. Mereka hanya biang masalah. Berbeda dengan Coraima. Dia mudah dikendalikan. Sebagaimana Salvador menjungkir balik hidupnya dalam sekejap, Coraima kembali dibuat terjungkir balik ketika membuka mata dari pingsan setelah Salvador memakainya. Ia duduk di sebuah altar, kaki mengangkang dan kedua pergelangan kakinya diborgol dengan rantai berpemberat bola besi. Tangan terpasung di atas kepala. Kedua bulirnya yang memunjung, dingin belepotan es krim vanilla, dan Salvador merangkak di hadapannya, mengemut kedua bulir itu silih berganti bagai anak sapi menyusu pada induknya. Coraima gemetaran sekujur tubuhnya. "Ssss ... Sal ...?" sebutnya ragu kalau- kalau itu semua hanya mimpi. Sebelum- sebelumnya Salvador memberinya perangsang dan obat anti depresan, ia tidak bisa mengendalikan perasaan dan tubuhnya, ia nyaris tidak tahu apa saja kegilaan yang dilakukannya. Namun kali ini, semakin sadar pikirannya, ulah Salvador semakin tidak masuk akal. "Aku tidak tahu kenapa setelah denganmu makan es krim bisa seenak ini, Coraima," gumam Salvador kemudian mengemut lagi sehingga sekeliling mulutnya bergaris putih sisa es krim. "Gaaah! Aaaah!" Coraima ingin memaki ini gila, tetapi ia hanya mengerang- erang tidak rela, menyentak- nyentak tangannya karena kesemutan dan mulai mati rasa. Tangan besar Salvador menahan tubuh Coraima. "Bisakah kau diam sebentar? Aku sedang menyantap es krimku," gerutunya, lalu mengemut lagi. "Hhhhh!" sentak Coraima yang kesal sendiri tidak bisa mengatakan keinginannya. Kepalanya sangat pusing karena kehabisan tenaga dan terangsang. Salvador seharusnya lebih peka dengan kondisinya. Coraima ingin menangis saja. Ia mulai terisak. Salvador menghentikan emutannya. Ia duduk tercenung melihat Coraima sesedih itu. "Apa kau ingin es krim juga?" tanya Salvador. Coraima mengangguk. Salvador berbalik sebentar mengambil ember es krimnya, lalu kembali duduk menghadap Coraima. Ia menyendok es krim ke mulut wanita itu. Coraima melahapnya perlahan. Setelah dua suapan, Salvador berlutut dan mengoleskan es krim di kepala batangnya. "Makanlah," ujarnya seraya menatap tajam Coraima. Wanita itu mendesah lelah, balas mendelik tajam, tetapi mencondongkan kepalanya ke milik Salvador dan memakan es krimnya. Bibirnya mengemut sungkan. Ekspresi Coraima yang malu- malu membuat Salvador tersenyum. "Kau mau lagi?" tanya Salvador kembali meletakkan sesendok munjung es krim di batangnya. Apa ia boleh menolak? Coraima lebih mengutamakan ia harus mendapatkan tenaga untuk bertahan hidup. Ia menyantap apa pun yang disodorkan Salvador padanya, meskipun sesuatu yang terlihat memuakkan. Ia tidak boleh berhenti mengemut batang Salvador kecuali pria itu menghentikannya. "Aaah, kau semakin enak saja, Coraima ...," serak Salvador sambil mencengkeram kepala wanita itu dan mengocok mulut penuh es krim Coraima. "Lagi, sayang, lahap semuanya ... aaah, gadis pintar ...." Salvador menarik miliknya keluar dari mulut Coraima, lalu duduk seraya mengecup bibir wanita itu sambil tangannya mengocok batangnya. Wanita itu terengah, kesempatan Salvador menyapukan lidahnya ke seluruh rongga mulut Coraima. "Merasa lebih baik, sayang?" desah Salvador menyeringai. Coraima segera mengangguk. "Bagus. Kamu masih sukar bicara rupanya, tapi tak apa. Kau bisa menyebut namaku, itu sudah bagus. Sini, sayang, ayo kita main sekali lagi." Salvador menarik pinggul Coraima hingga duduk dipangkuannya, merasuk dalam celahnya, lalu mengguncang kuat lagi. Dalam keadaan terpasung, Coraima laksana makhluk suci yang pasrah dicecap sang iblis. "Ahhsss, sayang .... kau membuatku keluar lagi, sayang .... Ohh, mi corazon ...." Bersamaan Salvador mencapai klimaksnya, Coraima menangis merasa lega bukan main. Akhirnya ia bisa beristirahat. Salvador melepaskan tangannya dari pengait lalu mendekapnya berbaring di meja batu itu. Sama- sama mencari napas dan badan basah oleh keringat serta lengket gula. Mata nanar Coraima memperhatikan sekeliling ruang temaram serupa kamar penyiksaan itu. Ia tidak tahu di mana, tetapi ia semakin yakin bahwa orang gila punya minat pada hal-hal gila juga. Seperti seseram tampang Salvador, seseram itu pula kelakuannya. Coraima berkata dalam kepalanya, apakah aku sedang berada dalam alam imajinasiku sendiri? Ia mungkin pernah mengkhayalkan gaya bercin.ta di film 50 Shades of Gray atau 365 Days, tetapi Salvador adalah gabungan Ice Cream Man dan Saw. Entah Coraima harus mempertahankan hidupnya atau kewarasannya. "Ruangan ini aku bangun sendiri, Cora," gumam Salvador sambil mengecup puncak kepala Coraima. "Hanya kau yang pernah kubawa ke sini. Ini seharusnya ruang penyekapan, tetapi untukmu, ini akan menjadi ruang spesial kita." Coraima tidak berkomentar. Apa pentingnya hal itu? Lagi pula, apa pun keinginan Salvador, ia hanya harus menurutinya. Setelah pulih, Salvador beranjak dari altar. Ia melepas borgol kaki dan tangan Coraima, lalu membopong wanita itu keluar dari ruangan tersebut. Luas ruangan itu sekitar 5 x 4 meter. Ada sebuah pintu baja yang mesti digeser manual. Salvador membuka pintu itu. Pintu baja tersebut ternyata tembusan ke kamar tidur Coraima. Coraima sendiri keheranan. Di belakang lemari pakaian adalah pintu rahasia itu berada. Rupanya ruangan tadi bersebelahan dengan kamarnya. Tidak terlihat dari luar karena terlindung desain dinding dapur yang mewah. Salvador membawa Coraima ke kamar mandi, memandikan Coraima dengan saksama sekaligus membersihkan dirinya di pancuran air hangat. Salvador merawat memar di pergelangan tangan Coraima, membersihkan celah- celah tubuhnya dibarengi desahan sambil mendempet Coraima ke dinding kamar mandi. Setiap detik, setiap kesempatan, ia tidak membiarkan Coraima memikirkan hal lain kecuali rangsangan demi rangsangan yang diberikannya. Ia memuja wanita itu. Dia mainan barunya. Setelah membersihkan tubuh Coraima, Salvador juga memilihkannya pakaian. Karena hari sudah malam, ia tidak mengenakan bra pada Coraima. Hanya gaun tidurnya dan lingeri renda tipis. Salvador sendiri bertelanjang da.da lalu berdiri di tengah kamar mengenakan celana piamanya. Coraima duduk tercenung di tepi ranjang memandangi pria itu memasang celana. "Kau lapar, Cora?" tanya Salvador. Coraima mengangguk. "Aku juga," lanjut Salvador. "Kau yang masak. Dapur di sebelah." Ah? Karena itukah Salvador menaruhku di kamar dekat dapur? Adapun Coraima bergegas menuju ke sana karena sudah penasaran dengan dapur mewah itu. Semua serba digital. Hampir. Lemari- lemarinya terbuka dengan gerakan mulus dan peralatan elektroniknya bisa diaktifkan dengan satu sentuhan. Kran air menggunakan sensor. Permukaan semua meja licin, rapi, presisi. Air mendidih dihasilkan dalan hitungan menit. Lemari es lebih besar daripada lemari pakaiannya, serta memiliki sebuah ruangan pendingin, seluas ruang penyiksaan tadi, yang mana Coraima yakin itu akan menjadi tempat Salvador menyembunyikan jasad korban mutilasinya. Coraima tidak ingin tahu urusan Salvador. Ia berusaha fokus pada kegunaan dapur itu. Bahan- bahan masakan dan bumbu serta pelengkapnya tertata rapi berurutan layaknya dapur seorang chef profesional. Coraima takjub bagaimana semua itu tertata dan Salvador sebagai pemilik rumah pastinya sangat peduli soal apa yang dihidangkan di piringnya. Coraima menyeduh Te' n***o. Teh hitam yang kandungan kafeinnya lebih rendah dari teh umumnya. Spanyol adalah negara peminum kopi. Minum teh tidak menjadi budaya warga, akan tetapi sekarang mulai dipromosikan untuk yang butuh kafein tidak sekuat kopi. Karena Spanyol bukan negara teh, sajian teh di Spanyol dipengaruhi negara Maroko dan jazirah Arab sehingga menggunakan resep kaya rempah dan aroma. Coraima membuat racikan teh Pakistan. Teh hitam yang diaduk bersama s**u, dicampur dengan vanili, kayu manis, dan kapulaga. Asap seduhan itu membuat wajah Coraima bersemu dan aroma menghangatkan suasana tengah malam yang sunyi senyap. Tanpa disadari Coraima, Salvador memperhatikannya sambil duduk bertopang dagu. Ia melihat binar- binar bahagia yang sesungguhnya di mata Coraima. Sambil menikmati teh s**u rempah, Coraima memanfaatkan bahan yang ada untuk membuat hidangan sederhana dan singkat. Ia mengoles roti dengan campuran dihaluskan bawang putih, garam, minyak zaitun, dan tomat. Tambahkan taburan peterseli, kemudian olesan itu dipanggang di oven. Jadilah pan con tomate. Karena sangat kelaparan, Coraima memakan saat roti itu masih panas. Rotinya berjatuhan dan lidahnya terasa melepuh. "Auuuh, uh uh uh ...." Coraima mengecupi ujung jarinya yang kepanasan, lalu kembali mengambil roti yang dipotong bagi empat itu dan melahapnya sekali mangap sambil mengipas- ngipas kepanasan. Salvador mengomel nyaring. "Bisakah kau sedikit lebih hati- hati? Kau tidak bisa bicara karena tekanan jiwa, lalu kau menambahnya dengan mencederai lidahmu? Ha, hebat sekali, Coraima. Bagaimana kau mengulum milikku jika lidahmu melepuh!?" "Sssst!" desis Coraima memberi telunjuk di bibirnya untuk Salvador. Ia menyodorkan kepingan pan con tomate ke mulut Salvador. Pria itu terkejut, tetapi segera melahap penganan itu. Salvador mangut-mangut. Ia bicara sambil mengunyah. "Enak. Sangat enak. Lebih enak dari yang biasanya dibuat orang-orang." Coraima semringah. Senyum tulus pertama yang dilihat Salvador tertuju untuknya. "Aku rasa kau benar-benar chef yang berbakat kalau begitu," sindir Salvador. "Kau bekerja di Hotel Reyes bukan hanya karena mengejar pemiliknya." Raut Coraima langsung getir mendengar nama Reyes. Salvador membicarakannya seakan- akan tidak tahu apa yang terjadi pada Godfreido. Benar- benar pria berhati lak.nat. "Ia sudah tiada dan kau harus melanjutkan hidup. Lupakan semuanya dan mulailah bicara. Jika bicaramu lancar, aku akan memberikan ponselmu dan kau bisa menelepon Mami dan Papi." Coraima menguatkan diri lagi demi dua orang itu. Ia mengangguk sambil tersenyum terpaksa, lalu lanjut makan sampai seloyang pan con tomate dihabiskannya bersama Salvador. Selesai mengisi perut, Salvador mengantar Coraima ke kamarnya. Jam sudah pukul 1 dini hari. Salvador berpesan pada wanita itu. "Tidurlah. Besok pagi kau harus sudah bangun dan mulailah bekerja untukku. Aku ingin sarapan yang lezat diantar ke kamarku. Terserah menunya apa, aku tidak peduli. Pokoknya ketika aku membuka mataku, kau harus sudah ada di kamarku." Coraima tidak menyahut ataupun memberi isyarat mengiyakan. Ia mendelik tajam lalu menutup pintu di depan wajah Salvador. Pria itu terbelalak. Salvador mengepalkan tinju ke pintu Coraima sambil menggerutu. "Huuhh, masih saja berani kurang ajar padaku. Dasar perempuan tak tahu diuntung!" Ia memberikan kesempatan Coraima hidup. Kurang apa lagi coba? Jika menuruti titah Jeronimo ingin Godfreido dan istrinya mati, tetapi ia bisa memutar- mutar hal agar Coraima tetap hidup. Dasar perempuan! Mereka tidak mau tahu. Merasa selalu benar dan playing victim. Ya, begitulah selalu perempuan. Salvador mendengkus lalu meninggalkan pintu kamar Coraima untuk pergi ke pintunya sendiri. Ia bisa naik ke ranjangnya sambil menyengir. Perut kenyang dan sudah puas menyusu es krim vanilla pada Coraima. Besok, ia akan mengambil jatah lagi. *** Keegoisan pria. Itulah inti semua permasalahan yang terjadi. Jeronimo terobsesi Salvador sebagai anaknya. Ia tahu pemuda itu berpotensi membangun klannya sendiri. Ia tidak ingin anak emasnya diambil orang lain. Karena itu ia butuh Salvador sebagai penerus. Ia membesarkan Salvador sejak berusia 16 tahun. Anak yatim piatu yang dipungutnya di jalanan Roquetes de Mar. Salvador juga yang menyelamatkannya saat kebakaran besar terjadi. Jika tidak karena kebakaran itu, wajah Salvador tidak akan rusak dan Esmeralda bisa mencintainya, tetapi putrinya itu benar-benar keras kepala. Terbuai cinta buta dan bertindak sangat bodoh. Bagaimana bisa dia menjalin hubungan dengan sahabat Salvador sendiri? Dan Godfreido Reyes itu rupanya memanfaatkan putrinya untuk mengambil aset- aset dan sekoper berlian miliknya. Godfreido Reyes si serigala berbulu domba tengik. Pemuda itu bahkan membuat putrinya lumpuh seperti patung. Ia memang pantas mati dengan cara yang paling mengenaskan. Karena kondisi putrinya, Jeronimo tidak bisa melarang Salvador memiliki wanita simpanan atau penghibur dan teman tidur. Baginya, cukup adil jika Salvador mengambil istri Godfreido dan menjadikan perempuan itu bu.daknya. Dari yang didengarnya, Salvador juga berniat menghamili perempuan itu. Ya, suka- suka Salvador sajalah. Jika pemuda itu senang, maka ia pun harus turut senang. Begitulah seorang ayah yang baik. Kemungkinan besar Godfreido meneruskan rahasia keberadaan aset dan berlian tersebut pada istrinya, tetapi masih tidak jelas apakah perempuan itu menyadarinya atau tidak. Siap yang tahu? Menjaga perempuan itu tetap hidup mungkin ada gunanya. Jeronimo tinggal di rumah yang berbeda dengan Salvador, tetapi masih di kota yang sama. Sesekali ia akan berkunjung ke sana, terutama untuk menjenguk putri dan cucu yang tidak disukainya. Di rumah Salvador, pagi- pagi kesibukan bermula. Para pelayan membersihkan rumah dan halaman, juga harus memandikan dan mendandani Esmeralda. Valentina Rosa, putri Esmeralda juga memiliki pengasuh yang mengurusnya. Untuk urusan dapur, Chef Emanuel akan datang bersama timnya lalu memasak hidangan layaknya restoran berbintang. Coraima terkesima melihat kedatangan chef tersohor itu. Chef Emanuel salah satu gurunya sewaktu sekolah tata boga. Entah pria paruh baya itu mengenalnya atau tidak, tetapi bisa sedapur dengan chef idola, Coraima sangat gembira. Kamar pendingin di rumah Salvador isinya adalah bahan-bahan yang harus dibekukan agar terjaga kondisinya, seperti daging sapi, kambing, domba, ayam, kalkun, dan sebagainya sebagai persediaan untuk menu seminggu ke depan. Kehadiran Coraima di dapur itu adalah untuk ikut memasak, tetapi Chef Emanuel tidak menggubrisnya, bahkan berseru pada pengawal Salvador. "Apa yang dilakukan wanita ini di sini? Ia menggangguku!" Benicio datang menjelaskan. "Dia adalah perempuan baru yang dibawa Tuan Salvador. Sebelumnya ia juga seorang chef ...." "Tapi sekarang aku tidak butuh chef baru. Semuanya sudah dalam kendaliku. Kirim saja dia ke ruangan lain. Di sini adalah wilayah kewenanganku dan aku tidak suka ada orang asing berkeliaran di sekitar sini, apalagi seorang perempuan muda yang berpikir dia bisa memasak. Yang benar saja! Semua yang kukerjakan adalah maha karya. Dia hanya akan meru.sak segalanya." Coraima ingin protes, tetapi ia tergagu. Benicio menariknya menjauhi dapur. Coraima menyentak-nyentak tidak suka dibawa pergi dari tempat itu. Benicio mengajaknya ke teras samping lalu bicara menenangkan Coraima. "Sebaiknya biarkan Chef Emanuel melakukan pekerjaannya, Nyonya. Anda menunggu di ruang makan saja." Coraima menarik-narik kerah jas Benicio, memimik menyuap sesuatu dan menunjuk ke arah kamar Salvador di lantai atas. Benicio tidak mengerti maksud Coraima. Ia mengeluarkan ponselnya, lalu menyerahkan pada Coraima agar ia membuat notes di sana. Coraima bergegas menulis dengan jarinya di layar ponsel lalu memperlihatkannya pada Benicio. Salvador menyuruhnya membuat sarapan dan mengantarnya ke kamar. "Kalau begitu, tunggu masakan Chef Emanuel selesai, lalu bawa ke kamar Tuan Salvador," ujar Benicio mengambil jalan tengah. Coraima ragu dengan pendapat itu, tetapi jika demikian keadaannya, ia tidak bisa memaksakan diri. Lagi pula, bisa semarah apa Salvador kalau hanya soal makanan? Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Salvador bisa marah besar hanya karena makanan. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN