Di rumahnya, Salvador bebas melenggang tanpa pakaian sehelai pun. Tubuh bertato malaikat hitam di punggung itu adalah ketua gangster Santo Latino, sementara ayah angkatnya, Jeronimo Torres adalah sang Godfather. Seharusnya pernikahan Salvador dan Esmeralda akan memantapkan posisi Salvador dalam klan, akan tetapi pengakuan Esmeralda bahwa ia mencintai laki- laki lain dan sedang mengandung benih dari laki-laki tersebut sangat mempermalukan Salvador. Ia boleh ditakuti, tetapi di belakang, orang- orang akan mencibirnya sebagai pria yang tidak lebih dari suami pengganti menutupi aib putri sang Godfather.
Esmeralda kerap menghardiknya. "Kau sangat je.lek, Salvador. Aku tidak akan pernah sanggup menatap wajah buruk rupamu itu! Kau tidak lebih dari alat ayahku dan kau hidup menumpang dengannya. Kau sungguh tidak tahu malu! Kau orang serakah yang hidup dari belas kasihan orang lain!"
Salvador bukan orang penyabar dan tahan hinaan. Jika Esmeralda bukan anak Jeronimo, akan dirobeknya mulut perempuan itu.
Jeronimo sangat menyayangi putrinya itu. Ia berharap Esmeralda bisa menikah dengan Salvador dan turut membesarkan klan, bukannya malah berhubungan dengan pria tidak jelas seperti wanita mura.han.
Esmeralda sangat mencintai pria simpanannya sehingga tidak mau mengatakan siapa orang itu. Usut punya usut, laki-laki itu ternyata Godfreido Reyes. Godfreido hanya mempermainkan Esmeralda. Laki-laki itu mencampakkan Esmeralda dan memilih bertunangan dengan Coraima Aldevaro, pegawai hotelnya.
Sungguh tragis nasib Esmeralda. Dia sangat terpukul. Saat operasi persalinannya, ia koma karena reaksi obat bius dan narko.ba yang dikonsumsinya. Setelah sadar, dia tidak bergerak dan tidak merasa sakit, matanya terbuka, tetapi pikirannya berada di alam lain. Dokter mengatakan ia mengalami tekanan batin dan menolak kembali pada kenyataan. Yang bisa mereka lakukan adalah terapi rutin dan menunggu dia sadar dengan sendirinya.
Sebagai syarat kemutlakan kekuasaan Salvador, Jeronimo meminta Salvador memulihkan kesadaran putrinya bagaimana pun caranya. Bagi Salvador, itu hanya cara Jeronimo agar ia tidak mencampakkan Esmeralda. Maaf saja, bagi seorang pria perkasa seperti dirinya, apa gunanya tubuh kaku dan tidak bereaksi itu? Secantik apa pun, dia tidak lebih dari sebuah patung.
"Bayi sialan! Perempuan sialan!" maki Salvador seraya memasuki kamarnya lalu duduk di kursi malas dan menyelonjorkan kakinya ke meja kopi. Ia menggaruk-garuk kepalanya menggunakan moncong pistol.
Benicio datang menghadap. "Apa yang harus dilakukan pada Nyonya Reyes? Dia di kamar Nyonya Esmeralda, menyusui anak itu."
Sebelah wajah Salvador yang berbekas terbakar mengernyit. "Dia melakukan itu? Ah, Coraima hanya suka ada yang mengisap bulirnya," ketus Salvador. Ia berpikir sejenak, kemudian memutuskan, "Siapkan kamar di sebelah dapur untuknya. Suruh dia mandi dan berdandan, lalu naik ke kamarku."
"Baik, Sal," sahut Benicio. Kemudian ia keluar kamar.
Selang tak lama kemudian, seorang perempuan muda cantik, bertubuh tinggi semampai muncul di ambang pintu kamar Salvador. Dia mengibaskan rambut hitam bergelombangnya, berpose seksi lalu menyapa pria itu. "Hola, Sal. Kau pergi ke mana saja? Seminggu penuh aku mencarimu, tetapi kau tidak ketahuan ada di mana."
Salvador menelengkan kepala menatap wanita itu. Pakaian bikini ditutupi kimono satin memamerkan tubuh berlekuk bak gitar Spanyol wanita bernama Lorena de Silva. Dia seorang model dan aktris, selain menjadi wanita simpanan Salvador.
Lorena melangkah mendatanginya. "Tidak ada seorang pun yang mau memberitahuku. Nomormu tidak aktif, bahkan kau tidak pernah menghubungiku sekali pun," rengutnya.
Salvador menyahut gamblang. "Ya, aku sudah di sini, lalu kau mau apa?"
Lorena duduk di paha kokoh Salvador, disertai kedua tangan mengurut gundukan berbatang pria itu yang beberapa kali elusan mengeras dan tegak bak jari tengah. Lorena terisak manja. "Aku merindukanmu, Sal. Aku kira kau mati. Hu hu hu ...."
"Mau tahu aku masih hidup atau tidak?" tanya Salvador dengan mata melirik keperkasaannya. Ia mengedut- ngedutkan pinggulnya agar benda itu bergerak menyodok.
Wajah Lorena segera merona. "Sal, kau tidak perlu berkata seperti itu. Bisa melihatmu saja aku sudah sangat senang."
Salvador mendesah malas, lalu beringsut hendak beranjak dari kursinya. "Kalau begitu aku gunakan batangku di tempat lain saja."
Lorena buru- buru menggenggam erat batang Salvador. "Ah, Sal, jangan merajuk. Tentu saja milikmu yang paling kurindukan. Aku tergila-gila padamu karena ini. Ayolah, Sal, duduk lagi dan biarkan aku menyenangkanmu."
Salvador duduk seperti semula dan Lorena berlutut di sisinya. Wanita itu menjilat membasahi bibir tergiur milik Salvador. "Kau tidak tahu betapa rindunya aku pada benda ini selama kau tidak ada," desahnya lalu melulum batang keras itu seperti menemukan pancuran mata air di gurun tandus.
Wanita itu bergumam gelisah. "Ouhh, Sal ... aku harus menggunakan stik mainan setiap malam sebagai penggantimu. Ouhh, Sal, aku butuh milikmu mengisi tubuhku." Ia jilat- jilat batang itu, lalu ditelannya sedalam rongga mulutnya. "Ounghh ...." Lorena melenguh puas.
Salvador menyeringai. Wajahnya menggelap seraya menjambak rambut Lorena.
"Ungg ungg unggh hhhh...." Batang Salvador hampir keluar dari mulutnya, tetapi Lorena bersikeras terus melahap otot-otot itu dan Salvador membiarkannya sambil tertawa senang.
Salvador mengacak rambut wanita itu. "Lorena ... Lorena ... kau benar- benar rakus," gumam Salvador.
Lorena memutar tubuh dan menjadikan batang dalam mulutnya sebagai poros. Ia menghadapkan pantatnya pada Salvador, lalu membuka tali celana bikininya sehingga celah di sana terbuka untuk Salvador. Lenguhan Lorena semakin gencar dan nyaring tatkala Salvador memasukkan jarinya yang bertekstur dan kasar ke lubang feminimnya. Suara decap bersahutan dari rongga atas dan bawah Lorena.
Dari kemanjaan mulut, wajah Lorena bersemu merah dan matanya berkaca-kaca. Lorena mengangkat kepala dan memelas pada Salvador sambil mengangkangkan kakinya. "Kumohon, Sal, masuki aku. Aku butuh kamu sayang. Tolong, selamatkan aku dari kegilaan ini ...."
"Tentu saja, Lorena. Ayo ke sini, naiklah ke pangkuanku," gumam Salvador.
Lorena terengah seperti anjing kegirangan dipanggil tuannya. Dia bergegas mengangkang di pangkuan Salvador, lalu mengindik batang pria itu dalam tubuhnya. Kursi berderak-derak bagai kena gempa. "Oh, Sal ... nikmatnya .... Ohh, Sal ... heumm hu hu ... jangan pergi lagi, Sal ... kau seharusnya membawa aku ...."
Salvador terkekeh. Ia membelai punggung mulus Lorena sambil mengecupi buah daranya yang berguncang. "Lain kali, Lorena. Tidak semua urusan berhak kau tahu. Demi kebaikanmu sendiri."
Lorena merasa terhibur dan bertambah cinta mendengar Salvador mengkhawatirkannya. Ia pun semakin laju mengindik hingga sela penyatuan tubuh mereka basah melimpah ruah.
***
Seorang pelayan wanita masuk ke dalam kamar Esmeralda dan membantu Coraima dengan bayinya. "Serahkan pada saya, Nyonya. Biar saya yang mengurus Valentina," kata pelayan bernama Latanza tersebut.
"Eh?" sahut Coraima karena masih kebingungan dengan situasi sekitarnya. Obat- obat yang masuk ke tubuhnya membuatnya menjadi bloon. Perlahan, Coraima menyerahkan bayi yang tertidur lelap ke tangan pelayan itu.
Latanza membawa Valentina ke peraduan bayi, tertinggal Coraima masih duduk di lantai. Hanya untaian rambut yang menutupi gundukan kembarnya.
Benicio yang hadir di situ mengambilkan jubah handuk milik Esmeralda, lalu menudungkannya ke punggung Coraima. "Kenakan ini, Nyonya. Mari, akan saya bawa ke kamar Anda," ujar Benicio penuh perhatian. Ia membantu Coraima berdiri, mengikat simpul jubahnya, lalu menuntun Coraima ke luar kamar.
Mereka ke lantai bawah, melewati deretan selasar, lalu tiba di kamar tersendiri dekat dapur yang sangat luas dan perabotan memasaknya kelas atas.
"Woaaaah ...!" Coraima berseru takjub melihat dapur bagai di brosur iklan desain rumah multimilioner itu. Kakinya melangkah sendiri seperti memasuki atrium display kitchen set.
"Nyonya!" Benicio ingin bergegas membawa Coraima ke kamarnya, tetapi melihat kekaguman Coraima —sebuah emosi yang berbeda setelah konstan tertekan— Benicio membiarkannya.
Sebagai seorang juru masak, memiliki dapur seindah itu adalah impiannya sejak lama. Dapur sesempurna itu ibarat kuil ibadah seorang pecinta memasak seperti dirinya.
Mungkin Coraima akan menanggalkan jubahnya lalu bergelut seperti belut lepas di lantai dapur yang mengilat licin. Benicio menarik pundak Coraima dan mengingatkannya. "Nyonya, kita ke kamar Anda. Tuan Salvador ingin Anda menemuinya setelah mandi dan berdandan."
Nama itu adalah sebuah pemicu kesadaran Coraima agar segera menata diri dan menghadapi kejamnya kenyataan. Ia manut diarahkan Benicio ke dalam sebuah kamar. Koper bajunya sudah tersedia di depan lemari.
Di kamar itu terdapat lemari pakaian, meja rias, sebuah ranjang single dengan dua nakas di kiri kanannya, lampu tidur di atas nakas. Sepasang jendela berteralis dan kaca nako bertingkat, tidak bisa terbuka lebar untuknya melarikan diri, tetapi taman di luar jendela itu cukup cantik dan menyejukkan mata. selebihnya semuanya berupa perabotan sederhana dan klasik.
"Kamar mandinya di sebelah situ, Nyonya. Silakan mandi dan persiapkan diri Anda. Saya akan datang lagi untuk membawa Anda ke atas," ujar Benicio. "Permisi." Ia lalu pamit sekaligus menutup pintu.
Benicio sangat berbeda dengan anak buah Salvador biasanya. Ia sangat sopan dan penuh hormat. Coraima baru memperhatikannya. Namun, jika Benicio tidak bisa berbuat sadis, Salvador tidak akan menjadikannya ajudan.
Mengandalkan kewarasannya, Coraima mandi sebersih mungkin, lalu berdandan dan memilih gaun berbahu tertutup dengan panjang selutut. Warnanya putih dari bahan sifon berlapis-lapis. Gaun yang rencananya akan dipakainya jalan- jalan menyusuri taman bunga, menikmati sinar matahari sambil mengenakan topi lebar dan berpegangan tangan dengan Godfreido.
Teringat kekasihnya yang mati mengenaskan, Coraima terhenyak di tepi ranjang. Matanya berkaca-kaca dan ingin menangis lagi. Namun, ketukan di pintu menyentaknya.
"Nyonya, apa Anda sudah selesai?" tanya Benicio dari luar kamar.
Coraima tidak menyahut karena masih kesulitan bicara. Ia bergegas menghapus bibit air matanya lalu membuka pintu sambil tersenyum pada Benicio. Coraima menepuk-nepuk pipi memberitahu pria itu bahwa ia masih perlu merias wajahnya.
"Baiklah, Nyonya. Saya tunggu sebentar lagi," ujar Benicio.
Coraima melonjak berbalik, cepat- cepat menuju meja rias. Ia mengeluarkan tas makeupnya lalu memoles bedak tipis dan pemerah bibir yang berwarna merah coral. Selanjutnya ia kembali menemui Benicio dan tersenyum lebih bersemangat. "Mari, Nyonya." Benicio mempersilakannya melangkah.
Ia diajak ke lantai dua lagi, melewati lorong ke kamar Esmeralda, terus berjalan hingga tiba di sebuah pintu tunggal, satu-satunya di area itu, yang merupakan kamar Salvador.
"Silakan masuk, Nyonya. Tuan Salvador sudah menunggu Anda," kata Benicio.
Tanpa ragu Coraima membuka pintu sekaligus melangkah ke dalam dan pertunjukan di dalam kamar itu kembali membuatnya terhenyak. Salvador tengah bersanggama dengan seorang perempuan yang Coraima kenal wajahnya sering kali seliweran di media massa.
"Aah, Lorena ... kau memang yang terbaik, sayang ...," ucap Salvador terengah ditindih wanita itu.
Mata Coraima berkedip-kedip nanar, ia berpaling sambil menelan ludah kepahitan. Apakah Salvador memanggilnya hanya untuk menonton semua itu? Buat apa? Apa ia harus cemburu? Pada pria yang tidak dicintainya, apa ia harus cemburu?
Coraima berbalik hendak meninggalkan kamar, tetapi Salvador memanggilnya. "Kemari! Aku menyuruhmu kemari, bukan?"
Coraima mematung membelakangi Salvador di ambang pintu. Benicio yang bersiaga di luar diam saja.
Lorena juga terdiam karena baru menyadari ada perempuan lain hadir di kamar Salvador dan Salvador mengundangnya? "Sal, siapa dia?" tanya Lorena waswas.
"Dia istri Godfreido Reyes," kata Salvador sambil beringsut melepaskan diri dari lubang Lorena. Hal itu membuat Lorena turun dari tubuhnya dan berdiri mematung.
"Godfreido Reyes?" Lorena terperangah. Ia tahu berita pernikahan jutawan pengusaha hotel itu. Kisah cinta yang romantis sekali. Tetapi kenapa istrinya ada di sini?
"Ada masalah antara aku dan Godfreido, jadi aku mengambil istrinya sebagai istriku," ujar Salvador dengan entengnya lalu berjalan menuju ranjang di kamar itu.
"Apa??" Lorena tersentak.
"Ya, kenapa? Ada masalah?" tanya Salvador, duduk di tepi ranjang dengan kaki terbuka dan keperkasaan mencuat nomor 1.
Lorena diam saja, karena tahu protesnya hanya akan membuat Salvador marah.
Salvador menatap tajam Coraima yang masih teguh membelakanginya. "Coraima, ke sini!" titahnya.
Coraima tidak bisa membantah. Ia menghela napas lalu berbalik menghadap Salvador, melangkah melintasi kamar itu seolah berada di titian.
Lorena menahan dengkusan sinisnya. Masih tidak terima Salvador mengundang wanita lain di saat mereka bersama.
"Kau terlihat manis sekali, sayang," ujar Salvador mengamati penampilan Coraima yang lebih segar dari sebelumnya. "Kau harus sering-sering seperti ini. Aku akan mengurangi dosis obatmu jika kau semakin penurut."
Coraima tertunduk dalam sambil memulas jemarinya. Gugup tidak tahu apa rencana Salvador untuknya kali ini.
"Buka pakaianmu, sayang dan sanggamai aku seperti biasa. Seperti seminggu penuh bulan madu kita."
Ucapan itu membuat Lorena terbelalak serta terperangah keras. Jadi menghilangnya Salvador ... bersama wanita ini? Saat itu juga benih kecemburuan segera tumbuh dan berakar dalam diri Lorena.
Malu-malu bak perawan suci, Coraima menurunkan bahu bajunya, lalu gaun putih itu teronggok di kakinya. Perlahan-lahan juga menurunkan tali lingerienya hingga terbit buah kembar yang padat berpuncak keras. Jika dibandingkan dengan tubuh model Lorena, kedua dara Coraima lebih berat dan berisi.
Salvador tersenyum dan sorot tak pernah lepas dari lekukan tubuh wanita itu. Lorena di pinggir ruangan menggenggam erat amarahnya hingga kepalannya merah ungu.
Coraima hendak memelorotkan renda segitiganya, tetapi Salvador menegurnya. "Yang itu, biar aku saja yang melepasnya, sayang. Membuka celah surgamu adalah bagian terbaik dari memulai kesenangan kita, corazon."
Bagai perawan suci menyerahkan diri pada iblis keji, Coraima mendatangi Salvador, berdiri di depan wajah pria itu, sehingga Salvador mengecupi pinggulnya sambil inci demi inci menurunkan renda dari tulang pinggulnya, hingga bahan itu melorot sendiri ke mata kaki Coraima.
"Ah ...." Coraima mendesah tubuhnya memanas oleh tangan kasar dan besar Salvador meremas pantatnya sementara bibir pria itu mengecupi muara celahnya. Dari perlahan dan lembut menjadi kasar dan rakus kelaparan. Salvador melahap lekukan feminim Coraima sampai gadis itu terpekik kesakitan.
Coraima dibungkukkan di tepi ranjang, sebelah kakinya diangkat seperti anjing mengencingi tiang listrik, wajah Salvador terbenam di sana, menenggak air surga wanita itu.
"Kyaaah ... hu hu huuu ...," isak Coraima yang sedih airnya diminum pria be.jat.
"Aah, Cora ... jangan menangis lagi ...," erang Salvador. "Aku isi lagi rahimmu, sayang dan kali ini kau akan menyukainya." Salvador berdiri dan mengangkat pinggul Coraima sehingga batangnya menancap sempurna dalam tubuh wanita itu. Ia menghunjam kuat dan cepat menggemparkan seisi tubuh Coraima. Wanita itu membenamkan jari jemarinya ke seprai, sekuat tenaga bertahan di sana demi meladeni keperkasaan Salvador.
Seperti sebelumnya, hanya desahan dan erangan tanpa arti yang disuarakan Coraima. Sekian puluh menit berulang-ulang menancapkan keperkasaannya, tetapi tidak ada namanya didengarnya, Salvador mendesak Coraima. "Kau tahu akibatnya jika menentangku. Aku perintahkan kau sebut namaku, Coraima! Sebut sekarang juga!"
Di antara engahan cepat, Coraima berucap terbata- bata. "Sss ... ah ... hnnh.. Ss ... Sal ...." Lalu wanita itu menggigit bibir dan mata terpejam berlinang air mata kenikmatan.
"Aargh! Akhirnya!" geram Salvador penuh kemenangan. "Aahhh ...," desahnya panjang mengiringi semburan kumpulan benihnya yang kesekian kali dalam tubuh Coraima.
Digojlok dengan tenaga penuh dan klimaks berkali-kali membuat Coraima terkulai lemas setengah sadar. Biasanya Salvador akan mendatanginya membawakan es krim vanilla, akan tetapi kali ini pria itu tidak melakukannya. Akhirnya Coraima tak sadarkan diri.
Salvador membiarkan Coraima dalam posisi pasrah di ranjang. Ia duduk di sisi Coraima membersihkan batangnya. Ia menyengir senang melihat muara surga Coraima belepotan diguyur miliknya. Ada kepuasan tersendiri melakukan itu.
Lorena yang sedari awal menonton sambil menahan kemarahannya, mendatangi Salvador dan menuntut penjelasan. "Apa yang telah kau lakukan pada wanita ini?"
Salvador mendeliknya tanpa rasa jengah. "Melakukan hal yang kusukai. Apa? Kenapa? Seperti aku tidak pernah melakukannya padamu saja," sindir Salvador.
"Kau mengeluarkan milikmu di dalam dengan sengaja. Apa kau memberinya pencegah kehamilan?"
"Tidak. Kenapa aku harus melakukannya?"
"Sal, kau sedang menghamilinya!"
"Ya, aku tahu. Aku bukan bocah ingusan yang tidak tahu makna menyemai benihku," keluh Salvador. Ia berselonjor santai memandang remeh Lorena.
"Kau sengaja?"
"Dengar, perempuan! Aku tidak perlu menjelaskan, tapi sepertinya kau perlu diberitahu supaya kau tutup mulut dan berhenti jadi cerewet macam nenek- nenek. Godfreido Reyes menghamili istriku, jadi aku membuat istrinya hamil anakku. Bukankah itu pembalasan yang setimpal?"
Lorena terperangah tanpa kata- kata. Sekian lama ia meminta Salvador membuatnya hamil, pria itu tidak mau melakukannya. Tetapi pada wanita asing ini, Salvador melakukannya dengan alasan sepele. Balas dendam. Sungguh konyol.
Lorena berbalik lalu bergegas memunguti pakaiannya. "Aku perlu menenangkan diri," gumamnya. Ia mengenakan kimononya saja dan melenggang keluar kamar.
Benicio memandangi kepergian penuh amarah wanita itu. Lorena pergi dari kediaman Salvador mengemudi mobilnya sendiri.
Di kamar, Salvador berbaring di sisi Coraima, mengelus rambut cokelat wanita itu seraya mengecup bibirnya yang sedikit terbuka. Sisa lipstiknya menambah rona seksi penampilan Coraima. "Mata dibalas mata, Coraima. Lahirkan anakku, agar Esmeralda tahu bahwa pria buruk rupa ini juga bisa punya keturunan yang layak. Darah daging Reyes tidak akan menjadi satu-satunya cucu Jeronimo," gumamnya.
Tidak diketahui Salvador, seminggu sebelum menikah, Coraima menggunakan pencegahan kehamilan per 3 bulan yang diberikan dokternya. Jadi, untuk membuat Coraima hamil, Salvador sepertinya harus berusaha lebih giat lagi.
***
Bersambung ....