Menunggu hidangan selesai, Coraima melihat- lihat halaman rumah Salvador yang luasnya bagai sebuah resort. Tetapi ia tidak jauh- jauh dari rumah karena anak buah Salvador berjaga di mana- mana mengawasi gerak- geriknya. Ia ke bagian teras kolam renang, di mana Esmeralda dibawa ke sana, diselonjorkan di kursi berjemur untuk memandikannya dengan sinar matahari.
Esmeralda berpakaian gaun yang apik, rambut tergerai rapi. Pipi dan bibirnya juga dipoles mekap untuk memberi rona sehat segar di wajahnya. Tubuh wanita itu mengenaskan. Dari tungkai tangan dan kakinya terlihat kurus tidak sehat. Jika Salvador menyetubuhinya, badannya mungkin akan hancur remuk.
Selain pelayan biasa, Esmeralda ditangani perawat khusus yang memiliki latar belakang pendidikan medis. Ada dua orang, namanya Beatrice dan Daniella. Mereka perempuan bertubuh kekar, memudahkan mengangkat dan menyilih pakaian Esmeralda. Mereka juga bertugas menyuntikkan obat Esmeralda dan menyajikan makanan khusus untuknya. Semacam makanan berbentuk bubuk yang diseduh seperti s**u atau bubur bayi.
Melihat Esmeralda, Coraima jadi takut begitulah akhir dirinya jika tetap melawan Salvador. Jika ia sudah lumpuh total, jangankan balas dendam, untuk menyelamatkan diri saja tidak bisa. Ia akan terpenjara dalam tubuhnya sendiri.
Para pelayan berwajah dingin pada Coraima saat ia berada di situ. Mau tidak mau ia jadi mengamati pekerjaan mereka. Para pelayan menangani Esmeralda tanpa kasih sayang sama sekali, seolah mau tidak mau mereka harus mengerjakannya, peduli amat setelahnya. Bahkan dari cara Salvador memperlakukan Esmeralda dan bayinya, sangat mungkin mereka juga membenci dua orang itu.
Ini sangat tidak wajar untuk sebuah keluarga. Bagaimana bisa mereka menaruh orang yang butuh perawatan dan perhatian di tempat yang tidak nyaman? Apa mereka dihukum? Oh, ya pasti karena itu. Hidup bersama Salvador Torres adalah hukuman.
Coraima berusaha tidak ambil pusing lagi atau ia akan semakin tertekan juga. Ia ingin masuk ke dalam, tetapi Valentina dibawa ke teras itu juga oleh Latanza, pengasuhnya. Bayi itu menangis sehingga pengasuhnya buru-buru membawa keluar dan berusaha membekap mulut Valentina agar menghentikan tangisnya. Pelayan itu pasti ketakutan Salvador terganggu dan marah- marah.
"Mama!" pekik Valentina berderai air mata saat berpapasan dengan Coraima.
"Ah?" Latanza terperangah mendengar ucapan Valentina. Bayi itu selanjutnya menggapai- gapai ke arah Coraima.
"Mama ...," ratap menyayat hati bayi itu.
Coraima bingung harus berucap apa, tetapi ia membalas uluran tangan Valentina. Coraima menggendongnya dengan penuh kasih.
"Mama ...," sebut Valentina lagi yang kemudian berangsur-angsur tenang setelah didekap Coraima dan ditepuk-tepuk punggungnya.
Latanza menatap tak percaya. "Nyonya, itu tadi kata pertama yang diucapkan Valentina," pungkasnya.
Coraima membalas dengan kening mengernyit.
Latanza lalu bicara dengan suara direndahkan padanya. "Anda tentu bisa memahami bagaimana situasi di rumah ini. Sukar bagi kami membicarakan soal Valentina pada Tuan Salvador dan anak ini juga tidak ada komunikasi dengan ibunya. Anak yang malang. Valentina sangat jarang berceloteh seperti bayi sewajarnya karena tidak ada yang mengajaknya bicara, tetapi pada Anda dia bisa memanggil Mama. Saya rasa Anda dan Valentina membuat hubungan yang bagus. Mungkin kalian bisa akrab, ya Anda tahu, saling menemani."
Coraima terenyuh pada nasib Valentina. Ia menatap bayi itu, yang mata birunya memelas takut ditinggalkan. Coraima tersenyum saja. Bingung hendak berkata apa pada Valentina. Jadi merasa serba salah, apakah Valentina yang belajar bicara ataukah dirinya yang harus belajar bicara seperti bayi lagi.
Coraima menimang Valentina, menggenggam tangannya sambil berujar riang. "Da ... dah!"
Valentina tertawa geli hingga melengking girang. Coraima semakin senang membecandai bayi itu meskipun tanpa kata-kata yang jelas.
Untuk beberapa saat Coraima duduk mengasuh Valentina di kursi kolam renang sambil menikmati kehangatan matahari pagi. Benicio menghampiri dan harus mengakhiri cengkrama bak ibu dan anak itu. "Makanan sudah siap, Nyonya. Anda bisa mengantarnya ke kamar Tuan Salvador."
Tubuh Coraima menegang. Ia menyerahkan Valentina pada Latanza. Bayi itu menangis, tetapi Latanza bisa segera menghiburnya dengan membawa jalan- jalan.
Coraima ke dapur di mana Chef Emanuel menatap sangsi padanya saat ia mengambil baki berisi hidangan Pincho de tortilla serta sebotol wine. Namun, dibanding chef itu, Coraima lebih takut pada Salvador. Ia bergegas membawa makanan ke atas.
Pincho de tortilla merupakan hidangan omelet khas Spanyol berupa dadar kentang yang disajikan tebal atau bertumpuk- tumpuk. Bahan utama dari menu ini adalah telur dan kentang. Biasanya masyarakat Spanyol menikmati pincho de tortilla bersama dengan segelas wine atau kopi kental.
Salvador telanjang seluruhnya di tempat tidur. Pertanda lelakinya bangun lebih dulu dari dirinya. Mendengar suara langkah Coraima dan aroma makanan yang menggugah selera, Salvador terbangun. Setengah berbaring ia menyambut Coraima dan baki yang dibawanya.
"Bawa kemari. Biar aku mencicipi masakanmu secepatnya," gumam Salvador, menepuk kasur di sisinya.
Coraima meletakkan baki di tempat yang diinginkan Salvador dan membuka tudungnya. Namun, wajah bersemangat Salvador seketika buyar. Rahangnya mengeras. "Ini bukan buatanmu. Ini masakan Chef Emanuel!" geramnya, lalu melempar baki beserta seluruh isinya. Baki dan tudung stainless terhempas berbunyi bagai ledakan petir. Hingga piring, gelas, dan botol wine pecah, makanan berhamburan di lantai beserta wine bagai merah darah.
Tanpa mempedulikan Coraima, Salvador berteriak lantang. "Aku bilang aku ingin makan makanan buatanmu! Bukan yang lain. Apa perintahku kurang jelas? Apa kau ingin selalu melawanku? Kau ingin mati? Benar- benar ingin mati?"
Suara keras dan penampakan genangan darah beserta onggokan daging langsung membuat Coraima syok. Pandangannya menggelap. Bayangan kematian Godfreido kembali terlintas di dalam kepalanya. Ia berdiri tersentak, lalu kaki melangkah mundur tertatih, tangan menggapai ke sekitarnya mencari pegangan, tetapi tidak ada sesuatu pun yang bisa dijadikan pegangan. Coraima tersandar di dinding lalu merosot terduduk di lantai.
Salvador melihatnya, tetapi ia sudah kadung marah. "Ketika kau menyepelekanku dan mengabaikan perintahku, kau pikir dengan bertingkah mengiba dan menderita seperti ini aku akan memaafkanmu? Namaku adalah Salvador Torres dan aku terkenal bukan karena aku pemaaf." Salvador beranjak dari ranjang seraya meraih pistol dan ponselnya di nakas. Ia berencana menembak Coraima tetapi sebelum itu ia menelepon penjaga orang tuanya dulu.
"Ya, Sal?" sahut anak buahnya di telepon.
"Aku ...."
Benicio masuk ke kamar menyela Salvador. "Terjadi kesalahpahaman, Sal. Tolong jangan emosi dulu."
Rahang Salvador terkatup rapat. Ia mendengkus keras lalu menutup ponselnya. Ia menoleh pada Coraima dan melihatnya syok lagi, mata Salvador terpicing. Apa ini drama lagi? Akting Coraima menjadi perempuan selemah ini? Wah, kalau begitu dia patut dapat Oscar.
Salvador menarik lengan Coraima supaya berdiri. "Bangun, ja.lang! Jelaskan padaku apa yang kau lakukan ini!" Ia mengguncang Coraima agar dia segera bicara. Ia tahu itu sia- sia. Menanti Coraima bicara adalah ujian kesabaran. Masalahnya tingkat kesabarannya sangat tipis. Wanita itu terengah dan mulai menangis sesenggukan.
Benicio yang menjelaskan situasinya pada Salvador. "Chef Emanuel tidak ingin Nyonya Reyes turun tangan di dapur. Ia hanya ingin pekerjaannya lancar, Sal. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan."
Salvador menggaruk kepalanya dengan pistol. Semarah apa pun, ia memang tidak tepat memarahi Coraima. Sekarang Coraima syok lagi seperti sebelumnya.
"Tinggalkan kami," katanya pada Benicio.
Ajudannya itu tidak berani menyela lagi. Ia pun undur diri.
Berduaan dengan Coraima yang terjebak dalam labirin pikirannya sendiri, Salvador meringis memikirkan cara menyadarkan Coraima. Wanita itu harus secepatnya dibawa kembali pada kenyataan. Salvador melakukan apa yang biasa dilakukannya pada Coraima.
Ia meletakkan pistolnya di nakas lalu menjatuhkan Coraima di ranjang, menyibak gaunnya, lalu menindihnya seraya merasuk dengan kekuatan penuh. Coraima terperangah inti tubuhnya dijejali tiba-tiba lalu diguncang hasrat memburu. Perlahan-lahan penglihatannya merespon pada pria yang memacunya.
"Lihat aku, Coraima! Tatap aku!" bentak Salvador.
Wajah bercela Salvador menyadarkannya pada sisi dunia yang lain. Labirin itu terjungkir balik menjadi papan tanding yang lapang di mana hanya ia dan Salvador yang berhadapan. Senyum menyeringai pria itu seolah berkata, hadapi aku! Kalahkan aku! Salvador menerjangnya, sejurus kemudian ia balas menerjang dan jadilah mereka bergumul di peraduan.
"Sss ... Sal ...," desah Coraima sambil berderai air mata sedih bercampur kenikmatan.
"Karena gagal menyajikan makananku, setidaknya beri aku permainan yang memuaskan, Cora," desak Salvador tanpa henti menyodok Coraima dengan keperkasaannya.
"Huk huk huuuu ...," tangis Coraima. Ia merasa kesakitan oleh posisi pinggulnya yang dikempit Salvador sehingga memukul- mukul d**a pria itu. Pinggulnya meliuk berusaha menyelaraskan posisi.
"Aahh, Cora ... remas lebih kuat lagi, corazon. Ahh, ya, kau memang nikmat sekali, sayang .... Aarhhh," erang Salvador hingga terpejam mendongak ke langit-langit.
Samar- samar Coraima melihat genangan di lantai, bergantian antara tumpukan makanan dengan jasad Godfreido yang tidak semenakutkan sebelumnya. Ia tidak akan melupakan kejadian itu, tetapi bukan berarti ia harus terkekang oleh rasa takutnya. Apa pun yang dialami Godfreido, suatu saat Salvador akan mendapatkan balasannya.
Coraima menatap lekat wajah Salvador. Ia harus membiasakan diri hingga suatu saat pria ini tidak menakutkan lagi baginya. Mata aquamarine Salvador tiba-tiba menatap balik. Coraima segera melayangkan tatapannya ke arah lain.
"Memikirkan balas dendam di saat kita sedang bersanggama, Coraima? Sangat mudah ditebak."
Kelopak mata Coraima merunduk dalam, engahannya menjadi semakin intens mengikuti remasan ototnya pada milik Salvador.
"Ouhhh, gadis pintar, berpikir mengalihkan perhatianku dengan cara ini," kekeh Salvador. Alih- alih marah, ia malah semakin menghayati nikmatnya Coraima. "Tidak apa- apa, sayang. Aku persilakan. Teruslah demikian karena kita tahu dendam itulah yang akan membuat kita bertahan hidup di dunia kejam ini."
Untuk pertama kalinya ucapan Salvador mengena di hatinya. Jika ia bisa bicara, ia akan mengatakan Salvador benar. Pembicaraan yang tak tersampaikan itu menjadi desahan saling menikmati. Orang-orang akan mengatakan itu sebuah hubungan yang toksik, akan tetapi benar adanya, bercin.ta dalam kondisi tersiksa dan penuh kebencian ibarat ramuan gula, garam, merica, dan bumbu lainnya dalam makanan. Jika ramuannya tepat, akan menjadi sangat lezat dan membuat ketagihan.
Apakah Salvador telah menjadikannya seorang ja.lang? Ia seharusnya mati rasa. Namun, yang terjadi ia mencari-cari sensasi itu. Ada kepuasan setiap kali menyaksikan Salvador tepar bersamanya.
"Oh, corazon ...," desah parau Salvador saat memenuhi rahim Coraima dengan benihnya lagi. Ia terkapar di sisi Coraima saling pandang nanar lalu Salvador tersenyum lega menyaksikan Coraima kehilangan kesadaran. Senikmat itulah bercin.ta dengannya.
Setelah berbaring tenang beberapa saat, Salvador bangkit, meninggalkan Coraima sendirian di ranjangnya. Mengenakan jubah satin, Salvador keluar kamar membawa pistolnya. Pistol itu disematkan di saku jubah. Ia menyulut cerutunya saat berdiri di balkon lantai dua. Benicio berdiri di dekatnya siap menerima titah.
"Chef Emanuel masih ada?" tanya Salvador disela embusan asap cerutunya.
"Sudah pulang, Sal."
Salvador menyengir sinis. "Katakan padanya besok aku mengadakan jamuan makan siang mengundang ayahku dan kolega- kolega kami. Pastikan ia menyiapkan menu yang istimewa."
"Baik, Sal," sahut Benicio. Ia hendak beranjak, tetapi menoleh lagi pada Salvador. "Apa kau mau sarapan lagi? Masih ada ..."
"Tidak. Kalian habiskan saja semuanya. Aku akan makan setelah Coraima bangun saja. Aku masih penasaran masakan buatannya."
Benicio mangut-mangut. "Baiklah. Kalau begitu aku ke bawah. Aku mau makan dulu."
"Ya, silakan." Salvador lalu duduk di ruangan santai lantai dua menghabiskan cerutunya. Salvador menggaruk kening menggunakan moncong pistolnya. Ia merenung sesaat kemudian mendengkus sinis. "Lihat saja besok, Chef. Aku akan membuatmu membayar perbuatanmu," gumamnya.
***
Bersambung ....